Blaaaaarrrrrr…….Teror Jakarta

Dhimam Abror Djuraid, Foto: Slamet Oerip Prihadi/cowasjp.com

COWASJP.COM – ockquote>

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

-------------------------------------------

LIMA belas hari memasuki tahun baru 2016, Jakarta menjadi sasaran serangan teroris. Tak sampai sebulan sejak serangan teroris ke Paris, Jakarta mendapatkan gilirannya. Beberapa hari terakhir ini kita dibuat bertanya-tanya oleh liputan media yang massif terhadap gerakan Gafatar, tiba-tiba Jakarta meledak oleh serangan terbuka teroris.

Jakarta sudah terbiasa dengan serangan teroris. Tapi, baru kali ini serangan teroris secara terbuka terjadi. Jalanan MH Thamrin yang biasanya macet dan sibuk kemarin (14/1) lengang dan berubah menjadi ajang tembak-menembak aparat dengan teroris.

Tudingan langsung diarahkan kepada kelompok ISIS yang juga dituduh sebagai pelaku serangan teror Paris. Kelompok radikal ini diduga telah menyusup ke Indonesia untuk menghidupkan kembali cita-cita negara Islam Indonesia.

Teror tak pernah ada matinya. Ketika Usamah Bin Ladin dibunuh oleh pasukan khusus Amerika, 2 Mei 2011, seolah-olah gerakan teror segera tamat riwayatnya. Bin Ladin adalah tokoh utama di balik organisasi Al-Qaidah yang dituduh sebagai organisasi teror terbesar dan paling luas jaringannya di dunia. Jaringan Al-Qaidah menyusup juga ke Indonesia.

Perburuan terhadap Usamah Bin Ladin dilakukan sejak peledakan gedung kembar WTC di Amerika pada 11 September 2001. Cukup mengherankan bagaimana Amerika yang punya kekuatan militer dan intelijen canggih butuh waktu hampir 15 tahun untuk bisa melumpuhkan buruan nomor wahidnya.

Begitu Bin Ladin terbunuh, ada perasaaan euforia di Amerika bahwa teror akan berakhir karena biangnya sudah dihabisi. Salah besar! Alih-alih redup, gerakan perlawanan terhadap Amerika malah berkembang semakin besar dan jauh lebih terorganisasi. Gerakan perlawanan itu bermetamorfosis, berubah bentuk, dari sebelumnya gerakan bawah tanah berbasis sel menjadi gerakan di atas tanah dengan organisasi yang rapi layaknya negara, yaitu negara Islam Irak dan Syam (ISIS).

Gerakan perlawanan ini lebih terbuka dan mempunyai kekuatan lebih tertata dengan organisasi yang cukup modern, disokong oleh pendanaan yang mandiri dan terorganisasi rapi. Saat Al-Qaidah berjaya organisasi ini lebih banyak bergantung kepada Usamah Bin Ladin seorang diri. Sehebat-hebatnya Bin Ladin, sekaya apapun dia tentu tidak akan mampu membiayai operasional sebuah organisasi yang berjaringan internasional. Karena itu Al-Qaidah bisa dilumpuhkan.

Sekarang gerakan ISIS lebih terbuka, berani, dan lebih mampu menarik simpatisan dari seluruh dunia. Tak terhitung berapa banyak orang-orang Amerika, Inggris, dan negara-negara Eropa yang tertarik bergabung dengan ISIS. Cukup banyak orang-orang Indonesia yang tertarik untuk bergabung dengan ISIS dan rela meninggalkan negerinya untuk bergabung dengan gerakan ini.

Gerakan perlawanan ini mendapat gempuran dahsyat dari negara-negara Sekutu Amerika seperti Inggris dan Australia. Suatu ketika nanti gerakan ini mungkin bisa dilumpuhkan sebagaimana Al-Qaidah. Tapi gerakan perlawanan akan tetap bermunculan selama persoalan yang menggunung es tidak diselesaikan. Mudah diduga, semua gerakan ini bermuara pada kebencian terhadap Amerika. Kebijakan Amerika secara umum terhadap negara-negara Islam di Timur Tengah dianggap sebagai pemicu ketidakpuasan yang melahirkan perlawanan berantai ini. 

Ketika komunisme internasional pupus dengan ambruknya Uni Soviet pada 1991, Amerika Serikat menjadi adidaya tunggal di dunia. Perang Dingin yang terjadi sejak selesainya Perang Dunia II ditandai oleh permusuhan yang tak kunjung padam antara Amerika dengan Uni Soviet. Amerika memimpin blok negara-negara kapitalis, terutama di wilayah Eropa Barat, Uni Soviet memimpin blok negara-negara komunis di berbagai belahan dunia khususnya di Eropa Timur. Periode ini disebut sebagai perang dingin, karena kedua kekuatan raksasa itu sama-sama tidak berani melakukan perang panas yang terbuka. Yang terjadi kemudian persaingan diam-diam dan letusan-letusan pertempuran di berbagai front mulai dari Eropa Timur, Amerika Selatan, Timur Tengah, Asia, Afrika, dan seluruh belahan dunia lainnya.

Pada masa itu tidak ada satu pun konflik dunia yang tidak melibatkan dua kekuatan monster dunia itu. Sumber seluruh keruwetan persoalan dunia ketika itu ada pada persaingan kedua kekuatan itu. Ketika komunisme ambruk, Uni Soviet bubar, maka Amerika menjadi juara dunia, menjadi penguasa tunggal dunia.

Francis Fukuyama (1991) mendeklarasikan kemenangan Amerika sebagai puncak dari sejarah dunia. The End of History. Sejarah telah berakhir karena komunisme roboh dan liberalisme-kapitalisme menjadi satu-satunya ideologi dunia. Dalam buku ‘’The End of Histori and The Last Man’’ Fukuyama mengatakan bahwa matinya komunisme adala niscaya dan kemenangan liberalisme-kapitalisme adalah pasti. Ideologi liberal adalah ideologi universal yang paling tepat untuk umat manusia, karena manusia diciptakan sebagai mahluk bebas yang memburu kebahagiaan pribadi sebagai tujuan utama.

Fukuyama menyebut sejarah telah berakhir, tidak akan ada lagi perkembangan sejarah, karena ia menyuplik filosofi Hegel yang melihat perkembangan sejarah sebagai perkembangan yang linier, satu arah. Hegel mendasarkan pandangannya pada dialektika tesis dan antitesis yang kemudian melahirkan sintesis. Kemenangan liberalisme-kapitalisme merupakan sintesis dari pertempuran tesis-antitesis komunisme. Pada titik ini, menurut Fukuyama, sejarah dunia berakhir karena telah mencapai titik puncaknya, yaitu ideologi kapitalisme-liberalisme.

Amerika—yang merupakan representasi ideologi liberalisme-kapitalisme—yang menjadi penguasa tunggal dunia ternyata kebingungan juga karena kehilangan sparring partner. Kalau tidak ada perang, ekonomi Amerika bisa macet. Hubungan cinta antara industri senjata dan peperangan (military-industrial complex) telah menjadi mesin besar yang menggerakkan perekonomian Amerika. Kalau mesin itu mati, mati pula ekonomi Amerika. Tanpa perang, ekonomi Amerika akan lesu.

Maka, muncullah Samuel Huntington yang melahirkan teori ‘’The Clash of Civilization’’ (1996), bahwa sumber peperangan dunia bergeser dari era perang dingin yang berdasarkan ideologi menjadi perang karena benturan peradaban. Dalam buku ‘’The Clash of Civilization and the Remaking of World Order’’ Huntington secara umum membagi peta peradaban dunia menjadi empat, yaitu peradaban Barat yang Kristen, Timur Ortodoks, Konfusianisme China, dan peradaban Islam. Ledakan penduduk di negara-negara muslim yang kemudian mengalir menjadi imigran ke negara-negara Barat serta munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru, oleh Huntington diprediksi akan menjadi sumber peperangan baru di dunia.

Sebagaimana Fukuyama ketika memproklamasikan ‘’akhir sejarah’’, Huntington juga dikecam luas ketika mengumumkan munculnya ‘’perang peradaban’’ ini. Banyak yang mengecam dan menganggapnya tidak relevan. Salah satu contoh adalah hubungan yang mesra antara Amerika dengan Arab Saudi. Bagaimana bisa disebut ada perang peradaban antara Islam dan Barat kalau ternyata Amerika (yang nota bene representasi Barat yang Kristen) bisa menjadi sekutu paling akrab bagi Arab Saudi yang representasi negara Islam?

Pendukung Huntington menjawab bahwa hubungan antara Amerika dan Arab Saudi tidak bisa disebut sebagai hubungan mesra dua peradaban yang berseberangan. Sebaliknya, hubungan itu tak lebih dari kemesraan hubungan antar-rezim, yakni rezim kapitalis-liberal Amerika dengan rezim keluarga Al-Saud sebagai penguasa Arab Saudi. Tanpa rezim keluarga Al-Saud hubungan mesra dengan Amerika belum tentu bertahan.

Terlepas dari pro dan kontra itu, ‘’perang peradaban’’ besar akhirnya meledak ketika dua menara kembar WTC di New York roboh oleh dua pesawat yang sengaja ditabrakkan oleh para pembajak. Dunia terhenyak. Ternyata teori Huntington benar. Perang baru antara peradaban Barat dengan Islam telah muncul. George W Bush pun langsung mengumumkan perang melawan terorisme internasional. Meski Bush tidak pernah mengakui bahwa ia memproklamasikan perang melawan Islam, tetapi implisit telah jelas bahwa perang Bush adalah perang melawan gerakan Islam radikal.

Bush menghajar Saddam Hussein, musuh lama warisan bapaknya, mengejarnya sampai ke lubang tikus, menangkap kemudian menggantungnya. Usamah Bin Ladin juga diburu ke lubang persembunyiannya dan kemudian dibunuh dalam keadaan mengenaskan.

Teror ternyata tidak pernah pupus. Sebaliknya muncul dalam bentuk baru yang lebih besar dan masif skalanya. Sebagaimana raksasa Rahwana yang berkepala sepuluh, satu dipenggal, satu tumbuh, gerakan perlawanan melawan Amerika akan tetap tumbuh selama kebijakan Amerika terhadap Timur Tengah tidak berubah. Wallahu A’lam bil-Shawab. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda