Menikmati Kuliner Malam Warung Mbak Tum di Semarang

Mbok Tum sedang melayani pelanggan pemburu kuliner malam hari di Semarang. (Foto: Abror/CoWasJP)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Dhimam Abror Djuraid

--------------------------------------------

SURABAYA punya wisata kuliner Rawon Setan yang siap melayani konsumen sampai dinihari. Di Semarang demikian juga. Kalau Anda ingin menikmati wisata malam keliling kota, dan ingin menikmati makan malam yang benar-benar malam (supper), ada pilihan Warung Mbak Tum yang buka mulai jam 17.00 sore sampai dinihari 03.00

Persis di ujung jalan Mataram-Peterongan. Berjejer beberapa warung tenda. Seorang perempuan setengah baya bertubuh subur dengan rambut tebal yang disanggul cekatan melayani konsumennya.

Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, seolah tenggelam di antara berbagai jenis makanan dari ayam. Persis di depannya ada baskom-baskom ukuran besar penuh berisi opor ayam dengan potongan-potongan ayam besar seukuran genggaman tangan orang dewasa. Kuah santan opor yang kental berwarna putih susu berlelahan di bibir baskom berebutan tempat dengan potongan-potongan ayam itu. Ada telor bacem berwarna kehitaman menggunung. Ada juga tahu dan tempe bacem.

BACA JUGA: "The Satay Adventure" di Bandung

Di salah satu sudut terdapat sebaskom besar kikil sapi berukuran dua jari memanjang. Para konsumen menyebutnya "koyor". Karena ukurannya yang panjang harus dipotong dengan gunting besar sebelum disajikan. Ada baskom besar berisi sambal lombok merah berminyak. Tetapi, yang paling khas dari sederertan makanan itu adalah sayur gori dari buah nangka muda. Semua mafhum, sayur gori adalah bagian tak terpisahkan dari gudeg.

BACA JUGA: All You Can Eat Warung Mak Ti

Betul. Warung ini menyajikan menu utama gudeg. Tapi, variasinya bermacam-macam. Bisa dengan opor ayam, telur, tempe, tahu bacem, dan krecek. Tapi, yang membedakannya dengan gudeg tradisional Yogya adalah koyor daging yang di Surabaya disebut sebagai kikil. Tapi, koyor lebih empuk dan halus dan dimasak dengan lombok merah, santan, dan minyak.

mbak-tum-31UEKZ.jpg

Para pemburu kuliner di warung Mbak Tum di Semarang harus siap antre dan sabar. (Foto: Abror/CoWasJP)   

Wanita itu, Mbak Tum, terampil dan cekatan. Tidak pernah semenit pun jedah. Ia berkonsentrasi melayani konsumen yang duduk melingkar di bangku kayu dan plastik. Tangannya lincah meraih potongan ayam besar dari kuah opor, menyajikannya dalam potongan besar atau mencabiknya dalam cabikan kecil. Sambil tangannya terus bekarja ia bisa melayani permintaan pelanggan yang minta tambahan kuah atau sambil.

BACA JUGA: Hunting Duren Ucok in Medan​

Mbak Tum mengerjakannya sendiri. Ia melayani, membungkus, dan menjadi kasir. Ia tidak akan menghentikan tangannya ketika ada pelanggan yang sudah selesai makan dan menanyakan berapa mereka harus membayar.

BACA JUGA: Kembangkan Sayap Kedai Ketan Punel

Sambil tetap membungkus atau mengambil potongan daging mulutnya akan secara otomatis menyebut berapa yang harus dibayar. Begitu pelanggan menyodorkan lembaran uang ia menerimanya, memasukkan ke kotak kayu di bawah meja, lalu meraih beberapa lembar untuk kembalian. Begitu cepat dan praktis, tidak pernah salah hitung.

Dengan mematok harga Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu per porsi, warung ini cukup terjangkau oleh berbagai kalangan.

Pelanggan Mbak Tum bervariasi. Kalau ditilik dari jam buka mulai 17.00 sore sampai 03.00 pagi pasti akan kelihatan segmentasinya. Awal-awal jam buka sampai kira-kira pukul 20.00 bisa disebut sebagai ''rush hour''. Pelanggan umumnya pekerja kantoran, karyawan, sampai manajer yang berkerja di sekitar wilayah itu atau dari berbagai wilayah Semarang.

Pada jam-jam itu banyak laki-laki muda bercelana rapi dengan kemeja lengan panjang, beberapa dengan dasi yang dilonggarkan di leher, antre dengan sabar. Ada yang dimakan di bawah tenda atau ''take away'' di bawa pulang.

Wanita muda berblazer banyak juga yang antre berdiri atau duduk di sekitar meja. Beberapa pasangan muda berdiri menunggu giliran duduk sambil menaksir lauk apa yang diinginkannya.

Tukang ojek berseragam jaket hijau juga terlihat mendesak antre. Sambil melihat gajet sang tukang ojek menyampaikan ordernya. Ada yang memesan tiga sampai lima bungkus untuk pelanggannya.
Semakin malam pelanggan yang datang makin beragam. Menjelang tengah malam lebih banyak ramaja yang datang. Lewat tengah malam sampai dinihari banyak anak-anak muda yang datang setelah menikmati malam.

Di luar tenda musik keroncong mengalun. Empat laki-laki duduk di kursi plastik memainkan cukulele, gitar akustik, bas celo, dan biola. Lagu Didi Kempot "Sentir Lengo Potro" mengalun mengiringi pelanggan yang menikmati makanan. Mereka yang tidak kebagian tempat duduk di dalam tenda bisa duduk lesehan di samping tenda sambil menikmati lagu-lagu keroncong. Kalau tidak mau lesehan masih tersedia meja dan kursi di ruko di samping kiri tenda.

mbak-tum-4DboUC.jpg

Dengan peralatan musik ala kadarnya. Empat pemuda ini juga menghibur para pemburu kuliner dengan menyuguhkan lagu-lagu keroncong karya Didi Kempot "Sentir Lengo Potro", dan dari grup band legendaris Koes Plus. (Foto: Abror/CoWasJP)   

Beberapa jenak kemudian mengalun lagu "Keroncong Pertemuan" Koes Plus. Disusul "Ayah" The Mercy's. Seorang pelanggan menyanyikan sendiri lagu request itu. "Asyik sekali, makan sambil menikmati keroncong lagu-lagu oldies," kata Made Sriundy, dosen Unesa (Universitas Negeri Surabaya) yang baru sekali mengunjungi warung Mbak Tum.

"Saya sudah membuka warung ini sajak 1991," kata Mbak Tum dengan bahasa Jawa halus.

"Mulanya hanya kecil-kecilan, tapi sekarang sudah banyak sekali pelanggan saya," katanya melanjutkan sambil tangannya tetap terampil melayani pembeli.

warung-mbak-tum875S2.jpg

Mbak Tum dengan bermacam-macam menu masakannya. (Foto: Abror/CoWasJP)  ​

Ia mengaku senang masak sejak remaja. Ia tidak ingat siapa yang mengajarinya memasak. Mungkin ibunya, mungkin juga saudar-saudaranya, atau teman-temannya. Mbak Tum generasi pertama dalam keluarganya yang membuka warung makan.

Ia membuka warungnya tanpa hari libur, kecuali pada hari libur khusus seperti lebaran. Tidak capai?

"Kalau capek ya libur istirahat," senyum Mbak Tum mengembang

Saya dan rombongan sudah selesai makan dan mendengarkan keroncong sambil lesehan. Ketika kami tanya berapa yang harus kami bayar berempat, Mbak Tum dengan cekatan menghitung dan menyebut Rp 148 ribu. Tidak terlalu mahal untuk makanan yang nikmat dan suasana yang berkesan. (*)

Baca Juga berita-berita kuliner lainnya di CoWasJP.com

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda