Kisah Dirut PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto, Sang Anak PRT (5)

Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake

Dwi Soetjipto saat mengikuti balap karung. (Foto: antara)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Djoko Pitono

-------------------------------

Dalam empat seri sebelumnya telah dikisahkan bagaimana Dwi Soetjipto kecil tersaruk-saruk meniti kehidupan karena keterbatasan ekonomi keluarganya. Meskipun begitu, putra Giran Suparto dan Liana tersebut selalu mencorong prestasi sekolahnya, dari SD, SMP, hingga lulus sarjana kimia di ITS Surabaya. Berikut ini lanjutan cerita berikutnya yang dikisahkan oleh Djoko Pitono.

MENGAPA harus jauh-jauh bekerja di Semen Padang, Sumatra Barat? Bukanlah lebih baik di Semen Gresik atau Petromikia Gresik?”

Begitu dikatakan oleh banyak orang, baik teman maupun keluarganya, ketika mereka tahu Dwi Soetjipto mendaftar untuk bekerja di Pabrik Semen Padang, Sumatra Barat, setelah lulus dari ITS Surabaya pada 1981.

BACA JUGA: Kuliah ITS, Menjadi Mahasiswa Teladan Nasional​

Mereka memang pantas heran. Dwi Soetjipto adalah insinyur lulusan terbaik dari Fakultas Teknik Kimia ITS. Pernah menjadi Mahasiswa Teladan Nasional pada 1979. Kalau mendaftar bekerja di Semen Gresik atau Petrokimia Gresik pastilah blundeng, alias diterima dengan mudah.

Tetapi Dwi Soetjipto memang memilih Semen Padang. “Alasan kakak saya, dia ingin suasana daerah baru. Ingin mengembara. Selain itu dia dengar duluan ada lowongan kerja di Semen Padang, baru kemudian Semen Gresik dan Petrokimia Gresik. Dia ingin segera dapat bekerja, jadi bisa segera membantu orangtua,” kata Tri Soetikno, adik kandungnya.

BACA JUGA: Sering Meminta Ibunda Melangkahi Tubuhnya​

Begitulah pada 1981 Dwi Soetjipto resmi masuk bekerja di pabrik semen tertua di Indonesia itu. Sudah barang tentu hidupnya tetap sederhana. Pegawai baru di perusahaan BUMN di awal karier bukanlah pegawai yang bisa membawa membawa pulang gaji yang besar.Tetapi setidaknya Dwi Soetjipto sudah memiliki gaji tetap dan dapat membantu keluarganya di Surabaya.

BACA JUGA: Makan Enak Saat Idul Fitri dan Ada Sesajen di Kuburan​

Dua tahun kemudian pada 1983, Dwi Soetjipto juga memutuskan untuk menikahi Handini, putri tetangga rumahnya. Sampai beberapa tahun di bagian produksi pabrik semen di Indarung tersebut, kehidupannya sederhana saja. Bahkan tidak tiap Idul Fitri bisa pulang ke Surabaya karena keadaan ekonomi tidak memungkinkan meskipun dengan naik bus. “Kalau pulang ya naik bus, jangan bayangkan naik pesawat...haaa...haaa,” kata Dwi Soetjipto.

Meskipun begitu, Dwi tetap merasa bersyukur karena bagaimana pun kehidupannya makin membaik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Rasa syukurnya itu diwujudkan dengan memberikan santunan kepada anak-anak yatim piatu dan anak-anak keluarga miskin.

Seiring berjalannya waktu, kesibukan sehari-hari Dwi Soetjipto semakin meningkat. Di waktu longgarnya di luar jam kerja di Pabrik Semen Padang, dia mengajar di sebuah perguruan tinggi, juga aktif membina perkumpulan pencak silat, olahraga bela diri yang memang sangat dikuasainya.

Berkat kerajinan dan keras kerasnya, pimpinan Semen Padang pun semakin memperhatikan dan mempercayainya memegang jabatan-jabatan yang lebih tinggi. Jabatan Kepala Personalia Semen Padang dijabatnya beberapa tahun hingga 1990, kemudian naik menjadi Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dari 1990 hingga 1995.

Setelah itu, jabatannya naik lagi, masuk anggota direksi dengan jabatan Direktur Litbang PT Semen Padang. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 2003, merangkap jabatan Komisaris Utama PT Igasar, anak perusahaan PT Semen Padang yang bergerak di berbagai bidang antara lain perdagangan semen, transportasi  dan alat berat, serta perdagangan umum.

peresmian-rs-semen-padangAntara-SumbarBhd5e.jpg

Peresmian Rumah Sakit Semen Padang. (Foto: antara sumbar)

Sejalan dengan peningkatan kariernya, Dwi Soetjipto merasa perlu untuk terus belajar dengan mengikuti kuliah Strata Dua di bidang manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang. Gelar Magister Manajemen (MM) pun diraih dengan hasil Cumlaude pada tahun 2003.

Momen menentukan dialami oleh Dwi Soetjipto pada 2003, saat PT Semen Padang mengalami krisis keuangan di tengah upaya dari sejumlah kalangan internal untuk spin off (pemisahan) dari induknya, PT Semen Gresik (Persero). Dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) di Jakarta pada 12 Mei 2003, semua anggota Direksi PT Semen Padang diberhentikan kecuali Dwi Soetjipto, yang diangkat sebagai direktur utama.

Penentangan terhadap Dwi Soetjipto kemudian meledak di Pabrik di Indarung. Tidak hanya dari para anggota direksi yang diberhentikan, tetapi juga dari enam Serikat Pekerja (SP) di lingkungan Semen Padang Group beranggotakan sekitar 4.500 orang karyawan. Keenam serikat pekerja itu masing-masing SP Semen Padang (SPSP), SP PT Igasar, SP PT Yasiga, SP PT Pasoka, SP Koperasi Karyawan Semen Padang (SPKKSP) dan SP-YYSP. 

Selama 4 bulan penuh direksi baru pimpinan Dwi Soetjipto tidak dapat masuk pabrik dan kantor pusat di Bukit Indarung, Kota Padang dan harus berkantor di sebuah hotel. Selama itu, caci maki terhadap Dwi dan sejumlah staf setempat diwujudkan dalam berbagai spanduk dan poster. Para demonstran juga membakar boneka-bonekaan yang digambarkan sebagai Dwi Soetjipto.

Salah satu yang membuat kerasnya penolakan terhadap Dwi adalah konteks pemisahan PT Semen Padang dari induk perusahaan PT Semen Gresik, yang belum menghasilkan keputusan. Sentimen kedaerahan yang berembus kencang kemudian berujung pada anggapan bahwa Dwi Soetjipto melakukan pengkhianatan terhadap keinginan masyarakat Padang yang ingin mempunyai otonomi tersendiri.

Indikasi penolakan itu terlihat ketika beberapa jam setelah RUPSLB mengeluarkan keputusan, Sekretaris Perusahaan Semen Padang Desri Ayunda dan Direktur Keuangan Muklis Karanin mengumpulkan semua staf dan kepala bidang di Wisma Indarung. Bersamaan dengan itu, sejumlah karyawan mulai menggelar demonstrasi.

Rapat para penentang RUPSLB di Wisma Indarung mengeluarkan empat poin kesepakatan. Pertama, semua karyawan menolak keputusan RUPSLB karena menganggap forum itu ilegal. Kedua, mereka menyatakan masih mengakui keabsahan direksi lama. Ketiga, mereka menyatakan tidak akan memproses pemutasian dan menolak sanksi apa pun dari manajemen baru. Keempat, mereka menyatakan semua karyawan PT Semen Padang akan bersama-sama menjaga perusahaan.

Terkait dengan munculnya aksi penolakan terhadap manajemen baru PT Semen Padang, Ikhdan Nizar Direktur Utama yang digantikan Dwi Soetjipto,  mengatakan seluruh aksi penolakan yang ada murni berasal dari karyawan PT Semen Padang. Sikap Ikhdan Nizar sendiri terhadap RUPSLB jelas menolak dan menganggap RUPSLB ilegal.

Penolakan terhadap manajemen baru tidak hanya berlangsung dengan pemblokiran pabrik dan pendudukan kantor pusat. Atas nama Koperasi Keluarga Besar Semen Padang, penentang hasil keputusan RUPSLB mengajukan gugatan ke pengadilan negeri Padang atas pelaksanaan RUPSLB.

Dwi Soetjipto dan direksi baru, dengan sigap melayani gugatan itu melalui tim pengacara yang dipimpin oleh Todung Mulya Lubis. Kubu Dwi akhirnya menjadi pemenang sengketa. Pada tanggal 13 Agustus 2003 Pengadilan Negeri Padang mengeluarkan keputusan nomor 45/PDT.G/2003/PN.Pdg yang menyatakan bahwa hasil RUPSLB sah secara hukum. Dengan demikian, direksi dan komisaris lama harus keluar dari kantor PT Semen Padang. Sehari sesudah keputusan itu keluar Ikhdan Nizar tidak lagi masuk kantor.

Dengan putusan PN Padang maka dualisme kepemimpinan di pabrik semen tertua di Indonesia, Semen Padang, telah berakhir. Masuknya direksi baru dan komisaris baru PT Semen Padang hasil RUPSLB ke areal pabrik di Indarung melibatkan 750 polisi bersenjata, tiga anjing pelacak, dan disaksikan juru sita Pengadilan Negeri Padang.

Di tengah penolakan keras tersebut, direksi baru juga dihadapkan pada ketiadaan dana sementara perusahaan menghadapi tekanan dari para penagih utang. Bank-bank tidak ada yang mau lagi memberi pinjaman karena PT Semen Padang tidak memiliki Laporan Keuangan Tahun 2002 dan 2003. Setelah direksi baru pimpinan Dwi bekerja keras menyelesaikan pembukuan perusahaan dan melakukan serangkaian negosiasi, Bank Mandiri dan Bank BCA akhirnya bersedia memberikan suntikan dana.

Dwi Soetjipto sendiri mengakui, cobaan terberat dalam kariernya adalah ketika memimpin PT Semen Padang dari 2003 hingga 2005. Dia menyebut, di sana banyak cerita rumit dan berat yang harus dihadapi, yang lebih banyak terkait aspek sosial politik ketimbang dengan aspek pabrik. Dalam situasi seperti itu, dia harus meyakinkan para karyawan bahkan masyarakat Minang bahwa pengangkatannya sebagai Direktur Utama tidak akan menghancurkan perusahaan.

"Kurun waktu 2003-2005 menjadi saat terberat dalam karier saya. Saya harus berada di tempat yang euforianya tinggi. Saya harus meyakinkan bahwa saya tidak akan menghancurkan perusahaan, dan saya buktikan tidak akan melakukan apa yang dicurigakan semua orang," kata Dwi Soetjipto.
Pendekatan Budaya

Bagaimana akhirnya para demonstran dan tokoh-tokoh Minang dapat menerima Dwi Soetjipto dan dia pun berhasil memulihkan, bahkan meningkatkan kinerja PT Semen Padang, memang telah banyak ditulis dari sejumlah sisi. Tetapi nyaris tidak ada yang melihatnya dari sisi pendekatan budaya atau pendekatan kultural.

Dwi-Soetjipto-Resmi-Bergelar-Tuanku-Besar-Temenggung-DirajaVzGkx.jpg

Dwi Soetjipto Resmi Bergelar Tuanku Besar Temenggung Diraja. (Foto: covesia.com)

Dari penelusuran dan wawancara dengan sejumlah pihak di internal PT Semen Padang pada 2012, penulis mendapati bahwa Dwi Soetjipto ternyata menerapkan apa yang dalam falsafah Jawa dinyatakan sebagai “Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake.” Secara harfiah, filosofi Jawa ini mengajarkan prinsip “merogoh hati” lawan sehingga bisa menang tetapi tanpa merendahkan dan membuat malu.

Dalam praktiknya, selama beberapa bulan sejak meletus penentangan terhadap dirinya, Dwi Soetjipto secara pelan-pelan mendekati tokoh-tokoh penentang, termasuk para pejabat di Padang, juga para aktivis karyawan yang antipati terhadap dirinya. Baik lewat pesan-pesan media maupun tatap muka langsung, termasuk hadir dalam berbagai acara pemerintah maupun masyarakat.

Dwi menunjukkan bagaimana pun dirinya adalah menjadi bagian masyarakat Minang karena bekerja di Semen Padang sejak awal 1980-an. Sebagai intelektual yang cerdas, Dwi jelas paham benar pepatah, “Jika Anda di Kota Roma, bertindaklah seperti warga Roma.” Atau dalam pepatah Melayu, “ Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Poin lain yang mungkin luput dari perhatian adalah sentuhan seni dan budaya Dwi Soetjipto dalam memecahkan masalah. Dalam langkah konsolidasi karyawan, Dwi melakukan pendekatan lewat acara-acara seni. ”Saya memilih jalur diplomasi seni dan olahraga. Saya hidupkan music band dan setiap dua minggu kami bernyanyi bersama sehingga tercipta kebersamaan. Kami juga melakukan pendekatan dengan olahraga bersama,” kata Dwi Soetjipto.

Menurut Ir Benny Wendry, MM, anggota Direksi PT Semen Padang (sekarang Direktur Utama PT Semen Padang, pen), Dwi Soetjipto juga sering melakukan taksiah – melayat orang meninggal – di samping acara-acara keagamaan di mana Dwi Soetjipto juga sering memberi ceramah.

Pada saat terjadinya konflik pada 2003, Benny Wendry adalah Kepala Humas PT Semen Padang yang loyal pada Dwi Soetjipto dan ikut merasakan hujatan para demonstran anti Dwi. Tetapi di belakang Benny juga tidak sedikit karyawan Semen Padang yang membela Dirut Dwi Soetjipto.

“Di tengah hujatan para penentangnya, sikap Pak Dwi Soetjipto luar biasa. Beliau tetap tenang tetapi terus berikhtiar dan bekerja keras,” kata Benny Wendry.

Sampai suatu ketika, menurut Benny Wendry, ada beberapa kalangan dari kubu penentang Dwi Soetjipto yang melakukan konfirmasi tentang latarbelakangnya. Di antara mereka ada yang mendengar bahwa Dwi Soetjipto adalah aktivis HMI di masa mudanya. Oleh karena itu pantas fasih memberi ceramah agama. “Apa benar Pak Dwi dulu dari HMI?” kata Benny Wendry menirukan pertanyaan seorang temannya.

Sejak saat itu, Dwi Soetjipto mulai diterima di kalangan para karyawan Semen Padang dan juga tokoh-tokoh Minang. Kuatnya religiusitas masyarakat muslim Minang pada akhirnya mendapati Dwi Soetjipto adalah “saudara sendiri” yang tidak pantas dicurigai. Hubungan baik Dwi dengan sejumlah wartawan di media cetak dan elektronik yang melaporkan membaiknya hubungan Dwi dengan berbagai kalangan akhirnya meningkatkan kontak-kontak di antara kedua pihak yang bersengketa. Gugat-menggugat di pengadilan akhirnya juga dihentikan.

Budaya-Minang-Selimuti-Pemberian-Gelar-Kehormatan-Dirut-Pertaminaliputan6a3L7K.jpg

Budaya Minang Selimuti Pemberian Gelar Kehormatan Dirut Pertamina. (Foto: liputan6)

Begitulah akhirnya, Dwi Soetjipto sebagai Dirut PT Semen Padang memulihkan kinerja perusahaan yang nyaris bangkrut tersebut. Kurang dari dua tahun, perusahaan semen yang bersejarah itu dapat bangkit seperti sediakala. Laba bersih tahun 2004, atau sebelum ia menjadi direktur utama baru mencapai Rp 509 miliar. Tetapi pada 2005 laba meningkat hampir 100 persen, yaitu Rp 1,002 triliun.

Sedang tahun berikutnya, 2006, meskipun ada kenaikan harga bahan bakar, laba PT Semen Padang tetap naik, menjadi Rp 1,3 triliun. (Buku Inspiring To Success: Menuju Kemandirian Bangsa (Jejak Langkah 100 Alumni ITS, hlm 113)

Dwi Soetjipto juga sukses menjembatani transisi perubahan pemegang saham dengan relatif mulus. Secara proaktif, ia memberi masukan kepada pemerintah sehingga penyelesaian tidak sampai dibawa oleh Cemex ke Pengadilan Niaga International. Konflik bernuansa sosial politik berkurang drastis setelah perusahaan semen asal Meksiko itu menjual 24,9 persen salamnya kepada Blue Valley Holding Pte Ltd, investor domestik milik Grup Rajawali.

“Kuncinya kita harus terbuka kepada siapa pun sehingga siap menerima perubahan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang baru,” tutur Dwi Soetjipto.

Pada 2005, Dwi Soetjipto pun ditarik untuk memegang jabatan sebagai Direktur Utama PT Semen Gresik (Persero).
 
Djoko Pitono adalah veteran jurnalis dan editor buku

Baca berita terkait lainnya di CoWasJP

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda