Antara Dahlan Iskan dan Bondhet (9-Habis)

Kali Pertama Melihat Sri Purwati Menangis

Almarhumah Sri Purwati. (Foto: Dok/CoWasJP)

COWASJP.COMTULISAN terakhir antara Dahlan Iskan dan Bondet, ternyata menuai protes. Banyak yang minta saya menulis sedikit bocoran. Padahal sudah tak jelaskan bahwa saya akan tulis semua di buku BONDET seri 2. Bahkan ada teman yang menggelitik saya dengan tuilisan,’’Koh San saiki jiwa wartawane wes luntur, nulis kok gak ada unsur ‘’WHY’’-nya, please write, What ‘s wrong with you???

Hemmm, baiklah. Aku sedikit mengalah untuk menulis apa yang saya alami saat itu. Hari itu, ketika perusahaan yang sudah meraksasa itu harus merasionalisasi karyawan karena pengaruh carut marut ekonomi dunia. Ada 10 karyawan di bagian redaksi yang dipanggil rapat. Saat itu rapat dipimpin oleh Ali Murtadlo. Saat itu ali yang anak P:acitan itu mengatakan bahwa perusahaan sekarang bhagaikan kapal Titanic, nyaris tenggelam. Karena itulah agar tidak tenggelam harus ada yang mau berkorban. ‘’Bagian lain sudah melakukannya, tinggal redaksi yang belum,’’ katanya.

Dari 10 orang itu yang saya ingat cumin Mbak Sri Purwati (alm) Sukardi (alm) dan Kahono. Yang lain lupa hehehehe. Saya lihat mereka masih muda2, hanya saya sendiri yang senior. Melihat wajah mereka tegang, saya pun angkat bicara. ‘’Baiklah, saya siap jadi korban, tapi bagaimana hitungannya. Saya punya pengalaman kerja di atas 20 tahun,’’ kataku yang dijawab ali dengan setengah hati,’’ itu urusan manajemen,’’ katanya.

Rapat malam itu tak mengambil keputusan apa pun. Bahkan ditunggu sebhulan dua bulan taka da kejelasannya. Tapi yang jelas sejak saat itu, mereka mulai gelisah. Sebab mereka tak punya pekerjaan lain. ‘’Saya hanya bisa menulis Pak San, gak punya keahlian lain,’’ katanya ketika waratwan Mojokerto itu dating ke rumah saya di Madiun bersama istrinya.

Sang istri (pertama) menangis sesenggukan sampai tengkurap di pangkuan Uti. ‘’Bagaimana sekolah anak-anak nanti, sedang usaha juga modal tidak cukup,’’ katanya di tengah tangisnya. Akhirnya saya sarankan untuk mencoba membuka usaha. Menyarankan tentu saja dengan sebuah konsekuensi. Saya modali mas Kardi untuk membuka sebuah Café.

Kebetulan saat itu ada Mall baru di Mojokerto, akhirnya kami menyewa di dekat nightclub. Café pun dibuka dengan nama Bondet Café, saya ikutkan 2 karyawan saya untuk membantu mengajari mas Kardi dan istrinya untuk mengelola.

Mas Kardi semakin tenang, apalagi setelah sekian lamanya tidak ada kelanjutan dari rapat malam itu. Kenyamanan pun kembali dirasakan. Namun saya justru terusik. Dari memegang kendali Jawa Yimur dengan baswecamp di Madiun, saya dipindah ke Solo. Saat itu kantor belum ada, barfu dalam tahhap pembangunan kantor percetakan di daerah Kartosuro.

Memang ada kantor untuk wartwan di Jalan Slamet Riyadi, namun perangkat cetak jarakj jauh justru diletakkan di percetakan. Jadi mau tidak mau saya harus ngantor di bedeng dari triplek, tanpa AC jadi panasnya bukan main. Mengeluh tentu bukan sikap saya, yang jelas saya dapat pengalaman baru di Solo. Yakni setiap malam nyopir sendiri antara Solo – Madiun lewat Tawangmangu. Kalau kabut sedang turun, jarak pandang hanya 1 meter saja dari mobil. Tapi ya itu, mobil Timor saya setiap bulan harus ganti kampas rem. Dan itu kulakoni hampir setahun di stiu. Kantor jadi, saya pikir bisa bernapas lega. Namun tidak, saya dipindah lagi ngantor di Jogya.

Iya kalau kondisinya seperti perusahaan lain, kalau mindah karyawan minimal ada sangu untuk kontrak rumah. Ini blas gak ada. Begitu lho si Ali masih teganya menanyakan, kepapa gak pindah rumah di sana. Emang pindash rumah itu gampang, tinggal nongkrong aja. Dari rapat yang tak kunjung ada kejelasan itu, akhirnya saya merasa ada pisau Guillotine di atas leher saya yang siap untuk mengeksekusi. Tapi saya tahu, saat itu belum ada alasan untuk mengeksekusi saya. Sebab dalam hal pekerjaan, saya bersih, tidak korup, bahkan banyak fasilitas dari pihak lain yang kuabaikan demi ‘’kebersihan’’ dalam pekerjaan.

Guillotine semakin dekat di leher ketika saya kemudian akan dipindah ke Jakarta. Kali ini saya berontak, saya menolak. Dan saya siap menanggung konsekuensinya. Satu langkah maju untuk menurunkan pisau guillotine di leher saya. Lumayan, saya hanya diturunkan jabatan, dari Redaktur Senior Jawa Timur ‘’dikembalikan’’ sebagai reporter daerah. Gak apa, aku malah senang kembali ke lapangan .

Tapi apa lacur, berita yang saya kejar dan saya tulis jarang sekali dimuat. Bahkan ketika saya mendapat berita ekslusif pun tak dimuat. Saking mangkelnya, udah ngeliput jauh-jauh,..eh gak dimuat, akhirnya data itu kuberikan ke teman=-teman wartawan lain. Bahkan mereka pun saya antar untuk wawancara. Begitu Koran lain ramai-ramai memuat, baru sehari kemudian berita ekslusif saya diturunkan sebaris. Ini benar-benar permainan, dan saya semakin yakin bahwa pisau guillotine akan menebas karir saya

Sungguh, menurut saya ini pekerjaan tangan-tangan kotor. Bayangkan, sebagai wartawan yang cukup handal dan mantan redaktur yang setiap hari menilai layak tidaknya sebuah berita dimuat, sekarang nulis berita blasss…ra enek sing dimuat. Aneh tapi nyata.

Benar juga. Enam bulan setelah turun pangkat, pagi-pagi mbak Sri Purwati (alm) datAng ke rumah sambil menangis. Baru kali ini saya melihat wartawati hebat dan tegar menangis sesenggukan di depan saya. Ia menyodorkan kertas facsimile ke saya. Begitu say abaca, di antaranya berbunyi : Sehubungan selama 6 bulan terakhir saudara tidak aktif, maka saudara dianggap ‘’MENGUNDURKAN DIRI.’’. Surat yang dikirim melalui facsimile itu ditandatangani oleh Redaktur Pelaksana Solihin Hidayat.

Saya hanya mengelus dada, bagaimana seorang karyawan yang diangkat resmi oleh Direktur Utama Bapak Erik Samola, dieksekusi oleh redaktur pelaksana. Tanpa peringatan pertama, kedua dan ketiga, sebagaimana lazimnya sebuah perusahaan.

Mbak Sri masih menangis, saya hanya tersenyum saja. Sebab semua itu sudah masuk perhitungan saya, bahwa beginilah akhirnya. ‘’Kalau Pak San mau membela diri, saya masih menyimpan file berita pak San yangs aya kirim,’’ kata Mbak Sri yang waktu itu bertugas sebagai koordinator liputan, sehingga dia tahu soal berita yang dikirim ke Surabaya..

‘’Tidak mbak Sri,’’ jawab saya sambil menghela napas panjang. ‘’Tak ada gunanya membela diri, mereka sudah menghendaki saya out dengan berbagai cara, pasti seribu satu alasan bisa dicari. Toh saya punya talenta lain untuk bisa hidup,’’ kataku. Untuk merengek-rengek menangis seperti rekan saya dulu yang mau dieksekusi tapi akhirnya diampuni meski punya kesalahan sangat-sangat fatal, uh…sori broooo…..

Dan sejak detik itu juga saya tidak pernah menginjakkan kaki lagi di GRaha Pena, bahkan termasuk hak saya pun tak pernah saya urus. Saya yakin, bahwa Tuhan tak akan membiarkan saya dan keluarga mati kelapAran. Saya punya prinsip, selama tangan dan kaki masih bisa digerakkan, dan selama otak masih bisa dipakai untuk berpikir, rezeki itu masih bisa dicari. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda