Catatan untuk Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian

Jenderal, Wajah Polisi Adalah Wajah Kita

Jenderal Pol Tito Karnavian (Foto: Suara Islam)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Djoko Pitono

-------------------------------

Tak ada kejahatan yang tidak menawarkan perangsang. Ketamakan menjanjikan uang, kemewahan, beragam kesenangan, ambisi, jabatan-jabatan, dan aplaus. Perbuatan-perbuatan jahat menggoda Anda dengan hadiah-hadiah yang mereka tawarkan.

Seneca

BETAPA tidak mudahnya membangun aparat negara menjadi aparat yang bersih, berwibawa, dan dipercaya oleh masyarakat. Hal ini juga diakui oleh Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, saat dirinya sedang sibuk-sibuknya menangani kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, pekan ini.

Jenderal Tito mengatakan, betapa pentingnya suatu lembaga  mendapatkan kepercayaan publik alias public trust. Namun sayangnya, menurut Tito, Polri masih minim dukungan kepercayaan publik. “Public trust bukan sekedar lip service. Apa yang harus dilaksanakan kepolisian perlu mendapat  public trust. Tapi sekarang ini  public trust kepolisian sangat minim," ujar Tito di Gedung Bhayangkari, Jl Sanjaya, Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2016).

Pernyataan Kapolri tersebut disampaikan dalam acara  An Evening With Kapolri dengan tema acara The New Indonesian Police: Promoter yang diselenggarakan oleh Jakarta CMO Club. Tito mengatakan, saat ini posisi Polri masih tidak dipercaya publik bersama Kejaksaan.

"Berdasarkan survei, memprihatinkan bahwa Polri tidak dipercaya publik bersama DPR dan Jaksa. Tertinggi yang dipercaya publik adalah KPK. Kalau public trust rendah, kalau kita ngomong apa saja pasti publik bilang apalah," sambung Tito.

Tito juga mengatakan, saat ini masih sulit mencari polisi yang idealis dan memiliki sifat reformis. Orang reformis menurut Tito adalah sosok yang mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

"Bagaimana mencari orang idealis, orang reformis itu bagaimana menomorsatukan memperbaiki organisasi, dicintai atasan, dicintai kolega, dan dicintai bawahan. Tidak gampang mencari sosok seperti itu," sambung Tito.

Dalam program promoter yang dicanangkan, juga diperlukan sosok polisi yang dapat blusukan menyapa dan mengayomi masyarakat. Sosok polisi yang bersifat reformis diharapkan mengisi posisi penting seperti Kapolda. “Kemudian dia mau blusukan, ini tidak gampang. Orang reformis diharapkan dapat mengisi posisi penting seperti Kapolda atau berhubungan langsung dengan rakyat," tambah Kapolri.

Dalam catatan penulis, tidak kali ini saja Jenderal Tito berbicara tentang pentingnya kepercayaan publik pada Polri. Saat baru terpilih menjadi Kapolri pada akhir Juni lalu, Tito juga sudah menekankan pentingnya dukungan masyarakat dalam bentuk kepercayaan. Oleh karena itu, langkah awalnya i adalah melakukan reformasi internal di tubuh Polri.

Reformasi dinilai penting agar outputnya bisa mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri.

Diwawancarai secara khusus oleh TVOne, saat itu (29/6), Tito mengatakan, di dalam iklim demokrasi saat ini, ketika kekuatan ada di tangan rakyat, kekuasaan di tangan rakyat, maka persepsi publik itu menjadi penting. Tidak ada suatu negara demokrasi yang survive tanpa public trust.

Saat anggota Polri melakukan kontak dengan masyarakat, terutama badan publik maka public trust sangat tergantung pada kinerja di lapangan. Dan hasilnya dipengaruhi perilaku serta kemampuan memelihara keamanan ketertiban masyarakat. “Di samping itu, persepsi publik akan ditentukan oleh media. Sebetulnya, mungkin banyak yang dikerjakan anggota di lapangan, seperti saya waktu di Polda Papua tetapi tidak tercover oleh media. Bagaimana perjuangan pengamanan, memikirkan mengamankan rakyat, memberikan bantuan di gereja, atau pada saat puasa dan lain-lain,” katanya.

Tito juga mengatakan, saat satu saja peristiwa menggambarkan polisi kurang baik, pungli atau tidak melayani masyarakat itu sudah cukup untuk menghapus kinerja ribuan anggota yang sudah baik dan sebaliknya. Bahkan banyak hal, seperti pengamanan bom di Bali, itu tidak terekspos.

Jenderal Tito dengan jujur juga berterangterang bahwa Kapolri sudah silih berganti, tapi masih juga belum ada perubahan. Khususnya kasus tindak pidana korupsi, “Apa penyebabnya? Ada problem internal, ke depan akan ada pengaturan soal bisnis anggota Polri. Maka perlu dilakukan langkah-langkah, yaitu take home pay, belanja operasional harus dinaikkan,” katanya..

Kemudian jaminan kesehatan, menurut Kapolri, kita harapkan anggota diberikan asuransi kesehatan seperti BPJS. Sehingga hal mendasar ketika mereka sakit tidak perlu mengeluarkan biaya besar. Kemudian keberadaan perempuan di tubuh Polri yang kini mencapai 14%, perlu diperhatikan.

Zaman Gelap Polisi AS

Dalam beberapa tahun terakhir, Polri memang sering dirundung berita-berita buruk yang mengecilkan hati anggota. Beragam kasus menjadi berita besar di berbagai media. Mulai kekerasan yang dilakukan oknum-oknum polisi, isu rekening gendut sejumlah jenderal, hingga oknum anggota yang jadi backing pengusaha hitam, dan sebagainya. Kasus-kasus yang juga menarik perhatian dan membuat banyak orang terperangah adalah kasus korupsi Irjen Djoko Susilo, mantan Kakorlantas Polri dan Gubernur Akpol. Dalam kasus yang merugikan negara ratusan miliar rupiah ini, Irjen Djoko telah divonis belasan tahun hukuman penjara dan banyak asetnya disita. Selain itu ada kasus Brigadir Kepala Labora Sitorus, polisi di Sorong, Papua, yang punya bisnis besar dan duit Rp 1,5 triliun.

Pada tahun 2016, juga ada laporan bahwa beberapa oknum perwira menengah dan tinggi yang terlibat dalam membekingi peredaran narkoba dalam jumlah besar.

Tetapi ketika kita mencoba menilai polisi, kita rasanya juga harus melihat wajah kita sendiri. Karena wajah polisi sebenarnya adalah wajah kita juga. Mereka yang menjadi polisi sangat mungkin adalah orangtua kita, paman kita, anak-anak kita, keponakan kita, dan kerabat kita lainnya. Mereka bukan makhluk angkasa luar.

Kita juga perlu bertanya pada diri kita. Apakah profesi kita? Dan di negeri ini, profesi atau korp apakah yang dengan bangga bisa menepuk dada sebagai sudah profesional, anggotanya penuh integritas, jujur dan bersih? Jaksa? Hakim? Anggota DPR? Pengacara? Tentara? Jurnalis? Guru?

Dalam hal ini, posisi polisi agak beda dengan profesi lain. Apa yang dilakukan polisi diketahui oleh publik atau masyarakat. Tidak ada tindakan yang dilakukan oleh polisi yang tidak diketahui oleh masyarakat.

Polisi boleh diibaratkan bekerja di rumah kaca. Semua tindakan dan ulah polisi tidak mungkin ditutup-tutupi. Semua terlihat oleh warga masyarakat. Oleh karena itu, adalah usaha yang sia-sia bila ada upaya untuk menutup-nutupi tindakan polisi. Sejak dulu sifat pekerjaan polisi memang begitu. Ini bisa dilihat dari sejarahnya.

Dalam sejarahnya, lembaga kepolisian dapat dilacak akarnya hingga pada masa Penaklukan Norman (Norman Conquest) di Inggris. Beberapa bagian dari Magna Carta – akar konstitusi Inggris pada dikeluarkan pada tahun 1215 – memberikan panduan untuk polisi saat ini.

Pada abad ke-19, Mendagri Inggris Sir Robert Peel mengusulkan pembentukan satuan polisi beranggota 1.000 personel untuk meredam kriminalitas dan kekerasan yang melanda wilayah London. Begitu muncul, usul itu ditolak Parlemen dan masyarakat Inggris. Bagi mereka, kata polisi (police) yang dipinjam dari bahasa Prancis, mempunyai konotasi satuan polisi rahasia yang kejam. Setelah melalui perdebatan yang panjang, UU Polisi Metropolitan London – yang dikenal sebagai Scotland Yard – disetujui pada tahun 1829. Sebagai kompromi politik, polisi itu tidak dipersenjatai.

Amerika Serikat, bekas koloni Inggris, mencangkok sistem Inggris. Perjalanan lembaga itu banyak tersandung-sandung. Arthur Nederhoffer, pengarang buku “Behind The Shield: The Police in Urban Society”, menulis bahwa profesi polisi di AS mengalami apa yang disebutnya sebagai “Zaman Gelap” hingga pada 1900. Para politisi menguasai berbagai departemen. Gaji polisi rendah, dengan perlengkapan yang kurang memadai pula. Akibatnya antara lain adalah meluasnya korupsi dan tindakan brutal.

Mulai abad ke-20, berbagai reformasi dilakukan. Setapak demi setapak profesi ini terangkat baik prestisenya sejalan dengan diterapkannya pemberian penghargaan berdasar prestasi. Peralatan polisi makin hari makin lengkap. Perwira-perwira polisi juga mendapat pendidikan tinggi.

Dalam kaitan ini, Polri juga tidak ketinggalan. Berbagai perubahan ke arah perbaikan terus dilakukan di lembaga yang kini mempunyai 430.000 personil itu. Momentum baru diperoleh Polri sejalan dengan datangnya reformasi politik di Indonesia sejak 1998 dengan berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru. Polri pun dipisahkan dari ABRI (TNI) dan kembali pada habitat yang benar, karena memang tugas-tugas polisi berbeda dengan tugas militer.

Banyak hal telah berubah sejak pemisahan Polri dari TNI. Calon-calon taruna Akademi Kepolisian (Akpol), misalnya, sekarang diambil dari lulusan perguruan tinggi, sarjana (S1) atau magister (S2). Polri juga memiliki sekolah-sekolah baru, seperti Sekolah Antiteror.

Namun memang diakui, kesewenang-wenangan dan kekerasan masih sering terlihat meskipun sudah ada upaya reformasi dan perbaikan internal terus-menerus. Langkah Kapolri sekarang, yang akan meningkatkan upaya perbaikan internal, memang tidak mudah. Akan selalu ada oknum-oknum polisi buruk, seperti juga kita dapat lihat di negara-negara lain. Bahkan negara maju seperti Amerika Serikat.

Berita baiknya, selalu ada lampu terang di tempat-tepat gelap. Di tengah iklim internal Polri yang diakui  masih buram, selalu ada polisi-polisi yang bekerja dengan jujur dan penuh pengabdian. Polisi yang malu bekerja seadanya, apalagi korup.

Dalam iklim internal demikian, Polri tidak bisa menghindar dari kritik dan bahkan kecaman. Tetapi yang juga harus disadari, kecaman terus-menerus pada polisi akan menjadi bencana bangsa ini. Cemoohan akan menjadikan mereka rendah diri.

Sebaliknya, dorongan akan membuat mereka lebih percaya diri. Pujian dan apresiasi akan membuat polisi juga belajar menghargai.. Dan perlakuan yang baik akan membuat polisi lebih memahami keadilan.

Contoh bukannya tidak ada. Polisi Hongkong hingga 1970-an sangat terkenal korup. Tetapi reformasi dan pembersihan besar-besaran yang dilakukan pimpinan polisi setempat toh menghasilkan Kepolisian Hongkong sebagai teladan di dunia. PBB menetapkan Kepolisian Hongkong adalah contoh terbaik bagi reformasi lembaga-lembaga kepolisian sedunia.

Begitu kiranya, Jenderal! (*)

joko-Oleh-OKEk5Gw.jpg

Penulis adalah, veteran jurnalis dan editor buku.

 

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda