Mengenang ''Kepulangan'' Sehabat Sejatiku (2)

Merasa ''Disingkirkan'' JP Hartoko Pilih Keluar Gabung ANTV

Isteri Almarhum Hartoko saat memberikan keterangan kepada rekan-rekan CoWas saat membesuk di rumah sakit. (Foto: Amu/CoWasJP.com)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Joko Irianto Hamid

----------------------------------------

ALEGORI Hartoko. Sebagai reporter --‘kota Surabaya’—di Harian Jawa Pos, Hartoko tahun 1996-an, tergolong wartawan yunior JP cukup produktif. Pertengahan tahun itu, Big Boss Jawa Pos, Dahlan Iskan memutuskan Hartoko harus magang ke Stasiun Televisi ANTV. Tidak dinyana, keputusan itu akhirnya mengubah perjalanan hidup, maupun karier Hartoko sebagai jurnalis media cetak, menjadi jurnalis televisi sampai akhir hayatnya.
 
Hartoko (har) tidak sendiri. Reporter ‘kota’ di JP se-angkatannya, Rahmad Santoso (rah) juga menerima keputusan serupa, saat yang sama. Malahan, bukan cuma Hartoko dan Rahmad. Wartawan JP yang lebih senior, Budi Kristanto (bk) yang sempat pegang ‘desk’ teknologi, dan Abdul Muis (amu), mantan manajer sepak bola Mitra, yang juga pernah pegang ‘desk’ olahraga JP, mendapat tugas serupa. Begitu pun saya (di) yang sebelumnya sudah di-DPO –kan ke Tabloid Hiburan Nyata, dan pegang Pemred.
 
Hartoko maupun yang lain, saya masih ingat betul, menerima keputusan secara mendadak. Tidak ada pemberitahuan prakondisi. Nah, seperti begini memang karakter manajemen JP mengelola SDM. Hartoko sempat mengeluh dan berpikir negatif, jangan-jangan dirinya ‘disingkirkan’ dari JP. Rahmad pun mengalami kecemasan yang sama. Wajar, alasan keputusan menyebut karena Jawa Pos menjalin kerjasama pemberitaan dengan program berita ANTV.

“Kalau kerjasama pemberitaan, berart i Jawa Pos harus produksi berita bergambar. Jadi, kita harus cari berita dengan kamera video,” begitu celetukan Hartoko. Artinya, sebagai wartawan JP yang tentu menjadi cita-cita Hartoko –saat itu lebih populer dan lebih bergengsi dibanding reporter teve—akhirnya sia-sia. Hartoko, rupanya, tambah‘down’ dan tak punya ekspektasi lagi di Jawa Pos lantaran berlogika sederhana, mana mungkin koran kerjasama dengan televisi.

Kegelisahan itu semakin terasa saat menjalani masa magang di Stasiun ANTV di Jakarta melewati bulan pertama. Apalagi, yang lebih senior seperti Budi Kristanto, Abdul Muis, termasuk saya juga mulai ikut-ikutan tertulari virus paranoid ‘disingkirkan’. 

Bagaimana tidak, selama magang di ANTV, sebagai jurnalis cetak --era kejayaan Jawa Pos—dan tahun 90-an itu masih lebih bergengsi dibanding jurnalis teve, menghadapi perlakukan tak ubahnya wartawan teve pemula. Meski merasa senior sebagai wartawan cetak, toh tetap saja ‘inga-ingi’ saat harus bikin berita versi jurnalistik teve.
 
Kegalauan semakin terasa di saat masa magang tiga bulan dilanjutkan praktik memproduksi berita di Surabaya maupun kota-kota lain di Jawa Timur. Tidak tahan stress, Abdul Muis, Budi Kristanto, termasuk saya memilih menghentikan praktik magang ini. Soalnya, tidak pernah ada kejelasan target atau ‘goal’ kerjasama dengan ANTV. Sehingga, muncul kesimpulan tidak ingin mengorbankan karier sebagai jurnalis cetak di JP yang sudah dibangun bertahun-tahun dengan keringat dan sarat ‘nelongso’.

Lain lagi, Hartoko dan Rahmad. Rupanya, keduanya merasa usia jauh lebih muda, apalagi karier di Jawa Pos hanya sebaga reporter, sehingga tetap nekad terus ‘all out’ berpasangan sebagai kontributor ANTV. Nah, karena tidak ada kejelasan kerjasama Jawa Pos dan ANTV, Hartoko dan Rahmad yang semakin produktif sebagai kontributor ANTV, bahkan semakin matang jadi jurnalis teve, akhirnya menentukan pilihan hengkang dari Jawa Pos. 

Hartoko merasa lebih enjoy melanjutkan karier di ANTV. Hartoko tak pernah lagi mengalami kecemasan, apalagi was-was kalau sampai sewaktu-waktu dipindah ke kota lain secara mendadak. Artinya, harus memboyong anak isteri, sekaligus memindahkan sekolah dengan biaya memangkas jatah belanja isteri. 

Memasuki tahun 2000, Jawa Pos mulai mengembangkan sayap merintis stasiun televisi dengan mendirikan JTV. Belangkangan, semua baru pahamr, rupanya Hartoko yang pertengahan tahun 90-an sebagai reporter muda dan berbakat ‘diputuskan’ Big Boss Jawa Pos DIS untuk ikut tim magang di ANTV, sebenarnya bukan ‘dibuang’.

Sebaliknya, disiapkan bersama Rahmad untuk menjadi kader leader program berita teve. Begitu pun Abdul Muis sebagai leader program berita olahraga, Budi Kristanto yang alumni ITS sebagai leader teknik, saya sendiri yang punya pengalaman di Tabloid Hiburan, dipercaya pegang produksi entertainment. Nah, apa ini memang benar cara Big Boss DIS menguji dan mengungkur bakat, minat, dan loyalitas SDM-nya. Atau, sebaliknya sekadar trik bermain teka-teki, membiarkan misteri keniscayaan nasib terjawab sendiri. 

Hartoko, meski akhir hayatnya hanya selisih satu hari dengan kawan sejawatnya yang bertahan di JP, Kholili Indro, keduanya sama-sama menjadi fakta sejarah diri sendiri, sebagai ‘konco lawas’ di Jawa Pos. Selamat jalan Hartoko! Selamat jalan Kholili Indro! Sebagai jurnalis televisi, yang mewarnai kesejarahan jurnalis televisi di Jawa Timur. Sekaligus berkarya melengkapi dokumen otentik audio visual perjalanan sejarah kehidupan masyarakat Jawa Timur. Selamat jalan, kawan!

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda