Waduk Nipah yang Minta Tumbal Nyawa (2-Habis)

''Menyadap'' Berita di Kamar Putera Kiai

Waduk nipah. (Foto CoWasJP.com)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Imam Kusnin Ahmad

-----------------------------------------

KAMI mencatat cerita mereka dengan tulisan Arab Pegon. Banyak yang terhenyak saat itu. Pikirnya kok ada wartawan  nulisnya pakai huruf Arab Pegon. Usai wawancara, kami ingin mencari data pembanding dan konfirmasi dari pihak pemerintah. Namun dicegah oleh para kiai. ”Kita ke lapangan saja dulu. Baru nanti sampean konformasi pada Kapolres atau bupati,’’ kata Kiai Ali Jauhari.  

Tidak lama kemudian berkumandanglah adzan Subuh.  Jam tanganku menunjukkan pukul 04.16. Kami bergegas menuju masjid setelah mengambil air wudhu di samping rumah joglo Kiai Alawy. 

Baca Berita Sebelumnya: Banyak Pemalsuan Data Lahan, Warga Berontak

Kami shalat berjamaah dengan imam KH Fauruq Alawy yang juga anak kandung Kiai Alawy, lulusan Pesantren Syech Maliki di Makkah Al-Mukaromah. Habis shalat kami kembali ke dalam rumah kiai. “Udah Mas Ika. Istirahat di sini aja. Capek sampean sehari semalam belum tidur,’’ kata Kiai Hasan Asyary pagi itu. Kami pun mengamini. Karena memang badanku capek sekali.

Sekitar pukul 08.15 WIB kami terbangun dan langsung mandi. Di kamar sudah tersedia sarapan dengan berbagai menu. “Ayo pak wartawan dinikmati sarapannya,’’ perintah orang dari balik pintu. Ternyata suara itu suaranya Kiai Alawy. ”Oh enggih Kiai. Terima kasih,’’ jawab kami.

Akhirnya kami bersama-sama kiai dan tamu lainnya sarapan. Kami pilih sate kambing dengan sambal sedikit pedas. “Alhamdulillah nikmat. Nasinya masih hangat Mas Ika, ayo nambah-nambah,’’ ajak Hasan Asyary.

Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul 09. 37 menit.  Kami diajak Kiai Ali Jauhari mendatangi lokasi kejadian di Desa Nagasarah dan La-lar. Kami berangkat dengan mobil Suzuki Carry bersama beberapa warga. Ternyata mobil tidak langsung ke lokasi. Mampir dulu di pesantren Kiai Ali Jauhari. “Mas Ika saya tak salin baju dulu,’’pamit Kiai Ali kepadaku. ” Oh iya Kiai,’’ jawabku.

Belum sampai 2 menit kiai masuk rumah, ada mobil datang dengan plat nomor L. Kemudian sopir mobil tanya kepada kami dan santri. “Betul ya ini rumahnya Kiai Ali Jauhari,’’ tanya sopir tadi. Kang santri yang ada disamping kami mengiyakan. “Terima Kasih. Kiai ada dirumah ya?’’ tanyanya lagi. “Ada,” jawab kami.

HARUS MENYAMAR JADI SANTRI

Orang turun dari mobil dan tanpa banyak tanya berjalan ke arah kami. Dia langsung menjabat tangan kami setelah menyampaikan salam. Bersamaan dengan itu Kiai Ali keluar dari rumahnya. “ Oh ada tamu. Dari mana Pak?’’ tanya kiai Ali.

Orang tadi tidak langsung menjawab.Tapi  menggunakan bahasa isyarat bahwa dia ingin berbicara di dalam rumah. Akhirnya Kiai Ali masuk rumah lagi didampingi tamu tadi. Sekitar 5 menit mereka berdua keluar lagi. 

“Pak Kiai siapa saja yang ikut. Mobil hanya cukup empat orang, ‘’ kata tamu tadi berwibawa. “ Cuma saya dan santri saya ini. Namanya Imam dari Jawa,’’ jawab Kiai Ali sekenanya.
“Ini bukan wartawan to?”.selidik tamu tadi. 
“Bukan Pak. Ini santri saya dari  Kediri,’’ tambah Kiai Ali.

Belakangan kami tahu siapa sebenarnya tamu tadi. Dia adalah  Letkol Art  Soebagyo, perwira Intel Kodam V Brawijaya. Maklum, waktu itu masih  zaman Orde Baru, semua yang berbau militer selalu tertutup. 

Akhirnya kami boleh ikut. Pak Bagyo sedikit curiga kepada kami. Namun, kami berusaha menutupi identitas dengan pura-pura jadi santrinya Kiai Ali Jauhari. Dengan cara setiap menulis aku selalu mengguanakan tulisan Arab pegon.

Ketika mobil sudah sampai desa yang dituju, rombongan tidak langsung menuju lokasi kejadian . Namun menuju tiga rumah korban yang tewas di lokasi. Yakni  Mutirah (55) dan Simoki (30) warga Desa Lar-lar, Nindin (14) warga Desa Talang.  Di desa itu sudah menunggu beberapa tokoh warga. Salah satunya Kepala desa ( Klebun). Siang itu kami tidak mampir ke rumah Mohammad (35) warga Desa Lar-lar. Karena keluarganya masih banyak  yang menunggu di RSUD Dr Soetomo Surabaya. Kami sudah ketemu keluarganya di pondok Kiai Alawy.

Dari pengakuan keluarga korban itulah kami tahu persis peristiwa berdarah yang menewaskan empat orang tadi. Dan dari lokasi itulah kami juga tahu bahwa ada beberapa orang yang diamankan petugas karena dianggap sebagai provokator.  Mereka adalah Hudhori, Ma’ruf, Masruki, dan Mar’i. Mereka dibawa ke Kodim dan ditahan dua hari untuk keperluan interograsi.

Data yang aku gali di lapangan sudah cukup. Karena yang aku perlukan hanya data tambahan. Sebagain  besar data sudah kami dapatkan di pesantren Kiai Alawy. Berita ini sudah ditunggu kantor pusat Jawa Pos.

Saat kami mau ke lokasi sudah kontak kantor dan akan ditunggu sampai selesai. Waktu sudah menunjukkan pukul  19.30. Pak Bagyo juga merasa sudah cukup.

Sebelum pulang ada keluarga yang menyiapkan makan. Makanan apa yang disajikan. Tak lain,  nasi hangat dengan telur ayam kampung rebus. Telur dibelah jadi empat plus sambal. Mungkin karena lapar semua anggota rombongan makan dengan lahap. 

“Maaf, seadanya dinikmati. Di gunung tidak ada makanan enak,’’ ujar warga dengan bahasa halus.

Usai makan kami pamit pulang ke Sampang. Singgah dulu di rumah Kiai Ali.  Akhirnya kami berpisah dengan Letkol Bagyo di pesantren Kiai Ali. Dia mengaku akan melanjutkan perjalanan ke Sampang. “Saya pamit dulu kiai. Saya mau ke Sampang dulu,’’ kata Soebagyo.

Kami singgah sebentar di pesantren Kiai Ali. Selanjutnya kami diantar ke Sampang. ”Mas Ika ada kabar besok akan ada tamu dari Surabaya di pesantrennya Kiai Alawy. Jangan sampai tidak datang,’’ ungkap Kiai Ali dalam perjalanan ke Sampang.

Sebelum berangkat ke lokasi kami sudah kontak kurir foto. Agar merapat ke Sampang dan membawa sepeda motorku. Begitu kami sampai Sampang, kurir sudah standby dan siap berangkat ke Surabaya. Ada dua orang yang menunggu kami. Satu mau berangkat ke Surabaya , satunya menjemput kami untuk pulang ke Pameksan.

“Mas aku pakai sepeda saja. Biar cepat nyampai Surabaya. Karena berita dan foto ditunggu sampai malam,’’ ungkap staf kantor Biro JP Pamekasan Madura.

PENDAPA DIJAGA KETAT

Kami tidak langsung pulang karena harus konfirmasi ke Kapolres Sampang, Letkol Pol Siswanto. Ketika kami mendatangi Mapolres Sampang, ternyata petugas jaga menyampaikan bahwa Muspida Sampang semua kumpul di pendapa Kabupaten Sampang, termasuk Kapolres. Kami langsung meluncur ke pendapa.

Malam itu tidak seperti biasanya. Pendapa di jaga ketat oleh polisi dan TNI bersenjata lengkap. Awalnya kami tidak boleh masuk.Termasuk beberapa teman wartawan yang kebetulan sudah duluan di situ. ”Kami diperintahkan pimpinan. Teman-teman wartawan tidak boleh masuk,’’ kata aparat dari Kodim.

Kami tidak menyerah. Malam itu kami panggil  Kabaghumas Pemkab Sampang, Slamet Terbang. Dan dia mau mendekat. 

”Pak Slamet, gimana ini kami tidak boleh masuk. Padahal sangat penting konfirmasinya,’’ kata kami pada Kabaghumas.

“Sabar dulu ya. Saya menghadap Bapak Bupati dulu. Nanti keputusannya  ada di bapak. Tampaknya rapat sudah selesai. Itu Pak Sekda sudah keluar,’’ kata Slamet.

Alhamdulillah malam itu bisa cair. Bupati Sampang  Kol.Bagus Hidanayana, memberikan konfirmasi seputar peristiwa yang terjadi di lokasi pengukuran Waduk Nipah. Kami sudah tidak konsen menulis, makanya kami pakai tape recorder. Sama seperti ketika kami wawancara sama warga. Sehingga tidak kelihatan kalau kami jurnalis.

Setelah itu kami meluncur ke Pamekasan. Dari Sampang ke Pamekasan  memerlukan waktu sekitar 45 menit dengan bersepeda motor .Alhamdulillah tidak ada hambatan kami sampai dikantor JP di Pamekasan. Langsung menuliskan beritanya. 

Setelah rampung kami lapor ke kantor pusat di Karah Agung. ”Mas laporan sudah siap,’’ kataku lewat telepon kepada asisten Koordinator Liputan, Mas zainal. “Oke Pak Ika. Foto bagaimana,’’jawab Mas Zaenal. “ Udah sejak hampir dua jam lalu dibawa kurir ke Surabaya,’’ kataku dengan senda gurau seperti biasa dengan Mas Zaenal. “ Masuk,’’sahutnya bercanda.

Setengah jam kemudian telepon kantor berdering. Tenyata Pemimpin Redaksi Jawa Pos, Pak Siradj, yang nelepon. ”Assalamu’alikum, Ka. Semua data sampean kirim ya. Nanti biar diolah Surabaya,’’ perintah Pak Siradj  melalui telepon.

Malam itu aku tidak bisa tidur.  Kuluangkan waktu untuk kontak-kontak teman-teman dan tokoh di Sampang. Malam itu kami kontak Hasan Asyary yang mengatakan bahwa Sampang semakin ramai. “Mas Ika jangan lupa besok pagi datang ke pesantren Kiai Alawy. Penting!’’ kata Hasan memalui telepon.

Kami putuskan malam itu kami tidak tidur dan kembali ke Sampang. Sebelum berangkat kami kontak dulu ke kantor pusat di Karah Agung. “Mas tolong tanyakan kepada Pak Siradj apakah berita malam ini sudah cukup,’’ kataku kepada Zaenal. 

“Berita Nipah sudah dibungkus Mas Ika,” jawab Zaenal. Maksudnya sudah diedit dan naik cetak.

Sekitar pukul 02.10 kami sampai di kota Bahari Sampang dan menuju Pesantren Kiai Alawy Mohammad. Kalau sebelumnya kondisi Sampang biasa-biasa saja. Malam terasa beda. Semua pintu masuk Sampang dijaga ketat oleh polisi dan tentara. Juga ada pasukan Brimob dan pasukan dari Yon 516 Pamekasan. Semua kendaraan yang masuk Sampang diperiksa. Termasuk kendaraanku juga diperiksa.

 “Lo , Pak Ika. Malam-malam mau ke mana?’’ tanya petugas. 

“Ke Surabaya, Pak,’’jawabku.

“Lo besok kan banyak tamu datang ke Sampang? Kok sampean malah pergi,’’ kata petugas yang  ternyata Kanitlantas Polres Sampang. 

“Oh gitu ya,’’ sahut kami.

“Sampean mampir ke Mako. Komandan ada di Mako,’’ tambahnya.

Tanpa basa-basi kami pun meluncur ke Mapolres. Benar, malam itu Kapolres Sampang Letkol Pol Siswanto ada di Mako.Berada di depan kantor bersama para perwiranya. 

“Asalamu’alaikum Ndan,’’ sapa kami,memberi hormat pada Kapolres.

“Walaikumsalam, Mas. Dari mana saja? Saya kontak-kontak kok tidak ada respon. Sampang panas Mas. Ini gara-gara protes warga kemarin. Terus terang saya tidak bisa berkomentar banyak. Sampean kan tahu sendiri. Kasus ini sudah diambil alih Jawa Timur,’’ ungkap Kapolres.

Malam itu  tidak banyak keterangan yang aku gali dari Kapolres. Karena masukannya hanya seputar nama-nama korban saja. Padahal data itu sudah kami dapatkan dari lapangan. Akhirnya kami putuskan untuk cabut dan melanjutkan perjalanan ke pesantren Attaroqi.

Tidak beda dengan situasi di jalan-jalan masuk kota. Di seputar pesantren Kiai Alawy juga dijaga aparat keamanan. Kalau di jalan-jalan banyak polisi, di dekat pesantren Kiai Alawy Muhammad didominasi TNI plus PM. 

“Mas Ika besok pagi ada tamu dari Surabaya. Pak Gubernur, Pangdam, Kapolda dan lain-lain. Makanya malam ini pesantren di jaga tentara,’’ ungkap Hasan Asyary.

Namun sebelum para pejabat itu tiba di lokasi, telah datang rombongan Muspida Jatim, rombongan Dan Den POM V/ Brawijaya Kolonel Sulaiman AB. Pagi itu mereka langsung bergerak ke beberapa titik.Salah satunya ke lokasi peristiwa. Hanya Sulaiman AB yang langsung bertamu Kiai Alawy. Pokoknya kondisi Sampang ketika itu benar-benar tegang dan gawat.  Ada informasi bahwa masyarakat akan mengepung kota Sampang.

Sekitar pukul 07.15  beberapa Kiai dan ulama se-Madura mulai berdatangan. Mulai KH Tijani Djauhari, KH Noeruddin A Rahman, KH Fuad Amin Imron, KH  Sachal  Cholil dan masih banyak lagi. Pokoknya seluruh ulama yang tergabung dalam Bassra hadir.

PARA KIAI MINTA BUPATI DICOPOT

Dua jam kemudian rombongan Gubernur Jatim,  Basofi Sudirman tiba di lokasi didampingi Pangdam dan  Kapolda. Dialog  pun dilakukan di dalam ruangan. Pertemuan itu tertutup oleh wartawan. Namun alhamdulillah kami bisa mendengar percakapan   mereka. Karena kami sebelumnya bersembunyi di kamar putra Kiai Alawi yang lokasinya di samping acara pertemuan.

Ada beberapa poin masukan dalam pertemuan itu. Pihak pemerintah minta agar para kiai dan ulama ikut membantu menciptakan stabilitas keamanan di Sampang. Sementara para ulama minta  Bupati Bagus Hinayana dicopot. Sebab , bupatilah orang yang paling bertanggung jawab. Dialah yang memerintahkan aparat untuk menembak siapa saja yang menghalangi pembangunan waduk Nipah. 

Akibatnya proyek Nipah dihentikan sementara, sampai pihak-pihak yang terlibat diadili. “Akan kami pertimbangkan usul para kiai. Nanti akan kami tindaklanjuti di Surabaya,’’ jawab Gubernur  Basofi.  

Pasca peristiwa Nipah 25 Oktober 1993 itu, hampir setiap hari ada tamu datang ke Kota Bahari Sampang. Intinya mareka protes dan prihatin dengan peristiwa berdarah itu. Hal serupa jugaterjadi di 
Surabaya dan Jakarta. Sampang bisa kembali normal setelah pemerintah pusat mencopot Bupati Sampang H Bagus Hinayana dan menggantinya dengan H Fadhilah Budiono.

Akibat peristiwa berdarah itu Jawa Pos Pamekasan dan Sampang ikut rugi. Sebab sebelum terjadinya  peristiwa berdarah tersebut, Jawa Pos bersama Polres Sampang didukung Pemkab Sampang akan menggelar lomba sepeda gunung  yang berpusat  di Pantai Camplong.

Semua persiapan sudah oke. Termasuk peserta yang jumlahnya hampir 7000 orang.  Kaos sudah disiapkan.Termasuk baliho dan spanduk penyelenggaraan dari sponsor dan spanduk Jawa Pos sudah siap dipasang. “ Mas Ika acara kita tunda dulu ya. Lain  kali kita laksanakan lagi.Kondisi kayak begini Mas,’’ kata Kapolres ketika itu. 

Sebelumnya kami sudah koordinasi dengan Surabaya. Lomba sepeda akan terkendala.

“Tidak apa-apa Ka (ika). Wong kondisinya kayak begitu,’’ kata KL. Akhirnya lomba resmi dibatalkan. Mengingat situasi dan kondisi Sampang ketika itu. Pengumuman lewat media Jawa Pos disampaikan. Alhamdulillah, semua calon peserta maklum dengan kondisi  dan situasi ketika itu. ”Tidak apa-apa Mas Ika. Kondisinya memang kayak begini,’’ kata Mastur peserta dari wilayah Sumenep.

Hal serupa juga disampaikan calon peserta yang lain.Bahkan ada beberapa peserta yang memberi masukkan agar lokasi di pindah ke Pamekasan atau Sumenep. Namun, panitia tidak berani mengambil resiko. Karena kami dapat  kabar bahwa Kapolres Sampang Letkol Siswanto dan Dandim  Letkol Mahmud akan diganti dalam waktu dekat. “Masukan Bapak-bapak akan kami pertimbangkan,’’ jawab kami ketika itu. 

Benar tidak sampai empat hari, Kapolres dan  Dandim Sampang di ganti. Untung, kami tidak memindah lokasi acara dan tetap kami batalkan,meski kerugian panitia luar biasa banyak.***

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda