Kisah Dirut Pertamina Dwi Soetjipto, Sang Anak PRT (4)

Kuliah ITS, Menjadi Mahasiswa Teladan Nasional

COWASJP.COMMASA studi di Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember, yang dimulai tahun 1975, merupakan hal baru dalam kehidupan Dwi Soetjipto. Bagi orangtuanya, Giran Suparto dan Liana, keberhasilan anaknya masuk perguruan tinggi itu jelas sangat membahagiakan hatinya. Bagaimana tidak? Giran Suparto hanya berpendidikan setara kelas 3 SD, sementara Liana sang ibu malah buta huruf alias tak pernah mengenyam bangku sekolah.

Sekarang, meskipun mereka tetap orang kecil dengan penghasilan sekedar cukup untuk makan sehari-hari, anaknya bisa masuk “sekolah tinggi”. Bagaimana dan darimana nanti uangnya untuk membiayai sekolahnya itu? Sama sekali belum terpikirkan. Untuk sementara, rasa banggalah yang dirasakan. Juga pada diri Dwi Soetjipto, karena akan menjadi seorang insinyur.

BACA JUGA: Makan Enak Saat Idul Fitri dan Ada Sesajen di Kuburan​

Perguruan tinggi bernama ITS pada masa tersebut memang belum memiliki kampus megah di Sukolilo yang berdiri diatas tanah seluas 180 hektare dengan luas bangunan sekitar 150.000 meter persegi. Kampus ITS saat itu masih berpencaran di beberapa tempat  yaitu: Jl. Simpang Dukuh 11, Jl.

Ketabang Kali 2F, Jl. Baliwerti 119-121, dan Jl. Basuki Rahmat 84 sebagai kantor pusat ITS. Kampus Fakultas Teknik Kimia berada di Jl Baliwerti 119-121 Surabaya.

BACA JUGA: Majikan Ibunya Seorang Tionghoa yang Baik Hati

ITS juga belum meraih prestasi yang berjibun seperti sekarang. Meskipun begitu, ITS sudah menjadi kampus yang cukup membanggakan.

BACA JUGA: Sering Meminta Ibunda Melangkahi Tubuhnya

Kelahiran memang pada 1957, namun secara resmi ITS menetapkan tanggal kelahirannya bertepatan dengan Hari Pahlawan tahun 1960. Mungkin hanya suatu kebetulan, namun  “kebetulan” itu menyenangkan Dwi Soetjipto karena tanggal kelahirannya adalah pada Hari Pahlawan pada 1955.

Tidak ada PTN lain yang namanya menyandang hari yang sangat penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia itu. Hari yang memiliki makna ruang sekaligus waktu. Makna ruangnya adalah peristiwa terjadi di Surabaya, sedangkan makna waktunya adalah peristiwa perlawanan arek-arek Surabaya menghadapi tentara Inggris yang berusaha mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda di bumi pertiwi ini.

Kehidupan kampus memang menjadi momen yang baru bagi Dwi Soetjipto. Di masa tersebut, Dwi tidak hanya menekuni berbagai mata kuliah di fakultasnya. Mengikuti ajakan temannya Thamim Sulthon, pada tahun kedua kuliahnya dia juga mulai belajar kepemimpinan dengan aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI). Selain itu juga di Senat Fakultas, sementara statusnya sebagai pelatih di Perkumpulan Silat Perisai Diri juga makin tinggi.

Tumbuh dari keluarga yang sederhana, beban Dwi Soetjipto sebenarnya memang berat. Menurut Tri Soetikno, adiknya, untuk membayar uang kuliah, keluarganya sempat kesulitan hingga minta bantuan kerabatnya di Kediri. Namun beban tersebut akhirnya jadi ringan karena setelah tingkat 2, Dwi terus mendapatkan beasiswa setelah prestasi belajarnya bagus.

Hubungan pertemanan dengan banyak orang, termasuk di ITS, membuat banyak teman senang padanya. Mereka sering menjemput Dwi di rumahnya di Krembangan untuk bersama berangkat ke kampus Baliwerti. Siang harinya, teman-temannya juga seolah berebut mengantarkannya pulang. Tetapi teman yang paling sering bersamanya adalah Thamim Sulthon, teman sejak SMA, atau Jusuf Kodrati.

pertamnina-DPjWrf.jpg

Foto: istimewa

“Selain cerdas, Pak Dwi itu motivasinya untuk maju memang sangat besar. Ia selalu ingin mencapai yang terbaik. Ia tak pernah setengah-setengah, mungkin juga didorong keinginan untuk membahagiakan orangtuanya,” kata Jusuf, pensiunan PT Petrokimia Gresik. “Pokoknya, ia ingin selalu menjadi yang terbaik.”

Jusuf masih ingat bagaimana Dwi Soetjipto dengan waktu belajar yang terbatas masih bisa meraih nilai terbaik Suatu ketika Dwi sibuk mengikuti pelatihan khusus (TC) silat Perisai Diri. Ia pun datang terlambat dalam belajar kelompok, yang saat itu membahas soal-soal matematika. Datang masih berpeluh keringat, Dwi hanya tanya-tanya sebentar pada teman-temannya tentang apa yang telah dipelajari. Ia kemudian buka-buka beberapa catatan temannya. Literatur saat itu memang terbatas.

“Saat ujian, hasil yang dicapai Dwi ternyata terbaik. Teman-teman hanya bisa geleng-geleng,” kata Jusuf.

Senior Dwi di ITS, Ir Suharjoso Basuki, MM, menuturkan keseriusan yuniornya untuk dalam mengikuti berbagai kegiatan, seperti di Senat, HMI dan Perisai Diri. “Di Senat Fakultas, dia kemudian terpilih menjadi ketua. Di Perisai Diri, Pak Dwi juga meraih prestasi terbaik, pernah menjadi Juara Nasional dalam Kejuaraan Perisai Diri di Jakarta,” kata Suharjoso, pensiunan PT Semen Gresik (Persero) Tbk.

pdaChuf.jpg

Latih mental dan spritual anak dengan bela diri. (Foto: mediaindonesia)

Oleh karena itu, tidak aneh bila kemudian Dwi Soetjipto terpilih sebagai “Mahasiswa Teladan” tingkat nasional dan memperoleh piagam dari Mendikbud pada 1979. Setelah lulus dari ITS pada 1980, Dwi Soetjipto mendaftar bekerja di PT Semen Padang dan langsung diterima.

“Pak Dwi memang istimewa sejak lama,” kata Suharjoso, yang kini bekerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta.

“Saya juga tidak heran bila Pak Dwi di kemudian hari menonjol dan mampu menangani perusahaan-perusahaan bermasalah. Pabrik Semen Padang yang hampir bangkrut dipulihkan jadi sehat. Semen Gresik jadi perusahaan berskala internasional, punya pabrik di Vietnam. Dan sekarang, Pertamina juga dilipatgandakan keuntungannya,” tambah Suharjoso (*)

Baca berita terkait lainnya di CoWasJP

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda