In Memorium Djoko Susilo

DJOKO SUSILO DAN SAYA

Penulisa (kanan) saat makan bersama dengan almarhum.

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a n: Tofan Mahdi

-------------------------------------

DJOKO SUSILO DAN SAYA: "Urip soyo dhuwur kuwi soyo sepi, Dek". (Semakin tinggi kita meraih kehidupan dunia ini, kita akan merasa semakin kesepian). Kalimat itu disampaikan Mas Djoko Susilo di meja makan ini, di Wisma Duta, kediaman resmi Duta Besar RI untuk Swiss di Bern, September 2012. Kala itu, Mas Djoko -demikian saya memanggil, sudah dua tahun menjabat Dubes, setelah sebelumnya selama 10 tahun duduk sebagai anggota Komisi 1 DPR RI dari Fraksi PAN. Meski sejak kuliah bercita-cita menjadi seorang diplomat, Djoko tidak keturutan merintis karir di Deplu.

 Menjadi lulusan terbaik jurusan Hubungan Internasional UGM, tidak bisa menjadi tiket Djoko lolos seleksi sebagai calon Diplomat Karir Deplu. Djoko pun terdampar sebagai Dosen di Fisip HI Unair dan menjadi Wartawan Jawa Pos --setahun kerja merangkap. Bos Jawa Pos Dahlan Iskan yang "mergoki" Djoko merangkap, memberi "ultimatum": pilih Jawa Pos atau Unair.

" Kalau kamu jadi dosen hanya pengin sekolah lagi di luar negeri, Jawa Pos bisa ngirim dan nyekolahkan kamu di luar negeri," kisah Dahlan Iskan. Djoko Susilo pun memilih menjadi Wartawan Jawa Pos. Setelah itu, Djoko Susilo dikenal sebagai salah satu wartawan internasional paling gigih. Meski pos sesungguhnya di Washington DC, namun Djoko juga yang dikirim meliput konflik di Palestina, juga saat pecah Perang Teluk I saat AS menginvasi Kuwait. Liputan Djoko tentang Gaza, Jericho, West Bank, plus warna-warna kehidupan rakyat Palestina, menjadi inspirasi banyak anak muda (mahasiswa) era 90-an, termasuk saya. Kami ingin seperti Djoko Susilo.

topan-satur6uS.jpg

Penulis (kanan) bersama dengan almarhum (kedua dari kiri).

Karena passion menjadi wartawan yang sangat kuat, Tuhan pun seperti membuka jalan. Awal tahun 1994, saya pun bertemu sosok idola ini. Kebetulan saya memenangi Lomba Penulisan Artikel  Hari PBB yang diselenggarakan oleh Jawa Pos dan Pemuda Muhammadiyah. Artikel saya yang berjudul "PBB di Balik Hegemoni AS" memenangi lomba tersebut. Djoko Susilo yang menjadi juri menyerahkan hadiah uang tunai dan tropi. Ketemu pertama, saya hanya bisa mbatin, "Bisa gak ya saya seperti dia." Djoko Susilo ibarat sebuah kayu bakar bagi saya untuk terus menulis selama menjadi mahasiswa.

Alhamdulillah, tahun 1997, meski mengantongi IPK hanya 2,79 saya bisa lolos sebagai wartawan Jawa Pos berkat puluhan artikel yang telah saya buat dan dimuat di koran selama jadi mahasiswa. Saya tidak tahu, apakah Mas Djoko terlibat atau tidak sebagai tim recruitment saat itu. Tahun 1998, Indonesia mengalami transisi politik. Djoko Susilo pun mulai nyantri ke Amien Rais dengan "tugas" pertama membidani lahirnya tabloid Amanat yang eksplisit mendukung eksistensi PAN.

Tahun 1999, pemilu pertama pasca Reformasi, Djoko Susilo lolos sebagai anggota DPR RI. Selama Djoko sebagai anggota DPR dan selalu di Komisi I (bidang Pertahanan, Media, dan Penyiaran)  komunikasi kami sepintas lalu, karena saya lama menjadi wartawan di Desk Ekonomi. Komunikasi kembali intensif setelah Djoko Susilo terpilih sebagai Duta Besar RI di Swiss.

"Awalnya saya mau ditaruh di Bucharest (Rumania), tapi saya gak mau Dek. Kalau Eropa Barat saya mau," cerita Mas Djoko kepada saya pada suatu waktu. Posisi Mas Djoko sebagai Dubes di jantung Uni Eropa ini jadi pas dengan pekerjaan baru saya, sebagai juru bicara industri kelapa sawit nasional.

"Bosmu Pak Joko Supriyono sama Fadhil Hasan baru ke sini. Tapi mereka saya minta gak usah ke Bern, biar saya saja yang mendatangi mereka di Jenewa." Agak langkah juga di Indonesia, seorang pejabat  negara justru yang mendatangi tamunya. "Prestasi" Mas Djoko selama menjadi Dubes di Swiss juga lumayan.

"Saya yang terlibat melengserkan Nurdin Halid dari PSSI dan saya satu-satunya Dubes yang berani menolak kunjungan anggota DPR ke Eropa. Wong mereka mau neglecer aja koq berdalih kunjungan kerja. Apalagi DPR di Swiss lagi reses, kunker apa," kata Mas Djoko sambil terkekeh.

topan-duaW7Cl.jpg

Penulis (kedua dari kiri) bersama dengan almarhum (kedua dari kanan).

Meski cerdas dan sangat serius, Djoko Susilo juga punya selera humor.yang tinggi. Saat saya dan keluarga di Swiss dan bermalam di Wisma Duta, dengan nada canda Mas Djoko bilang, "Dek, kowe turu nang kamar dhuwur wae. Minggu wingi, kasur nang kamar iku bar dituroni Wanda Hamidah." (Dek, kamu tidur di kamar atas saja. Minggu lalu Wanda Hamidah tidur di situ).

Saya dan istri pun terkekeh. Wanda Hamidah (artis dan politisi PAN) sepekan sebelumnya juga berkunjung ke Swiss dan bermalam di Wisma Duta. Akhir November 2015, Mas Djoko Susilo saya undang dan hadir dalam IPOC (Konferensi Kelapa Sawit International) di Nusa Dua Bali. Itu menjadi pertemuan terakhir kami.

Rencananya saya mengajak Mas Djoko Susilo hadir dalam reuni mantan Jawa Pos yang diselenggarakan Cowas Jepe di Surabaya. Namun, siang (26/1) sekira jam 12 tadi, sebuah SMS masuk. "Innalillahi waina ilaihi rojiun. Mas Djoko Susilo baru saja wafat di sebuah RS di Ciganjur". Selamat jalan Mas Djoko Susilo dengan segala hormat saya. (Cibubur, 26 Januari 2016; jam 23.00 WIB). 

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda