Nabi pun Jadi Korban Hoax

ILUSTRASI: HOAX (Grafis: TIMES Indonesia)

COWASJP.COM – ockquote>pengantar-husnun-miring9LrmT.jpg

PERKEMBANGAN media  sosial yang memroduski berita bohong (hoax) benar-benar mengkhawatirkan. Tak kurang dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (seperti diberitakan koran ini kemarin) sangat gusar terhadap perkembangan hoax di media sosial. Hoax dianggap sebagai bahaya yang bisa mengancam bangsa ini.

Sebelumnya, Presiden Jokowi dalam banyak kesempatan menyatakan kegelisahan terhadap media sosil penyebar Hoax tersebut. Dalam beberapa kunjungan ke Malang – Jokowi tercatat sebagai presiden yang sering ke Malang – presiden mengingatkan tentang bahaya media sosial. 

Saat berbicara di hadapan alim ulama di hotel Tugu dan saat meresmikan SMA Taruna Nala Jatim, mantan wali kota Solo itu mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap media sosial. Sebagai tindakan antisipatif, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan sudah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan berita hoax. Fatwa ini keluar tanpa kontroversi karena semua sepakat dalam Islam kebohongan masuk dalam katagori dosa besar.

Ternyata hoax itu tidak hanya terjadi saat ini, ketika informasi berbasis internet sudah merambah sebagian besar dunia. Rasulullah Muhammad SAW pun pernah mengalami hoax yang nyaris menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah. Dalam surat Al Hujurat 6, Allah SWT sudah mengingatkan akan bahaya informasi yang dibawa oleh orang fasik. 

Wahai orang-orang yang Beriman, apabila datang seorang fasiq dengan membawa suatu informasi maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena suatu kebodohan, sehingga kalian menyesali perbuatan yang telah kalian lakukan 

Ayat ini turun ketika Nabi SAW mengutus seorang sahabat untuk memgambil zakat kepada pimpinan Bani Mustaliq yang bernama Al Haris. Rupanya utusan ini tidak sampai menemui Al Haris tapi di tengah jalan kembali dan mengatakan kepada Nabi SAW bahwa Al Haris menolak membayar zakat. Kala itu Nabi SAW sempat marah, bahkan sudah memerintahkan pasukan untuk memerangi Al Haris yang dianggap ingkar. Padahal sebelumnya, di hadapan Nabi, Al Haris menyatakan masuk Islam dan mematuhi semua ajarannya termasuk membayar zakat.

Di sisi lain, Al Haris juga cemas karena waktu membayar zakat sudah tiba tapi utusan Nabi belum datang. Bersama angota sukunya, Al Haris berusaha menemui Nabi SAW  di Madinah. Menjelang sampai di kota tersebut, Al Haris bertemu dengan pasukan yang dikirim Nabi untuk memeranginya. Pasukan utusan Nabi SAW itu kemudian bertanya kepada Al Haris, mengapa dia menolak membayar zakat yang sudah dijanjikan. Menurut informasi dari utusan Nabi SAW, ternyata Al Haris tidak mau bayar zakat.

Alangkah terkejutnya kepala suku itu  karena selama ini belum ada satu pun utusan Nabi SAW yang menemuinya. Akhirnya kedua kelompok ini menemui Nabi dan menjelaskan permasalahannya. Al Haris menyatakan, selama ini belum ada utusan Nabi SAW yang menemuinya. Sebaliknya, Nabi SAW tak kalah terkejutnya, karena sahabat yang diutusnya telah berbohong. Tapi itulah Nabi SAW, mahluk mulia yang terjaga dari segala kemunkaran.

Allah menurunkan wahyu yang mengingatkan agar tidak mudah percaya dengan informasi yang diberikan orang fasik. Sebelum memercayai informasi tersebut harus tabayun dulu. Kalau dalam dunia jurnalistik, tabayun itu klarifikasi, check and recheck, check and balance. Kalau saja Nabi langsung percaya pada informasi awal, tentu akan terjadi pertumpahan darah.

Sebagai uswah, Nabi SAW sudah memberikan contoh kepada kita bagaimana menyikapi terpaan informasi yang sangat dahsyat saat ini. Ketika 132 juta penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan internet, 50 persen diantaranya menggunakan smartphone, maka informasi tidak bisa dibendung lagi. Tidak juga oleh pemerintah. Presiden, Panglima TNI bahkan pemimpin ulama tidak berdaya menghadapi gelombang hoax.

Seperti tabayun yang dilakukan Nabi SAW, begitulah seharusnya yang kita lakukan menyikapi derasnya informasi. Jangan cepat percaya, harus diklarifikasi kebenarannya. Karakteristik masyarakat menghadapi informasi dari media sosial adalah secepatnya share kepada yang lain. Kita tidak bisa bayangkan, berapa banyak orang yang menerima informasi melalui media sosial. Satu informasi diterima oleh satu orang, kemudia dishare ke grup – misalnya beranggota 30 orang – masing lantas membagi ke grup yang lain.

Padahal yang dibagikan itu kebohongan. Ironisnya, banyak yang tidak tahu bahwa informasi yang diterima dan kemudian dibagikan itu adalah hoax. Dengan enteng saja, tanpa tabayun membagikan kepada siapa saja yang tercatata di smartphone-nya. Perlu edukasi kepada masyarakat agar tidak cepat membagikan informasi yang diterima melalui media sosial. Kalau masih ragu, tanyakan kepada ahlinya. Seperti yang diperintahkan Tuhan, tanyakan kepada ahlinya kalau kamu tidak tahu.

Dalam banyak kasus mutakhir, berita hoax menimbulkan keguncangan di masyarakat. Celakanya, masyarakat menganggap informasi hoax itu layaknya berita di media mainstream yang terpercaya. Sudah tidak terhitung berapa kali masyarakat terkecoh oleh Hoax. Ada yang sempat mendapat penjelasan bahwa informasi itu salah, tapi tak sedikit yang belum sempat menerima penjelasan. Sampai sekarang menganggap hoax itu sebagai kebenaran.

Kalau tidak ada ahli yang harus dimintai penjelasan, cara bijak adalah mendiamkannya untuk diri sendiri. Jangan disebarkan. Kecuali kalau sudah benar-benar yakin tentang kebenarannya. Banyak yang beranggapan ayat suci dan hadits yang tersebar di media sosial sebagai keberan, padahal tidak semuanya, ada sebagian yang keliru. Ini yang bahaya, menyebarkan firman Tuhan dan Sabda Nabi yang sudah dibuat salah.

Menahan diri tidak menyebarkan informasi menjadi pilihan cerdik. Seperti yang disabdakan Nabi SAW, cukuplah seseorang itu dianggap berbohong bila dia menyebarkan apa saja yang didengarnya. Apakah kita akan terkena cap sebagai pembohong hanya karena kita gemar membagikan informasi yang belum tentu benar. Tentu tidak. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda