Fase Transit Mediaku Sayang

Jelang reuni CoWasJP.

COWASJP.COMKARENA  tidak dapat hadir dalam Reuni dan Ulang Tahun ke-2 Cowas JP di Grand Hotel, Surabaya, Minggu (13/8) ini, saya ingin sekadar sumbang saran yang mungkin “worthed” untuk diperbincangkan ke depan. Dan sebagai bagian dari mereka yang bergelut di bidang media, tentu saja, ini patut jadi perhatian kita. Para konco lawas Jawa Pos tentunya. 

Tidak bisa dipungkiri, media dalam bentuk apa pun terus berkembang dengan pesat. Berlari, bahkan berpacu dengan waktu. Yang lambat akan tertinggal oleh yang lain. yang lelet digilas oleh pesaing yang lebih cepat. Tidak sedikit yang mati gulung tikar. Tapi juga tidak banyak yang bangkit menunjukkan taringnya. 

BACA JUGA: Dahlan Iskan, Sekarang Tidak Pelit

Hal itu, paling tidak, mengingatkan kita sekaligus membuat kita belajar dari kiprah sejarah Kerajaan Jawa Pos. Mulai dari sebutan “koran tidak laku” sampai menjadi raja koran. Koran yang diburu beritanya oleh pembaca. Perusahaan Koran yang mampu menggeser kedigdayaan perusahaan-perusahaan koran raksasa mapan yang sudah ada sebelumnya. 

Persoalannya, kalau hanya bicara itu, kita ketinggalan zaman. Karena ke depan, kemajuan sebuah media tidak lagi hanya karena kemampuannya menjangkau pasar. Tidak juga karena kehandalan para wartawannya dalam mengejar berita atau kematangan redakturnya dalam meramu dan menyajikan berita. Bahkan juga tidak karena tenaga-tenaga marketing yang “trengginas”. Itu menurut hemat saya. 

Karena itu, tentu ada yang bertanya, kenapa? Dan jawaban saya, karena “zaman terus berubah, musim terus berganti”. Perubahan itu begitu cepat. Seperti kilat. Dari sisi apa? Dari sisi teknologi. Sesuatu yang tidak dapat dihambat. Tanpa sadar kita merasakan dampaknya. Sekarang dan di masa datang. 

Kalau belakangan ini oplag media cetak terus anjlok “gak karu-karuan”, semua orang sudah tahu. Lalu, porsi iklan media cetak itu dengan mudahnya diraup oleh media-media elektronik seperti televisi, semua juga maklum. Tapi apakah semua maklum, kalau keadaan itu akan bertahan seperti itu? Tidak! Kita akan selalu berada dalam “phase of change”. Kalau diibaratkan sebuah “long trip of journey”, kita masih berada pada posisi transit. Perjalanan selanjutnya akan sangat panjang dan berliku.

Setuju atau tidak, kenyataannya rekan-rekan kita di media televisi sekarang pun mulai merasakan fase paceklik. Pemasukan dari iklan mulai seret. Beberapa jaringan televisi “raksasa” (baca: yang dianggap raksasa) mulai kedodoran. Tidak seperti masa-masa awal bermunculannya perusahaan-perusahaan televisi swasta pada dekade awal 1980-an. Ringkasnya, iklan susah didapat, kecuali yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan yang “setali darah” dengannya. Yaitu yang disediakan oleh grupnya sendiri. 

Karena itu, kepemilikan perusahaan media, terutama televisi, semakin mengerucut kepada kalangan konglomerat tertentu. Dus, dengan demikian, media televisi tidak lagi berorientasi pasar. Tapi lebih tepatnya berorientasi kepentingan. Terutama kepentingan politik, yang membuat sebagian kalangan ketar-ketir. Kalangan yang tentu saja akan semakin gencar melemparkan isu ancaman terhadap NKRI, kolonisasi model baru dan sejumlah bentuk ketakutan lainnya. 

Pada akhirnya, ketakutan-ketakutan seperti itu memberi efek yang tidak sedikit pula kepada kemajuan media yang dimaksud. Sebab, kalangan pemirsa akhirnya akan memilih media televisi yang cocok dengan pandangan politik maupun aliran pemikirannya. Bila kecocokan itu tidak ada, mereka akan meninggalkan tayangan-tayangan yang berbau politik. Mereka beralih untuk menonton sesuatu yang ringan-ringan saja. Sesuatu yang menghibur, seperti: Sinetron-sinetron yang meninabobokan, gossip-gosip artis yang kadang tidak masuk di akal, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Itulah yang kita saksikan sekarang. Artinya, kita sudah berada dalam fase seperti itu.

 

*

Selanjutnya, percaya atau tidak, ke depan kita akan memasuki fase yang lain. Barangkali tidak sampai 10 atau 20 tahun ke depan, kita akan menyaksikan suatu perubahan yang jauh lebih dahsyat lagi dalam bidang media. Percaya atau tidak, kemajuan teknologi akan menggilas semuanya dalam tempo singkat. Sebagaimana koran yang hari demi hari terus kehilangan pembaca, plus iklan tentunya, pada saatnya televisi pun akan kehilangan pemirsa. Dan gejala itu sudah kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri sekarang. 

Betapa tidak, sekarang orang tidak lagi merasa membutuhkan koran. Sebab segala berita yang dimuat di koran sudah bisa mereka baca di gadget mereka masing-masing. Berita-berita itu bisa mereka dapatkan dalam hitungan detik, dengan sekali klik. Berita-berita seperti itu bisa mereka dapatkan seolah berhamburan datang bak air bah, tanpa perlu mengeluarkan selembar uang receh sekalipun. Bahkan itu adalah berita-berita “real time” dan lengkap dengan gambar penuh warna, bahkan gambar bergerak plus suara, alias video. 

Semua itu menunjukkan betapa teknologi itu berkembang dengan pesat. Saking pesatnya kemajuan itu mungkin layak disebut dengan lompatan teknologi. Dan salah satu lompatan itu dapat kita lihat dalam teknologi telepon seluler. 

Paruh kedua 1980-an dan awal 1990-an, misalnya, sebagian rekan tentu masih ingat dibekali “pager” untuk meliput berita di lapangan. Kalau perlu menelpon kita harus mencari telepon koin. Lalu dalam tempo singkat muncul handphone. Pertama yang berukuran besar. Ada yang sebesar botol kecap. Beratnya pun hampir sama dengan botol kecap yang berisi penuh. Setelah itu muncul sejumlah model baru. Misalnya handphone model lipat ala Sony Ericson. Oleh sebagian teman disebut dengan istilah canda “sony ereksi”. Kemudian muncul era “nokia”. Nokia yang merajai dunia perseluleran, tapi tidak lama kemudian ambruk begitu saja. 

Ketika Blackberry diperkenalkan untuk pertama kali, kita tentu masih ingat suasananya. Bagaimana orang berebut antri untuk membeli handphone BB dengan harga selangit. Di antara yang ikut antri termasuk kalangan artis dan para selebriti papan atas ibukota. Tapi siapa sangka hari-hari ini orang sudah malu menggenggam HP kebanggaan yang dulu terkenal dengan sebutan BB. Merek yang seolah identik dengan kelas sosial penggunanya. Tapi kemudian, orang dengan mudah dan cepat beralih ke era Samsung dan smartphone-smartphone lain yang meninabobokan setiap orang di setiap tempat dan di setiap waktu.

Lompatan-lompatan teknologi itu begitu dahsyat. Apa yang tidak sempat terbayangkan dalam benak kita di zaman dahulu, cepat atau lambat jadi kenyataan yang terus ada dari hari ke hari. Lewat kemajuan teknologi, dunia jadi mengkerut semakin kecil. Dunia yang begitu luas cepat atau lambat dapat “digenggam” dengan sebelah tangan. Dan lewat lompatan-lompatan teknologi itu media pun mengalami pasang surut yang tidak kalah dahsyat.

Salah satu jenis media yang akan terkena dampak tidak kalah dahsyat dalam tempo yang tidak akan terlalu lama lagi adalah media televisi. Dengan biaya operasionalnya yang sangat besar, sementara porsi iklannya kian menipis, cepat atau lambat perusahaan pertelevisian akan kewalahan. Dampaknya, akan terjadi PHK gila-gilaan. Dampaknya lagi, mungkin perusahaan pertelevisian itu tidak akan mampu beroperasi lagi. 

Lho, koq bisa? Kan induk perusahaannya masih mampu menyuguhkan iklan? 

Logikanya memang seperti itu. Tapi induk perusahaan semakin lama juga akan semakin berpikir panjang. Buat apa ngasih iklan terus menerus, sementara pemirsa sudah berpindah ke lain hati? Sebab dengan lompatan teknologi, pemirsa sudah muak dengan siaran-siaran konvensional seperti selama ini. Mereka mungkin sudah terbuai oleh pemberitaan di media online, seperti yang banyak kita saksikan sekarang. Dengan demikian, porsi iklan kian hari akan semakin bergeser untuk media sosial. 

Meskipun begitu, para penyelenggara media online sekarang juga jangan langsung besar kepala. Jangan terlalu berbesasr hati. Karena lagi-lagi kita masih dalam fase transit yang sangat cepat. Marilah kita sedikit berimajinasi! Bagaimana anda membayangkan perkembangan media massa 10 atau 20 tahun ke depan? Atau, mungkin 50 – 100 tahun ke depan. Apakah radio dan televisi akan tetap ada dan terus mengudarakan siarannya? Saya tidak begitu yakin. 

Bahkan jaringan televisi kabel dan televisi berbayar lainnya, hemat saya, pada waktunya juga akan mati suri. Lalu, tidak lama kemudian, mati beneran.  

Mungkin ada baiknya kita sedikit berpikir tentang kemajuan teknologi dalam banyak bidang. Tentang pesawat supersonic yang mampu meluncur melebihi kecepatan suara, misalnya. Tentang mobil terbang yang kalau ada bagaimana pengaturan lalu-lintasnya? Sekarang orang bisa pesan makanan menggunakan aplikasi transportasi online. Apakah tidak mungkin dalam tempo yang tidak terlalu lama lagi, makanan diantar menggunakan “drone”?

Dalam tempo yang tidak terlalu lama lagi, akan ada sejumlah teknologi super canggih yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tentang “Space Elevator” (semacam lift untuk naik ke luar angkasa), “Invisible Car” (mobil tembus pandang dengan bahan bakar hydrogen yang dapat digunakan untuk kamuflase) , “Tato Digital” (tato sangat tipis yang fungsinya untuk memonitor kesehatan penggunanya), “Scramjet” (pesawat super canggih dengan kecepatan 10 kali kecepatan suara), “Komputer Kuantum” (komputer dengan kecepatan ribuan kali lebih cepat dari komputer tercepat yang sekarang ada di muka bumi), dan banyak lagi lainya. 

Para ilmuwan bukan hanya sudah berpikir ke arah sana, tapi juga sudah melakukan uji coba. Bahkan ada yang sudah mampu menciptakan prototype-nya. Dari memikirkannyalah sebuah teknologi bisa ada. Ini mengingatkan kita kepada Thomas Alfa Edison. Jika dia tidak berpikir tentang lampu pijar, mungkin akan selamanya kita menggunakan obor dari bambu dan minyak dari getah jarak sebagai alat penerangan. 

*

Dalam hal media, saya berimajinasi. Barangkali dalam tempo yang tidak akan terlalu lama lagi, media seperti televisi mungkin tidak lagi berperan seperti sekarang. Para crew dan karyawan lainnya tidak bisa lagi menggantungkan kehidupan diri dan keluarga mereka kepada perusahaan dimaksud. Net journalism akan berkiprah lebih maksimal. Itu berarti medsos akan lebih banyak dibaca. Masyarakat pembaca juga semakin maju. Mereka bisa bedakan mana berita sungguhan, mana hoax. Berita tidak lagi dipilihkan suka-suka pemilik stasiun televisi seperti sekarang. Tapi masyarakat akan memilih sesuai selera masing-masing. 

Bahkan dalam peliputan berita, tidak dibutuhkan lagi biaya operasional seperti dilakukan jaringan televisi di masa sekarang. Tidak perlu membawa kamera yang begitu besar, menggunakan mobil operasional lengkap dengan pemancar, cameramen, reporter, bahkan sopir. Tapi berita bisa disiarkan “live” oleh wartawan atau netizen, sendirian, hanya dengan menggunakan handphone

Dengan begitu, kita tidak bisa lagi menghindar. Tak bisa lagi untuk tidak berpikir futuristic. Sebab pembaca atau pemirsa pada masanya juga mampu memilih berita yang dia butuhkan dengan cepat.

Mungkin dengan menggunakan handphone super canggih yang segera beredar. Barangkali tidak lama lagi akan beredar semacam chip murah yang dipasangkan di cincin, jam tangan, atau kacamata milik anda. Dengannya anda bisa memilih siaran yang anda inginkan, sekaligus mengganti siarannya suka-suka anda hanya dengan sekali sentuh. 

Bahkan mungkin juga chip super kecil yang bisa ditanam di bawah kulit. Layaknya sebuah susuk.

Belum lama ini toh sudah dikembangkan oleh IBM, sebuah konsep yang disebut “mind reading”. Konsep tentang komputer super canggih yang bisa berinteraksi dengan manusia. Penggunanya akan memakai semacam headset yang bisa membaca gelombang pikiran dari otak. Data yang didapatkan akan dikirimkan ke layar komputer. 

Dengan begitu, pikir saya, bukan mustahil kita akan mampu mengganti chanel TV tanpa menyentuh apa pun, tanpa mengklik apa pun. Sementara itu, seluruh jaringan pemberitaan yang ada di seantero dunia bisa dihadirkan di layar kaca di rumah masing-masing. 

Lalu, berita seperti apakah yang akan dibaca dan dicari orang? Barangkali, kembali seperti sabda Rasul: “Khairun nas anfa’uhum linnas” (Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain). Nah, kaitannya dengan berita, berita seperti apa? Tentu saja yang paling bermanfaat untuk pembacanya. Yaitu berita tentang mereka sendiri. Bukan tentang presiden, pejabat, tentang politik, kasus-kasus hukum, kriminal dan semacamnya. Konsep “bad news is good news” cepat atau lambat akan ditinggalkan. 

Benarkah seperti itu? Kita tunggu saja tanggal mainnya. Wallahu a’lam bish shawab! (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda