Belajar dari Masjid Jogokaryan Jogja (1)

Profesionalisme Manajemen Masjid

COWASJP.COM – ockquote>

Oleh: Erwan Widyarto*)

Siang itu, pesan singkat Whatsapp (WA) masuk ke HP saya. Pesan dari seorang kawan lama dari Surabaya. Seorang wartawan televisi nasional. Ia menanyakan soal Masjid Jogokaryan, Jogja. Katanya, masjid ini menjadi pembicaraan di Surabaya. Setidaknya di kalangan takmir masjid. Kawan tersebut menceritakan kalau sejumlah takmir masjid ingin sekali belajar manajemen pengelolaan masjid sebagaimana yang diterapkan di Jogokaryan.

Informasi semacam ini sudah lama terdengar. Tidak hanya dari Surabaya. Sejumlah kota lain pun sering bertanya mengenai Masjid Jogokaryan. Sebuah masjid yang sederhana dan tak begitu luas, namun ‘’hidup.’’ Tak pernah sepi dari jamaah. Tak pernah berhenti menggelar kegiatan. Banyak masjid lain yang lebih bagus, luas dan mewah tapi seringkali hanya ramai saat-saat tertentu.

Belakangan, banyak pengelola masjid ingin belajar ke masjid yang berada sekitar 1 km arah selatan Keraton Jogja ini. Setidaknya dalam lima enam tahun belakangan. Banyak yang ingin tahu bagaimana pengelolaan masjid ini sehingga bisa menjadi magnet bagi jamaah. Tidak hanya bagi warga sekitar tetapi juga para musafir atau wisatawan yang sedang berkunjung ke Jogja. Para tamu umumnya bertanya bagaimana memulai pengelolaan masjid hingga seperti sekarang ini dan sebagainya.

Pertanyaan seputar Masjid Jogokaryan seperti di atas sering saya terima. Maka saya pun mempersiapkan diri memberikan jawaban yang memuaskan. Interaksi saya dengan Masjid Jogokaryan tidak intens. Karena saya bukan warga Jogokaryan. Namun, dengan salah satu tokoh di masjid tersebut, Ustadz Jazir ASP saya kenal sejak kuliah. Kebetulan, waktu itu saya aktif di Musholla Fisipol UGM. Nah, gerakan dakwah Musholla Fisipol ini pernah mendapat bimbingan dari Mas Jazir, demikian kami akrab memanggilnya. Waktu itu, kami mempunyai desa binaan di Gunungkidul.

Dari Mas Jazir itu kami mendapat informasi seputar masjid ini di awal-awal gerakannya. Mas Jazir dan Pak Haji Musa bisa disebut sebagai pembuka bagi pengelolaan Masjid Jogokaryan seperti sekarang ini.

Lalu, update informasi seputar pengelolaan Masjid Jogokaryan, saya dapatkan dari  berbincang dengan salah seorang ustadz yang “lahir” dari masjid ini dan sekarang mengelola Madrasan Pendidikan untuk Pengelola Masjid. Kebetulan, ustadz yang lulusan Psikologi UGM ini tinggal di dekat rumah dan sering menjadi penceramah di masjid kami.

Membuat Peta Potensi Jamaah

                Salah satu yang bisa dipelajari dari Masjid Jogokaryan dalam pengelolaan masjid secara profesional adalah penetapan peta potensi jamaah. Masjid selalu diupayakan untuk memberikan pelayanan bagi jamaah. Maka batas geografis jamaah yang akan dilayani harus ditetapkan sejak awal. Batas utara sebelah mana, batas selatan sampai mana. Begitu pula batas barat dan timur. Ibarat stasiun televisi lokal, wilayah layanan utamanya, harus jelas. Sinyal penerimaan siaran untuk wilayah layanan utama itu harus benar-benar kuat.

                Setelah ditetapkan batas geografis luasan wilayah jamaah ini, kemudian dibuat peta potensinya. Berapa jumlah keluarga, bagaimana tingkat pendidikannya, bagaimana tingkat ekonominya, bekerja di mana saja, jumlah keluarga muslim berapa. Hingga ke pemetaan siapa yang sudah rajin ke masjid, siapa yang belum salat, siapa yang setiap tahun Kurban dan sebagainya.

                Peta potensi ini penting untuk menyusun program kerja dan menentukan sasaran pelayanan jamaah. Dengan peta ini, pengurus masjid pun bisa melakukan dakwah dengan tepat sesuai dengan kondisi jamaah. Misalnya, yang belum datang ke masjid, didatangi, didengarkan masalahnya seperti apa, lalu solusi apa yang bisa diberikan. Lalu, untuk yang belum salat, bisa diajari salat dari bacaan dan gerakannya.

Memberikan pelajaran salat ini pun dilakukan dengan hati-hati. Agar warga tidak merasa dipermalukan. Maka, yang terjadi, pelajaran salat ini berlangsung secara privat di rumah warga. Salah satu metodenya, pengurus masjid “pura-pura” bertamu ke rumah warga, saat situasi sepi. Artinya tidak ada warga lain yang melihat. Diupayakan ketika mengajari salat tidak dilihat tetangganya. Untuk menghindari rasa malu yang diajari.

Metode door to door ini sangat ampuh. Jamaah yang salat di masjid, awalnya bisa dihitung dengan jari. Namun dengan metode ini, peserta salat jamaah makin lama makin bertambah. Dari belasan hingga puluhan. Terus membesar. Masjid pun kian ramai. (bersambung)

*) Erwan Widyarto,  pengurus takmir masjid di Jogja.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda