Antara Dahlan Iskan dan Bondhet (7)

Akrobatik Bujang Ganong di Tulungagung

Ilustrasi dan desaign foto: CoWasJP

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Santoso Bondet

----------------------------------

MADIUN,…hem…akhirnya aku kembali ke Madiun. Sebuah kota penuh kenangan yang mengukir jiwaku.

Sebab sejak usiaku beranjak 6 bulan, aku terpaksa harus diadopsi kakek nenekku gara-gara bapak ibuku berpisah. Jelas ada sesuatu yang hilang dalam kehidupanku, meski ikut kakek –nenek aku dimanja. Tante-tanteku sudah menginjak dewasa semua, hingga boleh dikata akulah anak ragil sekaligus cucunya.

Apalagi kakekku saat itu merupakan kepala di salah satu instansi, sehingga kehidupan secara ekonomi lumayan nyaman. Kami tinggal di Jalan Sawo 18 Madiun, rumah besar  di samping Hotel Mariton yang sampai saat ini masih seperti aslinya. Hanya pagarnya saja yang berubah.

Dan  kini kemudian aku di Madiun lagi, entah kebetulan atau mungkin memang aku harus selalu berada di kota ini entahlah. Kenapa aku juga memilih Madiun sebagai basecamp Redaksi Jawa Timur di Madiun, aku sendiri sebenarnya tak tahu jawabnya. Tapi paling tidak aku sedikit terlepas dari himpitan suasana kerja  under pressure yang harus cepat…cepat…cepat.

Padahal bekerja semacam itu sudah terbiasa saya lakukan. Seperti saat masih jadi Kepala Biro Madiun, setiap Sabtu saya harus malam mingguan ke Surabaya.  Bukan shoping di Tunjungan Plaza, tapi ambil Koran di Karah Agung broooo. 

Ceritanya, setiap Sabtu malam sopir pengangkut Koran libur. Karena tak ada penggantinya, maka terpaksa atau tidak terpaksa saya harus ambil Koran sendiri ke Surabaya, mancal gas Kijang biru inventaris kantor. Berdua sama Zainuddin, adik bungsu Dahlan Iskan, selesai editing dan kirm berita, saya berdua  berangkat. Gak usah tanya ada honor tambahan atau tidak.  

Selain gak ada, saya sendiri memang tidak pernah mikir itu. Yang saya pikir bagaimana pembaca dapat Koran tepat waktu. Paling hanya uang makan jatah seorang sopir, buat makan berdua hahaha. Dan itu aku jalani hampir setahun penuh.

Dan sekarang, di Kantor Madiun yang waktu itu kontrak di Jalan Thamrin (utara traffic light) Klegen. Kantor itu hanya berukuran sekitar 6 X 4 meter saja, itu pun masih dibagi 2, satu untuk redaksi 1 bagian lagi untuk pemasaran. Sumpek begitulah. Tapi kalau pagi terasa sepi. Semua pada di lapangan, hanya aku sendiri yang jaga kantior. Maklum, saat itu beluim ada penjaga.

Mbak Sri Purwati (alm) datang sambil tersenyum-senyum. Wartawawati paling berbobot di Biro Madiun itu (bobotnya sekitar 100 kg) hehehehe, dia langsung menghampiri meja kerjaku. ‘’Tadi malam ada telpon pak dari Kota XXX,…hayooo, sopo maneh ki?

Mendapat  pertanyaan itu saya bingung, perasaan gak ada teman dari kota XXX. ‘’Nanti dia telpon lagi pak,’’ katanya sambil tetap tersenyum penuh  arti. Harap maklum kalau mbak Sri tersenyum, sebab di kantor Surabaya sudah dikenal, kalau ada telepon dari wanita, pasti saya yang dicari. Maaf bukan apa-apa, saya jugaengasuh rubric kontak jodoh yang naggotanya kebanyakan wanita.

Benar kata mbak Sri. Siang itu ada telepon masuk, dari seorang wanita dan suaranya renyah sekali, ternyata dari Kota XXX. ‘’Saya dari XXX  mas, kita mau punya gawe mau ngundang reyog Ponorogo asli. Mas bisa bantu kasih alamatnyha? Tanya  dia, sebut saja dengan nama Niken.

reog-ponorogoExOZh.jpg

Foto: istimewa

‘’Kalau alamatnya saya gak hapal, tapi kalau tempatnya saya tahu.’’

‘’OK mas, bagaimana kalau besok saya diantar ke Ponorogo.’’

‘’Boleh.’’

‘’Saya naik bis saja ya mas.’’

Singkat kata , esok harinya aku jemput dia di terminal. Hemmm,…masih muda saya amati bajunya brandet, sepatunya branded, demikian pula arlojinya,…semua branded. Yang tidak pas, bocah huayuuu pakai aksesori glamour kok numpak bis, hehehe….Gak masuk akal pikirku. Tapi it’s OK,  naik bis  saja mau pasti gak nolak kalau tak gonceng sama Peugeot 505 kesayanganku. Gerobag legendaries reli Paris – Dakkar itu pun langsung meluncur ke Kota Reyog, Ponorogo.

Familier juga orang ini, masih muda, cantik, ngetuprus. Batin saya, gek sopo sing duwe bojo ayu ngene ki kok diculno lungo dewe, dipangan betarakala tenan ki engko, hehehe.

‘’Saya ini garwo ampil mas,’’ katanya sambil menyebut siapa yang disebut garwo ampil itu. Aku terhenyak kaget, saking kagetnya sampai nginjak pedal rem, membuat Peugeot 505-ku terseok.

Bagaimana tidak, yang disebut tadi adalah pejabat tinggi-tinggi sekali di propinsi sebelah.

Tapi aku gak percaya begitu saja. Hanya ‘’oh’’ itu yang keluar dari bibirku. Tapi untuk percaya,..woww nanti dulu, perlu check and recheck. Tapi persetan, mau ngaku istrinya jenderal petak pun aku gak peduli. Iso nyanding wong ayu begini rasanya selangiitttt…deh.

Setelah putar-putar dan sudah didapat apa yang dicari, akhirnya kami pun mampir di Sate Ayam Ponorogo. Saat itulah saya bisa mengamati dengn jelas postur tubuh wanita itu. Tinggi semampai, pinggang nggitar Spanyol dan,….hemmm…sangune okeh tenan. Wadahe kira-kira ukuran 38B, mantab tenan.

‘’Mas gak percaya ya kalau saya garwa ampil bapak XY,’’ katanya memecah kebisuan saat menunggu sate usai dibakar.

Aku hanya diam, mataku sedang beraksi menikmati lekuk liku tubu semampai yang ada di depanku.

Otakku memang nakal, membayangkan apa yang berada di balik gaun merah itu. ‘’Bukan saya tidak percaya, tapi sebagai jurnalis saya tidak bisa menerima sebuah pengakuan sebelum investigasi dilakukan,’’ jawabku setelah agak lama dia menunggu jawabanku.

Dan yang membuat aku geleng-geleng kepala, ia minta aku mengantar ke Tulumgagung untuk mencari ‘’orang pintar’’ . ‘’Cari orang pintar kok ke Tulungagung, di Malang banyak. Di sana professor banyak,’’ gurauku. Mendengar itu dia pun mencubit lenganku.

Duh,…berani juga dia hehehe. Aku yang pengin nyubit sejak tadi aja gak berani kok. Lantas untuk apa cari ‘’orang pintar’’ segala. ‘’Bapak itu selirnya banyak, kita semua berlomba-lomba mencuri perhatiannya, ya di antaranya lewat cara begini, cari dukun,’’ katanya, aku hanya bisa manthuk-manthuk saja.

‘’Tapi aku kerja nanti malam.’’ Dia pun jawab enteng, ‘’kita nginap di Tulungagung, gak usah khawatir semua saya tanggung,’’ ujarnya.

Saya kontak pak Wahas Sofyan, wartawan Jawa Pos Tulungagung yangs ekarang sudah almarhum. Di Tulungagung, dia bagaikan Mbah Google, apa saja dia punya catatannya, termasuk orang pintar tadi.

Usai ngurusin berita, saya dan dia pun pun meluncur ke Tulungagung. Jam 23.00 sampailah di kota itu.

Kami pun mencari hotel untuk istirahat. Saya pesan 2 kamar, tapi dia menolak minta 1 kamar saja bhiar irit. Hemmmmm…

Jadinya, setelah seharian berburu grup reyog di Ponorogo, malamnya kami reyogan sendiri. Bahkan lebih seru dibanding akrobatik yang biasa dimainkan oleh Bujang Ganong dalam pertunjukan Reyog Ponorogo. Meski hanya disaksikan tembok-tembok bisu, tapi keringat  pun berleleran di malam yang semakin larut. 

Jadi ingat kata pengantar Dahlan di buku BONDET (Sisi Hitam Seorang Wartawan), ‘’kalau sampai Santoso mbondeti wanita, berarti sebagian merupakan kesalahan saya……mosok seh…(bersambung)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda