Beda Korupsi di Pusat dan Daerah

ILUSTRASI: Foto: istimewa/CoWasJP

COWASJP.COM – ockquote>

Kalau Anda melapor kehilangan kambing, maka Anda akan kehilangan sapi.

BUPATI Pamekasan Achmad Syafii sama sekali tidak menduga kalau usahanya untuk menghentikan penyelidikan kasus penyelewengan proyek Alokasi Dana Desa (ADD) justru malah mengantarnya ke balik jeruji besi. Dugaan penyelewengan proyek ADD itu nilainya ‘’hanya’’ Rp 100 juta, tapi pihaknya harus menyuap Rp 250 juta kepada pihak penyidik agar kasusnya tidak dilanjutkan. Tapi bukan kasusnya yang berhenti, tapi justru malah menjadi semakin besar yang menyebabkan sang bupati kehilangan jabatan.

Usaha menyuap penyidik itu terendus radar KPK. Akhirnya, bupati bersama anak buahnya dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Selain bupati, kepala Kejaksaan Pamekasan Rudy Indra juga tertangkap tangan karena menerima uang suap. Akibat urusan korupsi ini, bupati harus memikul beban berat, salah satunya adalah kehilangan jabatan. Reputasi yang dibangun susah payah, hancur dalam waktu beberapa menit saja saat petugas KPK mencokoknya.

Saat ini KPK getol melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pelaku korupsi di daerah. Sebelum di Pamekasan, komisi antirasuah itu melakukan penangkapan serupa di Surabaya, Mojokerto dan daerah lain. Penangkapan di daerah ini penting untuk menyeimbangkan antara di pusat dan daerah. Supaya tidak ada kesan bahwa KPK hanya bisa menangkap koruptor di tingkat pusat.

Kalau dilihat dari nominal yang dikorup, sangat jauh berbeda antara di daerah dan pusat. Ibaratnya korupsi di daerah hanya menggunakan ‘’uang recehan’’ sampai ratusan juga. Para kepala daerah, pimpinan dan anggota dewan yang jadi korban OTT, menerima uang tidak terlalu besar. Bandingkan dengan pelaku megakorupsi E-KTP yang bermandi uang miliaran rupiah. Ada satu tersangka yang mendapat jatah lebih dari Rp 800 miliar. Uang sebanyak itu hanya dinikmati oleh satu orang. Jumlah itu sama dengan APBD kota atau kabupaten kecil. Maka rakyat silakan tercengang melihat triliunan rupiah dijadikan bancakan oleh para wakilnya di Senayan.

Kalau ada upaya-upaya sistemik untuk mengganjal KPK, terutama dari kalangan legislatif, sebenarnya khalayak sudah bisa menarik benang merah. Kemana arahnya, karena selama ini anggota legislatif banyak terjerat kasus korupsi, terutama yang berhubungan dengan anggaran. Sudah ada beberapa wakil rakyat yang dijadikan tersangka dan konon masih akan ada lagi. KPK akan terus mengusut kasus korupsi tersebut bersamaan dengan perlawanan kalangan legislatif melalui Pansus Angket yang terus bergulir. Khalayak sudah cerdas, siapa yang akan didukung, KPK yang terus menangkapi koruptor, atau para wakil mereka yang kegerahan karena korupsinya terendus KPK.

Akan halnya korupsi di daerah, nominalnya memang kecil, karena anggarannuya tidak besar. Proyek ADD misalnya, anggarannya hanya Rp 100 juta tiap desa. Kerugian negara akibat korupsi E-KTP mencapai Rp 2,3 Triliun. Bandingkan dengan APBD Kabupaten Pamekasan yang hanya Rp 2,1 Triliun. Itulah sebabnya, dana yang dikorupsi juga kecil. Dalam proyek ADD senilai Rp 100 juta, kalau pun terjadi penyelewengan pasti jumlahnya tidak sampai Rp 100 juta. Masalahnya adalah, penyelewengan tentu tidak hanya terjadi di satu desa. Mengapa pula bupati sudah menyiapkan dana Rp 250 juta kalau kasus penyelewengan itu sampai diperiksa oleh kejaksaan. 

Tapi sebenarnya bukan soal besaran nominal yang dijarah para koruptor itu, tapi upaya KPK untuk memberantas korupsi di seluruh negeri. Ini sekaligus untuk menjawab anggapan bahwa pemberantasan korupsi hanya dilakukan ditingkat pusat dengan nilai yang besar. Korupsi di daerah yang nilainya kecil, tidak boleh diabaikan. Bisa saja korupsi di satu daerah nilainya hanya ratusan juta, tapi itui terjadi di hampir semua daerah. Kalau diakumulasi, jumlahnya akan sangat besar, lebih besar dari korupsi di pusat.

Tindak korupsi sudah masif dan sistemis dari pusat sampai daerah. Sangat sulit bagi KPK untuk memberantas semuanya. Sebenarnya upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan oleh penegak hukum yang lain, kepolisian dan kejaksaan, tapi hasilnya tidak maksimal. Kedua institusi itu serba salah bila harus memeriksa kasus korupsi di lembaganya sendiri. Itulah sebabnya, KPK dibentuk agar mampu masuk ke semua lini tanpa harus dibebani rasa segan.

Korupsi tidak hanya ditindak, tapi yang paling penting dicegah. Para pemegang kekuasaan harus mampu menahan diri untuk tidak memakan harta yang bukan haknya. Penangkapan koruptor di daerah seharusnya menjadi shock teraphy bagi pejabat yang lain agar tidak melakukan tindakan serupa. KPK tidak hanya menangkap koruptor di pusat, tapi juga di daerah terpencil. Selama ini khalayak menganggap KPK hanya bisa beraksi di Jakarta. Siap sangka, kabupaten Pamekasan yang berada di ujung pulau Madura itu sampai terendus KPK. Kalau KPK mampu menangkap koruptor di daerah terpencil, tentu tidak akan sulit menangkap di daerah lain. Masalahnya hanya tinggal tunggu waktu.

Perang terhadap korupsi akan terus digelorakan, meskipun mendapat banyak tentangan. Memang belum banyak koruptor yang ditangkap, lebih koruptor yang belum tertangkap dan lebih banyak lagi yang ingin korupsi tapi belum punya kesempatan. Penangkapan dan hukuman bagi koruptor seharusnya menjadi pelajaran bagi koruptor yang belum tertangkap untuk menghentikan aksi jahatnya. Begitu juga bagi yang belum berkesempatan, buang jauh-jauh keinginan korupsi, karena cepat atau lambat pasti akan ketahuan. Kalau tidak ketahuan manusia, pasti ketahuan Tuhan. Hukuman Tuhan pasti lebih berat.

 

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda