OBITUARI LEO KRISTI

Menempuh Jalan Sunyi, Hidup Tidak dengan Jalan Nalar

Almarhum Leo Kristi (kanan) bersama Imawan Mashuri (kiri) (Foto: Dok.CowasJP)

COWASJP.COMSUSAH mengajak Leo Kristi "hidup normal" sesuai  jalan nalar. Penyanyi, komposer, pelukis, pengelana ini, menembuh "hidup balada" ; gak cuma lagu2nya, tapi hidupnya sendiri, sangat balada.

Suatu ketika, ia konser di Bentara Budaya  Jogyakarta. Di tengah konsernya, tiba2 ditinggal ke belakang gedung, rokok'an. Penonton gaduh. Leo cuek dan tenang.

Imawan Mashuri, pendiri dan Boss JTV ketika itu,  ikut menyaksikan atas undangan Leo. Dia sedang berpikir untuk membuat "konser pamit" Leo secara live. Akan dikolaborasi dng Setiawan Djody, seperti Konser Kantawa Takwa yg pernah sukses digelarnya dua hari di Tambaksari Surabaya thn 90-an.

"Bagaimana kalau live TV terus ditinggal spt itu?" kata Imawan sambil cari cara. "Masak harus gagal lagi seperti ketika kita ingin menggelar Konser Leo 50 tahun, " lanjut Imawan yg ketika  memimpin tabloid Oposisi Group juga bermaksud menggelar konser akbar untuk 50 tahun usia Leo. Ketika itu saya bersama Mas Imawan ikut membesarkan group Oposisi. 

Ketika yg lain, Leo diundang konser akbar, tapi ia muncul di panggung, dgn mulut diplester, cuma mau main gitar, gak mau nyanyi.

Suatu ketika lagi, ia naik panggung, ngajak anaknya yg bayi, ditaruh di atas piano. Si anak memainkan tuts piano, "ting..tong..teng tong.." spontan Leo nyaut dgn petikan gitarnya. Leo, menempuh jalan sunyi, yang tak mengikuti nalar kebanyakan orang.

Suatu ketika, tahun 1993, Franky Sahilatua, membawanya ke dapur rekaman mainstraem, lahirlah hits "Catur Paramitha" -- cuma Leo gak mau dibuat konsep promosi klip-nya, agak susah diajak konser promo di TV, dan seperti biasa, ia menempuh jalan sunyi, dengan menolak nalar kebanyakan.

Leo, hidup bersungguh2 dgn alam, dan kehidupan yang mengelana, "sangat balada." Surabaya pernah punya tiga legenda musisi;  Leo Kristi, Franky Sahilatua dan Gombloh. Ketiganya pernah satu group; Lemon Tree's.

Kemarin, Sabtu ( 20 mei) ---- persis di Hari Kebangkitan Nasional ----- saya dpt kabar Leo Kristi meninggal dunia. Innalillahi Wainna Lillaihi Rojiun.

Surabaya --- dan Indonesia tentunya -- telah kehilangan lima komposer legendarisnya ; Leo Kristi, Gombloh,  Franky Sahilatua, Buby Chen (jazz) dan WR Soepratman (pencipta "Indonesia Raya").
Leo lahir di Surabaya, 8  Agustus 1949. Tahun 1967, keturunan bangsawan, ayahnya Raden Ngabei Iman Soebiantoro.

Masuk SMP, Leo kursus gitar pada Toni Kerdijk, Direktur sekolah musik rakyat. Tamat SMA 1 Surabaya, Leo sempat‎ masuk bangku kuliah jurusan Arsitek di ITS Surabaya, yang ia tinggalkan sebelum lulus, lalu kursus dasar musik kepada Syam Kamaruzaman.

Cuma sebentar khusus musik formal, Leo memilih berdagang daster -- yang membuatnya bertemu Gombloh, lantas jadi pengamen jalannya. Setelah ktmu Franky Sahilatua -- sejarah pun mencatat -- "Tiga Serangkai" (Leo - Franky - Gombloh) ---- mendirikan Lemon Tree's, yg ketiganya melegenda dalam sejarah musik tanah air.

Ketiganya pun menemukan jalan sendiri2 -- dan Leo memilih abadi sebagai sang pengelana di jalan sunyi kehidupan, yang menolak mengikuti nalar rakyat kebanyakan.

Tahun 1994, saya beberapa kali mewawancarai Leo, yg tinggal kamar singgah di gedung belakang Taman Ismail Marzuki, Jakarta Saat itu, ia usia 40-an tahun, sedang "kawin lari" bareng Gadis ABG asal Bali, yang baru usia belasan tahun.

Sepuluh tahun kemudian, kami bertemu lg di Surabaya, dalam beberapa konser, Leo sudah bawa anak-anaknya. Kok gak sekolah si kecil Mas? Jawab Leo, "Arek2 iki Mas, cek sekolah dewe nang laut, gunung, pasir, golek kehidupan dewe." 

(Anak-anak ini Mas, biar sekolah sendiri pada laut, gunung, pasir, biar nyari kehidupan sendiri.)

Unik, esentrik, nyleneh, langka -- tapi karya-karyanya hebat dan dahsyat, suara Leo yang jernih, tajam, teduh tapi menyambar seperti halilintar.

Di atas panggung, Leo selalu pakai jubah hitam, dengan sorot mata yang tajam dan bersinar, seperti sorot matanya Bung Tomo.

Selama kariernya, Leo banyak melahirkan lagu-lagu baladanya, yang dirangkum dalam album ;

"Nyanyian Fajar (1975), Nyanyian Malam (1976), Nyanyian Tanah Merdeka (1977), Nyanyian Cinta (1978), Nyanyian Tambur Jalan (1980), Lintasan Hijau Hitam (1984), Biru Emas Bintang Tani (1985).

Juga melahirkan"Deretan Rel Rel , alam Dari Desa (1985, aransemen baru), (Diapenta) Anak Merdeka (1991), Catur Paramita (bareng Franky Sahilatua) (1993) dan Tembang Lestari (1995), Warm, Fresh and Healthy (17 Desember 2010), dan Hitam Putih Orche (2015).

Selamat jalan Mas Leo, di jalan sunyimu, menuju Tuhan. (*)‎

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda