Jangan Terlalu Larut dalam Pesta Kemenangan

COWASJP.COM – ockquote>

Pilkada DKI Jakarta sudah usai. Umat Islam yang telah lama berjuang pun sudah merasakan kemenangan yang membanggakan. Meski demikian, mereka mestinya tetap waspada. Jangan terlalu larut dala pesta kemenangan. Coba perhatikan kembali persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.

------------------------------------------------------------

SIDANG Kasus penistaan agama itu dagelan. Begitu komentar beberapa kawan berkenaan sidang penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Tidak bisa dibantah, sidang itu memang terkesan bertele-tele.

“Kenapa begitu?” tanya saya.

“Lha, memang. Karena memang sudah di-setting seperti itu. Sudah diskenario seperti itu. Ahok tidak akan pernah masuk bui.”

Dialog di atas setidaknya mengingatkan kita akan beberapa hal yang patut diperhatikan menyusul penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung sukses Rabu, 19 April 2017, kemaren. 

Untuk sementara, paling tidak sampai dikeluarkannya pengumuman secara resmi, Paslon Nomor Urut 3 Anies Baswedan – Sandiaga Uno (Anies-Sandi) unggul dengan peroleh suara yang luar biasa besar. Sampai detik tulisan ini dibuat, perbandingan perolehan suara Ahok-Jarot dan Anies-Sandi adalah 40:59. 

Pertanyaannya, apakah hasil sementara dari proses penghitungan cepat (quick count) itu tidak akan berubah? Apakah tidak mungkin segala cara dipakai untuk memenangkan Ahok-Jarot? Tadi malam ada info bahwa di beberapa tempat di ibukota Jakarta terjadi insiden mati lampu yang tidak jelas sebabnya. Apakah insiden itu tidak akan menyebabkan perolehan suara berubah?

Lalu, apakah pihak-pihak yang terkait dengan Ahok-Jarot bisa menerima kekalahan itu dengan legowo? Apakah tidak mungkin mereka justru sudah mempersiapkan langkah-langkah yang mesti diambil bila menghadapi situasi terburuk seperti ini? Bukankah tidak mustahil mereka sudah mempersiapkan Plan-B untuk menghadapi situasi yang tidak diharapkan?

Bisa jadi akan ada yang mengatakan bahwa semua kecurigaan itu mengada-ada. Kalau kalah ya kalah. Tidak perlu berpikir yang lain. Begitu barangkali bantahan yang mungkin saja muncul berkenaan dengan itu. 

Begitu juga dengan proses persidangan penistaan agama itu. Mendagri Tjahyo Kumolo dalam suatu kesempatan kemaren mengatakan bahwa pemerintah sama sekali tidak akan mengintervensi proses persidangan itu. 

Tapi perlu diingat bahwa kekalahan dalam Pilkada DKI Jakarta bagi kubu Ahok-Jarot, betapa pun beratnya, tidak akan seberapa bila dibandingkan dengan kekalahan dalam sidang pengadilan penistaan agama. Bagaimanapun, jika kalah dalam pemilu, Ahok atau Jarot bisa jadi akan mendapatkan posisi yang bahkan lebih tinggi dari jabatan seorang gubernur. Tapi kalau kalah dalam persidangan, Ahok dengan terpaksa harus masuk bui. Itu tidak boleh terjadi. 

Bukankah belakangan ada selentingan, atau katakanlah “kabar burung”, Ahok tetap akan dilindungi. Dia bahkan akan mendapatkan jabatan tertentu dalam rencana reshuffle kabinet yang terkesan sengaja ditunda sampai selesai Pilkada DKI Jakarta, Rabu 19 April kemaren. Konon, menurut informasi dari seorang kawan, Ahok bisa jadi akan menggantikan Tjahyo Kumolo sebagai Mendagri. 

Tak Akan Pernah Dipenjara

Beberapa waktu belakangan ini, kita disuguhi lawakan yang sama sekali tidak lucu dari proses sidang penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Proses persidangan ini sejak awal sudah terkesan bertele-tele. Banyak hal yang melahirkan kesan bahwa Ahok memang sengaja hendak dilindungi. 

Sebut saja misalnya tuntutan masyarakat muslim agar Ahok ditahan sama sekali tidak dipenuhi. Walaupun sudah berulang kali umat Islam menggerakkan demo untuk menuntut agar Ahok ditahan, bahkan sempat menghadirkan 7 juta orang dari seluruh kepulauan Nusantara di Monas, namun Ahok tetap tak tersentuh. 

Karenanya di antara para terdakwa kasus penistaan agama, Ahoklah satu-satunya yang tidak ditahan. Tidak seperti Arswendo Atmowiloto, Permadi, Lia Eden dan beberapa orang lainnya, yang begitu dinyatakan tersangka, langsung ditahan. 

Selanjutnya, beberapa hari menjelang penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta, Hakim yang memimpin persidangan itu menerima permintaan agar sidang ditunda sampai selesai Pilkada. Aneh, sidang ditunda tiba-tiba, padahal prosesnya sudah masuk acara pembacaan tuntutan. Alasannya adalah demi keamanan, sebagaimana surat permintaan penundaan dari Polda Metro Jaya. Padahal sampai Pilkada kemaren selesai, masalah keamanan tetap aman dan terkendali.

Menariknya, alih-alih memprotes penundaan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru ikut memberikan alasan tambahan bahwa mereka belum bisa membacakan tuntutan, karena pengetikannya belum selesai. Alasan yang menyiratkan seolah-olah kasus ini tidak penting. 

Akan Diputus Bebas

Melihat gelagat sejumlah pihak yang terkait dengan proses persidangan itu dari awal dimulainya proses persidangan sampai sekarang, tampaknya semakin kecil kemungkinan Ahok akan dinyatakan bersalah. Bukankah tidak mustahil tuntutannya akan dibuat tidak maksimal, sehingga tim pembela Ahok dengan mudah dapat mematahkan argumentasinya. 

prabowotabloidbintangDg9At.jpgFoto: tabloidbintang

Karena itu, umat Islam yang merasa telah mencapai kemenangan dengan unggulnya perolehan suara Anies-Sandi janganlah dulu menepuk dada. Jangan buru-buru pesta-pora dengan kemenangan ini. Sebab, bukan hanya karena keputusan resmi soal kemenangan ini belum dikeluarkan, tapi pertarungan yang sebenarnya justru baru dimulai. 

Pada saatnya Ahok akan diputus bebas. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Sebab dia memang akan tetap dilindungi. Selanjutnya, kenapa harus dilindungi? Jawabannya, sudah tentu dong, bukankah selama ini sudah berseliweran dugaan dari sejumlah pihak bahwa dengan alasan beberapa hal dia mau tidak mau harus dilindungi. Tidak akan dijebloskan sendirian ke dalam penjara. 

Di antaranya, pertama, dia sudah terkenal dengan “mulut ember”-nya. Jadi kalau dia dijebloskan ke dalam penjara sendirian bukan mustahil dia akan “menyanyi” alias membuka rahasia yang dia punya. Artinya, dia bisa saja menyeret beberapa pihak tertentu. Bila itu yang terjadi, dampaknya akan jauh lebih dahsyat dari pada yang pernah dilakukan mantan politisi Partai Demokrat Nazaruddin. Meskipun dana bancakan dalam sejumlah kasus yang melibatkan Nazaruddin tidak bisa dibilang kecil, tapi tetap saja tidak ada apa-apanya dengan jumlah dana yang melibatkan Ahok. 

Kedua, bukan mustahil memang ada skenario besar di mana Ahok sebagai pion akan tetap mendapat posisi penting, untuk mencapai suatu tujuan yang jauh lebih besar di masa depan. Bukankah tidak mustahil pada reshuffle kabinet dalam waktu dekat Ahok bisa saja menjadi menteri, meskipun dia gagal menjadi Gubernur DKI? Toh, menetapkan seseorang untuk menjadi menteri adalah hak prerogatif presiden.

Ketiga, bukankah tidak mustahil pula pada Pemilu Presiden 2019 Jokowi dipasangkan dengan Ahok sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden? Bukankah yang paling penting untuk diperhatikan ke depan adalah pertarungan dalam memperebutkan posisi RI-1 dan RI-2?

Karena itu, hendaknya umat Islam yang merasa telah meraih kemenangan dalam Pilgub DKI jangan terlalu larut dalam pesta-pora kemenangan ini. Sebaliknya hendaklah terus waspada dan menjalin kekuatan untuk mengamankan posisi RI-1 dan RI-2 tahun 2019, yang sejatinya jauh lebih penting. Inilah yang akan menentukan nasib mereka di masa depan.(*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda