''Revolusi Mental'' dengan Bank Sampah

Penulis bersama dua peneliti sampah dari Swedia Linda Eliasson (Boras Energy and Environment) dan Inge Johansson (SP Technical Research Technology).

COWASJP.COM – style="text-align:center">Oleh: Erwan Widyarto

Pembina Bank Sampah Griya Sapu Lidi

 

‘’Membuang sampah sembarangan dan/atau membuang barang yang masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan diri maupun orang lain, hukumnya Haram.

Mendaur ulang sampah menjadi barang yang berguna bagi peningkatan

kesejahteraan umat, hukumnya wajib kifayah.’’

(Fatwa MUI No 47 Tahun 2014)

            KASUS sampah kembali mencuat saat Pemerintah Kabupaten Bekasi bersitegang dengan Gubernur DKI Jakarta. Kedua belah pihak mempersoalkan proses dan prosedur penanganan sampah dari ibukota ke tempat pembuangan sampah di wilayah Bekasi. Dari kasus tersebut terlihat dengan jelas bahwa sampah merupakan masalah bersama (kolektif). Padahal, awal timbulan sampah merupakan ‘’tindakan individual.’’ Produsen sampah adalah individu-individu.

            Namun, kumpulan dari “tindakan individual” tersebut akhirnya menjadi masalah kolektif. Produksi sampah dari “individu-individu” tersebut akhirnya mengumpul, membesar menjadi gunung sampah dan sekaligus gunung persoalan. Oleh karena itu, mengurai masalah sampah yang telah menjadi masalah kolektif bisa dikembalikan ke tingkat individual. Tindakan nyata untuk mengatasi sampah bisa dimulai di tingkat individu-individu.

            Jika selama ini tindakan individual kurang pro-pengelolaan sampah, maka harus ada gerakan untuk mengubahnya menjadi tindakan yang pro-pengelolaan sampah. Inti dari pengelolaan sampah adalah pemilahan. Dan pemilahan harus dimulai dari awal timbulan sampah. Maka, mindset (pikiran) maupun mental setiap individu harus diarahkan pada titik fokus bahwa sampah yang kita hasilkan haruslah kita pisah sesuai dengan jenis dan sifatnya.

            Kalau selama ini telah terbentuk pikiran di banyak individu bahwa sampah diselesaikan dengan cara dikumpulkan, diangkut lalu dibuang di tempat pembuangan akhir sampah, maka hal tersebut harus diubah. Pikiran individu mengenai sampah haruslah diubah menjadi pilah, olah, jual. Hal ini tidak bisa dilakukan dengan langkah biasa, melainkan harus dilakukan secara revolusioner. Di sinilah, perlunya gerakan “revolusi mental” dalam memandang sampah.

            Revolusi mental tersebut bisa dilakukan melalui Bank Sampah. Ini karena, Bank Sampah merupakan satu sistem yang mengharuskan adanya pemilahan sampah dalam kinerjanya. Tidak hanya mengelola sampah dengan memilah, pendirian Bank Sampah biasanya juga diikuti dengan pendauran ulang sampah. Individu-individu, kini, harus bermental: pilah, olah, jual, saat menghadapi sampah.

Anggota rombongan PKK Provinsi Bali mengamati hasil daur ulang Bank Sampah Griya Sapu Lidi. (Foto: Erwan/CowasJP)

            Pijakan untuk melakukan ‘’revolusi mental” melalui Bank Sampah ini makin mendapat dukungan dengan hadirnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 47 Tahun 2014 yang beberapa poinnya diungkap di awal tulisan ini.

Fatwa MUI dan UU No 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, yang di dalamnya mengatur kewajiban setiap warga untuk memilah sampah sesuai jenis dan sifatnya maupun Perda maupun Perbup/Perwal soal Sampah Rumah Tangga maupun Sejenis Sampah Rumah Tangga, menjadi amunisi handal. Amunisi bagi berjalannya “revolusi mental” pengelolaan sampah dengan model Bank Sampah.

Ayo kerja, kerja, kerja….pilah olah jual. Sampahmu investasimu. Itulah revolusi mental yang sebenarnya!

Salam Green and Clean!

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda