Antara Dahlan Iskan dan Bondet (6)

Belajar Tanpa Guru, Kerja Tanpa Ruang dan Waktu

Ilustrasi: CoWasJP

COWASJP.COMKALAU saya boleh jujur, apa yang ditularkan Dahlan kepada anak buahnya memang sangat membekas dan  akhirnya bisa menjadi bagian dari kehidupan kita. Salah satu contoh kita dituntut untuk belajar cepat dan berpikir cepat dan tiidak mengandalkan orang lain. Kita dituntut untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi secara mandiri. Dan semua itu tanpa disadari akhirnya merasuk menjadi bagian dari kehidupan kita setelah lepas dari Jawa Pos.

Salah satu contoh saat penggantian mesin tulis manual ke komputer. Tanpa pelatihan, tanpa pengumuman hari itu juga mesin tulis langsung dimasukkan gudang dan diganti dengan komputer yang sudah tertata rapi di meja kerja masing-masing.  Saya masih ingat waktu itu masih generasi komputer 286, dengan sistem operasional menggunakan DOS.

BACA JUGADekat Surga, Dekat Juga dengan Neraka

Tentu saja hal itu membuat kelabakan para awak redaksi yang sore itu harus menyiapkan penerbitan untuk esok harinya. Tak terkecuali saya. Seumur-umur belum pernah belajar komputer, bahkan pegang saja mungkin juga belum. Di meja saya hanya ada sebuah perangkat computer yang masih gres, kopian panduan pemakaian dan satu floppy disk jadul berisi program instalasi DOS. Serta WordStar atau sering disebut WS.

BACA JUGAMOTOR BERKAT KARSO BIRAN

Tak ada kata ‘’TIDAK BISA’’ saat itu juga, dalam waktu singkat salam ukuran jam saja sudah harus memelajari dan….harus bisa. Kalau tidak bisa jelas besok Koran tidak bisa terbit, kalau tidak terbit….wowwww….gak tahu deh. Tapi begitulah,….ini benar-benar learning by doing ……dalam waktu singkat lagi. Tak ada protes, tak ada unjukrasa, …semua langsung belajar demi terbitnya Jawa Pos keesokan harinya, agar pembaca menerima Koran tepat waktu. Benar-benar belajar tanpa guru.

Karena itu kadang saya heran kalau ada  instansi yang mengadakan pelatihan komputer untuk karyawannya, dengan anggaran besar,…berhari-hari, tapi masih ada saja yang gak NGEH. Saya selalu  bilang ‘’dedel’..

Dengan cara itulah Dahlan mengajarkan ke anakj buahnya untuk berpikir cepat dan belajar cepat. Ternyata, otak kita sebenarnya sangat mampu untuk itu semua. Hanya kita saja yang kadang ‘’melemotkan’’ diri. Dan itu hampir terjadi di setiap lini. Bahkan saya tahu, banyak guru yang gak ‘’ngeh’’ dalam bidang komputer, apalagi internet.  Padahal tuntutan sekarang pengajaran dengan sarana multi media.

Apakah cara pembelajaran ala Dahlan Iskan itu berarti ‘’gambling’’????? Saya rasa tidak, Dahlan pasti sudah memerhitungkan segalanya. Dia punya keyakinan, bahwa orang itu selalu bisa melakukan apa saja bila serius dilakukan. Dan itu sudah dibuktikan berkali-kali. Termasuk salah satu contoh yang saya tulis berikut ini.

Awal `1990, ketika saya sedang asyik editing berita, Dahlan nyamperin. Dia bilang, ‘’Redaksi Jawa Timur harus pindah.’’ Katanya. Waktu itu saya berkantor di Karah Agung, saya pikir apa harus balik lagi ngantor di Kembang Jepun. Ternyata tidak.

‘’Kita ujicoba Cetak Jarak Jauh (CJJ), Anda harus pindah ke kota lain, terserah mau di mana,  untuk menguji peralatan kita,’’ katanya.

‘’Saya pilih basecamp Redaksi Jawa Timur di Madiun, kapan dimulai,’’ tanya saya.

‘’Besok.’’ Huh, itu hapalan Dahlan kalau ngasih penugasan, tidak ada kata lain selain ‘’BESOK’’, sama saat saya ditarik Madiun ke Surabaya untuk dipromosikan sebagai Redaktur Jawa Timur.

‘’Dengan siapa saja bos?

‘’Sendirian,’’ jasabnya tegas sambil ngelewes pergi. Beberapa langkah kemudian ia menoleh dan berkata, ‘’Malam ini belajar kirim file ke Niko.’’….saya hanya bisa menjawab dengan anggukan. Sebab masih gagal paham, bagaimana sebuah divisi keredaksian harus digarap sendiri. Padahal 1 divisi biasa terdiri dari 3 orang, yakni Redaktur, Copy Editor,

Layoutman. Dan kalau di luar kota mesti ditambah 1 operator. Tapi ini sendiri,….hemmm….

Malam itu juga saya belajar pengiriman file ke Niko. Hemm,…ternyata Jawa Pos saat itu sudah punya peralayan canggih, pakai satelit lagi. Dini hari baru sampai rumah, ketika uti saya beri tahu rencana itu, ia pun mahfum saja. Sudah biasaaaa,..jawabnya.

Besoknya saya sudah ngantor di Madiun hanya dengan bekal dari kantor berupa Komputer Server, Machintos dan modem. Alhamdulillah malam yang penuh perasaan ketar-ketir, bisa gak…bisa gak…..akhirnya berlalu dengan sukses. Empat pekerjaan yang mestinya harus dilakukan oleh 4 orang, saya lakukan  sendiri. Single Fighter, tiap hari. Dan sejak itulah redaksi Jawa Timur dikerjakan di Madiun. Pulang kampuang hehehe……

Nah, paling tidak, sekarang kalau Jawa Pos sudah bisa cetak dimana-mana, bahkan pembacanya bisa menerima Koran pagi hari sama dengan jam yang sama, itu semua berkat teknologi CETAK JARAK JAUH yang dikuasainya. Dan sejak itu, kru Jawa Pos bisa punya slogan sendiri, ‘’KERJA TANPA BERGANTUNG RUANG DAN WAKTU’’ sing penting ada colokan listrik dan telepon kabel Maklum, Indonesia belum masuk zaman internet seperti sekarang ini.

Sampai akhirnya ada adik misanan pas datang ke kantor saya tawari, ‘’Kalau dalam seminggu kamu bisa mengoperasikan Machintos ini, kamu bisa kerja di sini,’’ kataku. Eh ternyata bisa bahkan saat pension tahun lalu, ia sebagai Kepala Bagian Desain Grafis dan tataletak Radar Madiun.

Beruntung saya termasuk orang yang suka belajar ilmu lain,  termasuk layout dan grafis. Jadi ilmu itu sangat bermanfaat setelah saya tidak di Jawa Pos lagi. Sekarang kalau saya menerbitkan tabloid, gak susah-susah. Bisa cari berita sendiri, bisa menulis sendiri, bisa editing sendiri dan bisa layout sendiri. Multi talent opo kemaruk gak mau ngasih kesempatan orang lain untuk bekerja.  Lha arek madiun ki memang aneh,..diajarin jurnalistik gratis, malah sekaligus kerja alias cari duit,…yo ndak mau….padahal pengangguran yo banyak lho, tapi ndak mau kerja yang berat dikit. (BERSAMBUNG)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda