Mau Kemana CoWasJP?

Ilustrasi: gedhebug/CoWasJP.com

COWASJP.COM – ockquote>

O L E H: Bambang Indra Kusumawanto

-------------------------------------------------------

CoWasJP.com sudah mulai ndemek-ndemek berbentuk. Ibarat balita, masih belajar berjalan. Naskah dari beragam model dan gaya penulisan, mengalir tanpa jeda.

Mengutip istilah Arif Afandi, teman-teman mulai menemukan dunianya kembali. Menulis. CowasJP berdiri karena semangat silaturahmi.

Namun, media onlinenya bisa digarap serius bahkan dapat berkembang menjadi media komersial yang potensial. Sebab, sudah kita ketahui bersama, pemasok naskahnya adalah para pendekar yang pernah membesarkan JP. Seperti apa arah ke depannya? Mari kita bahas bersama.

Keberagaman konten (diversity of content) mewarnai perkembangan media saat ini. Media cetak dan online (elektronik),  berlomba-lomba melakukan ini. Saling kejar, dan saling hajar.

Presiden AS Barack Obama pernah merilis kritik. ‘’Saya sangat concern bahwa semua arah berita yang ada saat ini seluruhnya hanya blogosphere, semuanya opini tanpa melakukan re-check serius. Tidak ada upaya menempatkan pada sebuah konteks,  --yang akhirnya membuat semua orang saling berteriak satu sama lain dalam sebuah kekosongan tapi sesungguhnya mereka tidak saling mengerti.’’
Sebuah kritikan tajam, tentunya dari Mr Presiden. 

Di Indonesia, Presiden Jokowi juga pernah melontarkan kritik yang sama. Dia ingin media mampu menjadi sandaran toleransi dan mampu memainkan peran mendidik dan mencerahkan masyarakat. ’’Dengan kata lain, saya harapkan media menjadi sebuah cahaya, cahaya moralitas, dan itu semua untuk kemajuan bangsa dan negara.’’ (Silaturahmi dengan pers, April 2015).

Tugas kita menjawab kritikan itu. 

Media online kini sudah mampu mensejajarkan diri dengan media cetak.  Berita bukan hanya mengupas pasca peristiwa semata, tetapi bagaimana peristiwa itu terjadi secara detail dan menarik. Disajikan dalam running menit per menit, membuat pembaca sakau untuk terus mengikutinya.

Maka, kedalaman (news in deep) harus menjadi andalan. Karena itu, pengetahuan luas dari seorang redaktur sangat menentukan dalam pemilihan dan pendalaman angle.  Bukan jamannya lagi pola cepat-cepatan dalam update berita  namun tidak ada pengayaan, tidak ada data pendukung, tidak ada analisis sama sekali. 

bik-oktSEBR.jpg

Penulis disaat rehat dari kesibukan sehari-harinya, (Foto: CoWas.JP.Com).

Lebih serius, dalam dengan data, analisis, lebih  lengkap dan pengayaan angle.

CowasJP dapat menempatkan dri sebagai media alternatif, sebagai counterpunch (sisi lain) atau sebagai pendukung fakta yang lebih lengkap dan akurat.

Bukan hanya mengandalkan  cepat-cepatan update. Tetapi, harus menjadi pioner sebagai online pertama dengan penyajian yang didukung data, analisis,  berbagai angle  dan tentunya akurasi.

CowasJP (sebagai media online) sudah harus memulai menjadi sebuah media yang paling tahu, paling akurat, paling kaya angle dan data, dan (terakhir) baru paling cepat.

Tidak ada gunanya menjadi paling cepat, tetapi hanya mencantumkan satu atau dua alenia berita saja. Tidak ada gunanya paling cepat, tetapi tidak akurat.

Krisis jurnalism 

Krisis jurnalism di Indonesia, sesungguhnya lebih parah sebagaimana yang dikhawatirkan  Obama maupun Jokowi.

Kemajuan teknologi disikapi dengan salah. Wartawan dengan mudah copy paste, tanpa pernah melakukan upaya pendalaman atau pengayaan data. Memang cepat, informasi kepada pembaca.

Tetapi, informasi apa? Dangkal dan bahkan sampah karena seragam.

Buka semua media, isinya sama. Atau, senada.

Kondisi ini diperparah dengan adanya rezim media; yang mendistorsi demokrasi.

Harapan masyarakat pada media, di Indonesia, masih tinggi. Bahwa media menjadi pelopor  budaya yang berkualitas dan memberi informasi yang kredibel. Harapan itu menciptakan idealisme dalam masyarakat agar media menjadi sarana pendidikan kritis, mandiri dan pemikiran yang dalam.  Dengan demikian media mampu meningkatkan debat publik dan kematangan politik warga negara.

Tapi apa yang terjadi? 

Televisi dan media lain hanya mengejar rating dan keuntungan finansial. Mereka terpaksa mengadopsi logika pasar yang diidentikkan dengan hal-hal sensasional dan spektakular. Padahal, masyarakat merindukan berita normatif. 

Berita tentang korban mudik Lebaran yang disebut ‘’menurun’’ tetapi masih di sekitar angka 400 an jiwa, tidak semestinya dianggap berlalu begitu saja.

CowasJP hendaknya mampu menangkap ‘’kekosongan’’ atau harapan dan idealisme tadi. CowasJP hendaknya bisa menjadi public-sphere , hingga publik menjadi lebih luas dalam mengakses informasi, sarana dan analisis, serta memberikan ruang diskusi bagi mereka.

Meluasnya rezim media di Indonesia menjadikan masyarakat hanya mendapatkan informasi terbatas. CowasJP harus memiliki komitmen, lepas dari belenggu tersebut. Menjadi media yang lebih demokratis dengan menggalan g beragam kepemilikan (diversity of ownership), dan lebih penting lagi keberagaman isi (diversity of content). ***

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda