Bungur Asih? Pudu Raya Kuala Lumpur Aja Lewaat Broo...

Penulis saat berada di terminal Tirtonadi yang bersih dengan pelayanannya supernistimewa. (Foto-foto: Cowasjp.com)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Ca’amu

------------------------------

HAMPIR sebulan sekali saya selalu menggunakan bus untuk bepergian. Itu agenda rutin tahunan sejak pensiun dari Jawa Pos. Selain sekedar untuk mengisi waktu mumpung masih hidup kikik..., juga bisa bercengkerama dengan sahabat sahabat erat di daerah. Cuma aktivitas saya kali ini, tak ada kaitannya dengan jurnalistik.

Lantas? Ah mau tau aja, kikikik...! Pokoknya saya harus aktif dan bergerak. Biar tidak dianggap masih hidup. Tidak jadi orang malas. Apalagi tidak bermanfaat kikikik.

Angkutan bus umum ini sering kami nikmati saat berkunjung ke Tanggul-Jember dan Bondowoso untuk wilayah timur. Bahkan, setiap bulan harus menyeberangi Suramadu dan berlabuh di Sumenep. Kalau arah barat paling jauh ke Maospati dan Ngawi. 

Tapi, Kamis 4 Januari, saya punya agenda lain lagi. Kali ini ingin bersilaturahmi dengan teman teman seprofesi dari Jakarta. Wartawan sepak bola senior, Erwiantoro yang dikenal dengan Si Mbahe Bola Cocomeo,itu  kini lagi mengadakan pertandingan amal di Stadion Manahan Solo.

Walau tidak diundang secara khusus, kebetulan saya sedang “bertugas” di Ngawi langsung geser ke Solo. Bus Mira, yang tiketnya memang murah, walau fasilitasnya berhawa sejuk itu, menjadi pengantar saya setelah salat subuh. Selama dua jam lebih perjalanan Ngawi-Solo, saya nggak sempat pejamkan mata. Sopirnya agak ugal-ugalan. Gas pol, remnya juga ngepol!

Saya terkejut ketika Bus warna coklat-krem ini, masuk terminal. Area terminal menjelang masuk pintu gerbang penurunan penumpang, seakan mengingatkan saya pada terminal bus Pudu Raya Kuala Lumpur. Juga persis, sama dengan etalase area masuk terminal bus-bus di Korea Selatan.

Maklumlah, selama 40 hari meliput Piala Dunia Korea-Jepang 2002, bus kota dan antar kota jadi sarana transportasi kami. Selain kereta api biasa.

Begitu pula saat menjadi wartawan perwakilan di Malaysia, hampir setiap pagi berkunjung ke Bus Stand Pudu Raya. Tapi bukan hendak bepergian keluar kota. Cuma mau beli koran lokal dan Jawa Pos, yang hanya dijual di terminal inter city itu. Lokasinya dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Perubahannya hanya ruang tunggu penumpang, yang agak legar dan segar.

cewek-tirtonadi4eDC6.jpg

Penumpang dengan rasa nyaman menunggu kedatangan bus. 

Lantas? Nah, setelah kaki kiri saya turun dari tangga Bus Mira, seorang pegawai berseragam abu-abu muda menyambut penumpang di depan pintu masuk Terminal Tirtonadi Solo. Entah kebetulan atau tidak. Saya merasa  diajeni oleh “tuan rumah”.

Begitu sampai terminal, ternyata sudah ada penunjuk jalan. Suatu pengalaman yang tidak pernah saya alami. Di terminal Bungur Asih, yang  nyambut kedatangan penumpang justru menakutkan. Para tukang ojek dan sopir taksi  gelap. 

Di Pudu Raya malah lebih parah. Penumpang di turunkan di pinggir jalan. Di luar area terminal. Kalau hajan turun harus berlarian. Tempiaran hehehe.

Pemandangan di Tirtonadi memang beda. Pelayanannya supernistimewa. Petugas yang kebetulan menyambut kami –mudah mudahan bukan keberulan-- bahkan bersedia membukakan pintu kaca yang  tebalnya kayak kaca di super market. 

Begitu masuk lobi terminal saya terperanjat kedua kalinya. Lobi terminal terlihat lapang. Lantainya bersih mengkilat. Tidak langsung disambut penjaja dagangan. “Ini terminal bus yang fasilitasnya seperti bandara,” pikir saya. 

Bangunannya tak seberapa megah. Soalnya dua lantai belum selesai dibangun. Tapi di bangun di atas tanah kurang lebih enam hektar. Fisik bangunannya sekitar 12 ribu meter. Walau belum diresmikan, terminal yang jam operasionalnya dibuka 18 Desember 2015 ini, sudah amat representatif dan go internasional.

Rencana panjangnya, tahun ini, bangunan di lantai dua akan dibuatkan akses menunju Stasiun KA Balapan. Tapi khusus untuk pejalan kaki. Lantai tiga akan dilengkapi pusat perniagaan, sekelas mall. Sehingga kesan modernis bakal menghiasi terminal yang dulu padat dan tidak representatif.

Terminal Tirtonadi kini sudah menyesuaikan diri dengan kaidah namanya. Tirto yang berarti air, dan nadi  artinya jantung. Jadi terminal baru ini bakal menjadi Air Kehidupan yang sebenarnya. Inilah yang diharapkan Wong Solo.

tirtonadiLC6VZ.jpg

Dengan ubin mengkilat dan bersih bikin calon penumpang terasa nyaman.

Semua itu tidak lepas dari gagasan Joko Widodo yang kala itu sebagai Walikota Solo. Tirtonadi harus menjadi terminal percontohan. Kini sudah mengantongi terminal berkategori A Plus.

Untuk mewujudkan impian itu, pemkot rupanya mengedepankan masjid sebagai bangunan utama. Nama mesjid di sini juga pas untuk para penumpang yang hendak beribadah. Namanya Masjid Musafir! Posisinya amat mencolok mata pengunjung. Persis berada di sebelah kanan pintu masuk setelah membayar peron Rp 500.

Masjid yang bisa menampung ratusan jamaah ini dibangun dua lantai.. Tingkat atas untuk muslimat. Lantainya berkarpet empuk warna hijau tua. Rasanya seperti sholat di bandara. Malah lebih lapang dari masjid di bandara manapun. Malah tingkat kebersihannya juga sama terjaga.

“Pagi dan sore saya yang ngepel. Karpetnya juga saya vacum setiap menjelang  jemuahan. Pokoknya gak boleh ada yang kotor. Jamaah harus nyaman sholat di sini,” aku Suwari petugas kebersihan yang juga takmir masjid.

Selain untuk sholat lima waktu dan jumatan, Masjid Musafir ini juga tidak melarang para musafir untuk sekedar melepas lelah. Cuma syaratnya tidak boleh berlebihan. Rebahan atau leyeh-leyeh. “Kalau mau ngaji, wiridan, atau baca baca monggo. Asal barang bawaannya dititipkan. Terutama bungkusan kerdus kerdus itu,,” jelas bapak dua anak yang digaji oleh pemerintah itu.

Selain masjid, ruang dalam terminal juga sudah tertata rapi. Antara penjaja makanan, sovenir, asesori hape plus isi pulsa dan sejenisnya. Stan stannya juga bercorak cerah. Penuh warna gairah dengan lampu menyala. 

Posisi toilet juga nyaman. Tidak menyulitkan pengunjung. Bersih, nyaman dan gratis lagi. “Setiap tiga jam sekali dibersihkan dari bau kencing,”ujar seorang petugas kebersihan.

terminal-tirtonadieQ59M.jpg

Toilet pun selain bersih juga di gratis-kan. Semua pengguna toilet tidak membayar.

Lantai terminal juga dibersihkan dalam waktu yang sama. Setiap tiga jam. Itulah yang membuat penumpang yang hendak menunggu bus, betah nunggu di ruang panjang dengan kursi terbuat dari stanlis. Apalagi tidak asap rokok. Tong sampahnya juga tersedia di sudut yang tertata rapi tidak mencolok mata.

Pemandangan itulah yang membuat masyarakat senang. Punya terminal yang tidak lagi kumuh dan semrawut. Tidak lagi lari-lari berteduh saat hujan turun. 

Begitu pula kesan para sopir yang saya temui di warung nasi saat makan siang bersama. Salah seorang di antara mereka ada yang nyeletuk,”Bungur Asih? Lewaat pak,” ledek supir bus eksekutif ini. 

“Wah, Bungur Asih yang mengklaim terminal termegah di Asia itu saja diledek,”pikir saya, apalagi Pudu Raya Kuala Lumpur? “Walah tambah weeees....Lewat brooo!”

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda