Gresikpedia untuk Nusantara

Kalitutup Area Luapan Pedagang

COWASJP.COMBILA Jakarta punya Kalimalang atau Kalijodo, Gresik punya kampung Kalitutup. Semasih saya duduk di kelas 3 atau 4 SD, Kalitutup merupakan tempat penampungan luapan pedagang pasar Gresik yang saat itu sudah penuh dan sangat ramai.

Dulu, selain pasar yang ada di tempat sekarang yang di Jalan Samanhudi, pedagang pasar Gresik meluber hingga ke Kalitutup (kini KH Hasyim Asyari). Disebut Kalitutup karena kali yang menjadi penampung air saluran drainase dan selokan, terutama pada musim hujan sebelum akhirnya ke laut itu permukaannya ditutup.

Di atas kali yang ditutup itu para pedagang berjualan. Dari ujung perempatan Jalan Samanhudi yang memotong Jalan KH Hasyim Asari dan Terate (Jalan KH Abdul Karim) hingga terusan Kampung Rabu (Kemuteran Gang IX awal). Sebagian besar pedagang di sepanjang Kalitutup berjualan barang kebutuhan sehari-hari mulai dari bumbu dapur, kelapa, hingga ikan dan tempe. Sebagian besar pedagang dari Surabaya. 

Ibu sering menyuruh saya berbelanja bumbu dapur sementara untuk ikan dan lauk pauk hingga beras ibu bebelanja sendiri.

Mulai dari kampung Kroman gang VII, tak ada pedagang. Tetapi di situ banyak warung kopi dan sebagainya. Di sisi kiri dari arah Pasar Gresik menuju Kroman juga ada penjual jamu yang bernama Wak Kasir yang menjadi langganan ibu-ibu bila mengalami gangguan kesehatan ringan, bahkan yang berat. 

Depot jamu Wak Kasir ini saingan dari depot jamu yang ada di Jalan H. Samanhudi, Nya’ Putri milik etnis Tionghoa dan Depot jamu Songo. Yang terakhir ini milik Haji Mas’oed yang jamu-jamunya lebih untuk menjaga kesehatan dan kesegaran. Saya suka ke Toko Jamu Songo karena isteri Haji Mas’oed itu adik dari nenek saya.

WARUNG CAK TAJAB

Sementara itu, di ujung gang kampung saya, Kemuteran gang IX (sebelumnya gang VII) ada warung yang kami menyebutnya Warung Cak Tajab. Pulang sekolah saya biasa membeli makanan di warung itu. Menunya mulai dari ketan poya dengan godho tempe nya, pada pagi hari setelah subuh, hingga rawon dan krengsengan daging pada agak siangnya. Warung itu selalu penuh oleh bapak-bapak yang nongkrong, apalagi bila habis subuh.

Di Kalitutup, pedagang kelapa didominasi etnis Madura, sementara ikan-ikanan didominasi oleh ibu-ibu yang berasal dari Desa Lumpur. Para pedagang dari Madura – kebanyakan ibu-ibu -- itu mendirikan seperti kios darurat di atas kali yang membelah Kalitutup tersebut. Beberapa diantaranya tidur di kios itu. Ada juga yang membuat kios di kanan kiri Kalitutup. Kondisi jalan di “pasar” itu berubah menjadi “lumpur” bila hari hujan. Saya sering nyeker bila disuruh ibu berbelanja bila habis hujan. Kaki saya pasti penuh lumpur.

Selain kelapa, pedagang etnis Madura itu juga menjual pindang ikan yang digarami dan diasap dan dikemas dalam kendil kecil-kecil. Kendil bekas kemasan pindang ini banyak dimanfaatkan oleh ibu-ibu untuk masak atau sekadar menghangatkan masakannya terutama yang bahan ikan. Tentu saja volumenya tidak banyak.

Selain itu, bila ada acara 17 Agustusan kendil ini dimanfaatkan untuk lomba kepruk kendil. Dalam permainan ada sekitar 5 orang peserta lomba. Mata mereka ditutup dan badannya diputar lalu diminta untuk memukul dan memecahkan kendil-kecil kecil yang digantung di depan mereka pada jarak sekitar lima meteran.

IKAN PARI ASAP

Selain kelapa dan pindang tadi, di sepanjang pasar Kalitutup itu berjualan ibu-ibu penjual ikan-ikan segar yang baru ditangkap nelayan Desa Lumpur.  Ikannya beragam mulai dari udang, bandeng hingga ikan pari. Ikan pari yang dijual sebagian besar potongan daging ikan pari yang sudah diasap. Wajar bila keluarga kami dulu hampir setiap hari mengkonsumsi ikan, selain tempe. 

Biasanya bila ibu saya membeli, ikan pari (kami menyebutnya ikan pe) asap itu dimasak dengan bumbu sambel kacang cuka. Maknyuss, apalagi bila ada duri lunaknya.

Selain daging pari asap, ada juga yang menjual hatinya. Kami menyebut dengan atine pe. Ibu saya biasanya memasak ati pe ini dengan bumbu cabe (balado) dengan cara menumisnya. Sejak SMA saya tidak lagi makan, karena itu ketika tahun 1993 saat mengunjungi Norge, kota di ujung Norwegia yang dekat dengan kutub utara, saya sempat terkaget-kaget ketika disuguhi menu masakan ati pe tadi.

Awalnya saya tidak mengenali. Saya mengira itu masakan khas Noerwegia. Saya baru mengetahuinya ketika seseorang di sebelah membisiki bahwa menu itu adalah masakan ati pe.
Ketika saya duduk di bangku kelas 5 atau 6 SD, pasar “penampungan” itu dibongkar.

Pedagangnya dipindahkan ke suatu lokasi di Desa Karangturi. Karena pasar Kalitutup itu menyediakan bahan kebutuhan sehari-hari, ibu saya bila berlenja terpaksa berjalan jauh ke Pasar Karangturi.

Namun, pasar Karangturi tidak bertahan lama. Akhirnya juga tutup dan sebagian pedagang balik lagi membuka dagangannya di Kalitutup meski tanpa ada kios. Pemerintah kemudian membangun kios-kios darurat. Di kios darurat itu ada langganan saya minum wedang jahe, Cak Mat, yang letaknya tepat di depan MINU Sukodono sekarang.   

Setelah itu dibongkar lagi dan kalinya direvitalisasi. Kalinya ditinggikan dan permukaannya dibiarkan terbuka. Di sepanjang kalitutup, terutama dekat pintu masuk Pasar Gresik yang di belakang, berjejeran penjual makanan khas Gresik mulai dari Sego Romo, semanggi hingga karak. Di situ juga ada penjual soto kikil dan es temulawak.

Namun, sejak dua atau tiga tahun lalu, kabarnya kali – kini jalan itu diubah menjadi Jalan Sindujoyo Gang IV -- akan benar-benar ditutup, dilebarkan menjadi 8 meter dan diaspal untuk jalan raya, untuk jalur transportasi wisata religi Maulana Malik Ibrahim dari Jalan Samanhudi menuju Desa Lumpur.

Saat pembangunan jalan raya alternatif ini berlangsung 2 tahun lalu, sempat terjadi sebuah insiden yang cukup menggemparkan, karena ada seorang balita yang terperosok di dalam lubang kontrol box culvert. Selain itu, setiap malam pergantian tahun digelar festival musik yang sangat dikenal kalangan anak muda Gresik dan musisi lokal dengan nama Kalitutup Brotherhood, sebuah festival musik ini yang sudah berlangsung 5 tahun.*

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda