Mengenang ''Kepulangan'' Sehabat Sejatiku (1)

Hartoko Bisa Nyetir Mobil ketika Saya Terkapar Sakit

Penulis saat memberi motivasi Hartoko (almarhum) di ruang ICU RS Adihusada Surabaya. (Foto: CoWasJP.com)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Cak Amu 

-----------------------

AWAL Februari  lalu adalah pertemuan saya yang pertama dengan Hartoko Ariputro setelah tahun 1995 kami berpisah. Itupun bukan temu darat. Juga bukan jumpa fisik. Hartono menyapa saya lewat chating japrian setelah bergabung di Grup WA Cowas Jawa Pos, awal Februari lalu.

Saya tidak tahu bagaimana ceritanya, tim admin WA Grup Cowas bisa menemukan Hartoko. Dan, kemudian masuk dalam grup mantan karyawan Jawa Pos itu. Saya sendiri juga nggak tanya admin.

Saya hanya bersyukur bisa bertemu teman lama yang nggak pernah bersua dan berkomunikasi.
Begitu masuk grup, Hartoko langsung aktif. Menyapa dan menjawab pertanyaan rekan-rekan. Malah saya heran, Hartoko yang boleh dibilang “angkatan baru” bergabung era Jawa Pos Karah Agung ini, bisa langsung konek dengan seniornya. Gayeng!

Senior kami, Hendral Koesnan pun heran. “Cak Amu, maaf saya mau nanya, Hartoko itu masuk Jawa Pos tahun berapa. Saya nggak kenal, tapi anak ini oke juga ya,” ujar pria berkumis bernama lengkap Koesnan Soekandar, angkatan Jawa Pos lama, Era Kembang Jepun.

Sebagai Ketua Penasihat Cowas, sah-sah saja Hendral mengecek anggota Cowas yang baru bergabung. Dia mengaku belum puas sebelum dapat info lengkap tentang “riwayat” karir Hartoko selama di Jawa Pos. “Ya, supaya Cowas ini anggotanya kredibel saja. Saya diberitahu Mas Slamet (Slamet Oerip Prihadi Wakil Ketua Cowas) kalau Hartoko itu pernah satu tim sama sampean,” terang Hendral.

Tidak puas menjawab via handphone, saya langsung meluncur ke markas Cowas di Jalan Ronggowarsito Surabaya. Rumah pribadi Hendral. Tapi tidak banyak cerita yang saya sampaikan. Saya hanya mengenang pengalaman berkarya bersama almarhum. Terutama soal kegigihan mencari berita, semangat berkarir dan komitmen bertemannya amat kuat. 

Hartoko sendiri tidak perlu saya beritahu soal pembicaraan saya dengan Hendral. Tidak terlalu urgen. Yang penting saya sudah menemukan Sahabat Sejati yang lama sekali belum pernah bertemu. Sejak bergabung di WA Grup, Hartoko pun hanya saya sapa selamat bergabung semoga bermanfaat berada di grup (WA Cowas) ini. 

Dan, Hartoko menyambutnya dengan jawaban seorang teman yang sudah lama kangen. “Cak amuu.. apa kabar? Saya selalu mengikuti perkembangan sampean lewat facebook. Sampean eksis sekali. Mantap, bagus cak,” bunyi kalimat dalam japrinya.

Setelah itu, kami tidak pernah japrian lagi. Saya pikir Hartoko sibuk sekali dengan liputannya sebagai koresponden ANTV di Jawa Timur.  Saya baru mengontaknya lagi via japri tanggal 11 Februari. Soalnya ada kabar dia masuk rumah sakit. 

“Assalamualaikum Hartoko posisi di mana? Temen-temen Cowas kate nyambangi,” tulis saya yang dibalas agak lama,”Mhn maaf Mas… br buka hp… td sy drop….”

Jawaban Hartoko ini membuat saya kian penasaran. Saya japri lagi,”Lho iya. Soalnya nggak ada jawaban, kita pulang (saat itu teman-teman Cowas sudah kumpul di sekretariat Ronggorwarsito untuk menjenguknya Red.). Tinggal dimana skr?” Hartoko tetap tidak membalas.

istri-hartokoinQYx.jpg

Istri Hartoko (kiri) bercerita kepada pengurus Cowas JP perihal suaminya. (Foto: CoWasJP.com)

Keesok harinya, 12 Februari, yang muncul dalam japri Hartoko bukan jawaban pertanyaan tersebut. Dia malah mengucapkan,”Selamat Ultah Mas… Smoga sehat selalu…” Japri ini, rupanya Hartoko terpancing guyonan temen-temen di grup yang suka usil. Karena itu, saya pun langsung menjawab,” Iku Hoax Aris. Ulthku 25 Juli.”

Setelah japrian itu, kami tidak ada komunikasi lagi. Usai lebaran, 12 Juli, saya mencoba japri Hartoko lagi. “Assalamualaikum, kami sekeluarga mohon maaf lahir batin yoo. Semoga lekas sembuh,” tulis saya sore hari pukul 04.12 WIB. Sejam kemudian baru ada jawaban,”Walaikumsalam ww inggih pak sami2 matur nuwun. Amin Ya Robb..”

Kalimat tulisan ini jelas bukan Hartoko yang menjawab. Saya belum tahu yang menulis itu istri atau putranya. Saya kembali nanya,”Posisi di mana sekarang?” Dijawab,”Di ICU pak!” Saya tanya lagi,”RS Husada Utama yaa?” Dan, langsung dijawab,”Bukan Pak Adi Husada Undaan.”

Setelah mendapat kepastian posisi Hartoko inilah, Tim Penggerak Cowas yang dikomandani Slamet Oerip Prihadi langsung mengagendakan untuk membezuknya. Waktunya pun langsung kita tentukan, hari Senin, 18 Juli. 

Tapi sebelum meluncur ke RS Adi Husada, tanggal 16 Juli, saya mencoba menjapri Hartoko lagi. Siapa tahu dia sudah pulang dari rumah sakit. “Assalamualikum wrwb gimana perkembangan mas Hartoko? Maaf  belum bisa bezuk sy masih di luar kota,” tulis saya pukul 9:18 PM yang tiga menit kemudian dijawab,”Walaikumsalam Mboten  nopo2 mas Amu, mohon doanya bapak sudah mulai dikurangi obatnya…tp kembungnya krn gas yg terbentuk di perut masih ada..kalo bisa keluar kotorannya akan lebih enak kata dokter.”

Sehari berikutnya, kabar ini saya sampaikan Hendral. Dia meminta saya segera merapat ke Ronggowarsito pagi hari. Sebab, jam bezuk sangat terbatas. Cuma satu jam dari jam 10 sampai jam sebelas siang.

Karena itu, Tim Penggerak yang siap menemui Hartoko tanggal 18 Juli tidak semuanya merapat di markas Cowas. Saya bersama Hendral berangkat dari Ronggowarsito. Sedangkan Mas Slamet, Mas Herman Rivai, Mas Thomas Djoko Susilo dan Cak Budiyono Grafis langsung bergabung di Adihusada.

Sebelum Tim Pengerak menemui Hartoko, saya mencoba cari informasi. Nanya posisi Hartoko via WA-nya. Setelah ada kepastian berada di ruang intermediate ICU, saya bergegas menuju ruang tunggu keluarga pasien. Sontak saya terkejut ketika ada seorang wanita berhijab menyapa,”Mas Amu ya.”

Saya mengangguk dan memperkenalkan diri. Wanita tinggi semampai ini ternyata istri Hartoko.

Namanya Cholifatur Rosida yang dinikahi 5 Novemver 1995. Saya kemudian di ajak menengok Hartoko dari balik kaca. “Kalau Mas Hartoko sudah bisa buang air saya bawa pulang saja. Biar saya rawat di rumah,” aku Rosida sembari mengajak saya menengok dari balik kaca ruang ICU.

Saat kordin dibuka saya mencoba menyapa dengan melambaikan tangan. Hartoko menyambut dengan mengangkat tangannya di atas pelipis seperti tangan tentara dalam posisi hormat. Kami “berdialog” dengan bahasa isyarat dari balik kaca yang bening.

Tak lama bertemu Hartoko, saya mohon ijin istrinya megajak rekan Cowas segara gabung. Kami berenam kemudian terlibat cerita serius mendengar ucapan Rosida di seberang kaca ruangan. Setelah puas mendengar cerita Rosida, Hendral minta saya mengimami untuk doa bersama.

Saat doa baru memulai, istri Hartoko menangis sejadi-jadinya sembari menggebrak-gebrak kaca ruangan ICU. “Tolong.. tolong hentikan,” pinta Rosida. Sementara Hartoko di dalam ruangan ICU tampak kepalanya terantuk berkali-kali, hingga kateter yang menggelantung di atas bergoyang.

Rosidapun kian gelisah. Mondar-mandir dan sempat minta pertolangan Hendral. Tak lama kemudian kami yang masih terus berdoa melirik Rosida sudah ada di dalam ruang ICU. Keadaan Hartoko kembali tenang. Rosidapun keluar ruangan dan meminta salah satu di antara kita masuk ke dalam.

Hendral dan Suhu tola-tole. Lalu mendaulat saya mewakili Cowas masuk ke ruang ICU. “Dik Muis ae sing masuk. Soalnya dia yang akrab sama Hartoko,” pinta Suhu, sapaan MasSlamet. “Alhamdulillah, saya bisa salaman sama Hartoko,” bisik hati saya.

Walau sempat kesasar cari pintu masuk, saya akhiri diijini petugas jaga menemui Hartoko. Kesampatan bertemu Sahabat Sejati ini sangat berharga buat saya. Puluhan tahun tak bertemu dengannya, langsung saya manfaatkan untuk saling memaafkan dan berjabat tangan.

“Assalamualaikum warohma Har?” sapa saya langsung dijawab Hartoko dari balik masker oksigen yang menempel di hidung hingga mulutnya,”Walaikumsalam Cak Amu. Maafkan saya yaaa.”

Saya belum menjawab, Hartoko langsung mengaku tidak akan lupa dengan kenangan manis, yang pernah kami rasakan ketika bersama-sama dalam Tim Liputan Jawa Pos untuk ANTV.

Tim ini dibentuk oleh ANTV – Jawa Pos ketika Pak Dahlan Iskan menjalin kerja sama dengan senior wartawan Jakarta Azkarmin Zaini, salah satu petinggi Andalas TV.

“Saya tidak akan lupa waktu liputan sama Cak Amu. Saya bisa nyetir mobil karena dia sakit Sus,” ujar Hartoko kepada seorang suster yang merawatnya. Saya hanya tersenyum dan terus mendengar ocehan Hartoko. “Dia guru saya suster,” imbuhnya sembari tersenyum dan menempelkan kedua telapaknya di depan hidung.

Pengakuan Hartoko ini membuat saya tersipu. Saya juga takut kalau dia banyak bicara, malah saya disuruh keluar dari ruangan ICU. Ternyata dugaan saya meleset. Suster yang baik hati itu, justru meminta saya untuk menghibur Hartoko. Kami pun gayeng dan Hartoko sesekali tertawa ketika saya cerita perihal mobil liputan, yang membuatnya bisa megang kendali hingga sebelum ajal tiba.

Ceritanya begini. Saat kami bertiga dari tim Jawa Pos: Abdul Muis, Hartoko Ariputro dan Rahmad Santoso liputan di rumah pengidap HIV di Bojonegoro, saya tiba-tiba terkapar. Sakit! Badan lemas dan kepala pusing sekali hingga tidak mampu lagi mengendarai mobil pribadi saya ,yang merangkap untuk mobil liputan ANTV-Jawa Pos.

Saat itu, kami baru saja mewawancarai Kapolres. Di Mapolres Bojonegoro inilah, saya bilang sama Rahmad,”Tolong kamu yang nyetir karena saya tidak kuat lagi Mad.” Eeh.. ternyata Rahmad menolak Dia sudah bulat niatnya untuk pulang kampung. Sehingga setelah liputan dia tidak kembali ke Surabaya. “Hartoko ae sing nyetir Mas. Iso-iso gampang kok Har,” tolak Rahmad.

Saya melihat Hartoko cengar-cengir. Perasaannya kelihatan gusar. Antara berani atau nekad. Tapi dia seakan tertantang oleh ucapan Rahmad.  Hartoko lantas Tanya saya,“Yopo sih mas carane ngurupno mesin ne.”

Nah, saat mentalnya siap itulah, saya yakin Hartoko pasti mampu. Saya tepuk pundaknya,”Ayoo pancalen. Nek gak gelem, awak dewe gak isok mole hari ini,” Hartoko  cuma manggut-manggut. “Wis Mas, sampean meremo. Nek wis teko kantor sampean tak gugah,” ucapnya serius, seakan meyakinkan saya untuk tidak ragu. Saya pun bisa tertidur pulas.

Benar juga Hartoko. Sesampai di Kantor Karah Agung, dia membangunkan saya. “Mas tangi o. Wis teko kantor iki… ha ha ha,” ujarnya sembari meledakkan tawanya yang lepas. “Ruaaar biasa kamu Har. Saluuut… saluut aku,” komentar saya sembari merangkulnya. 

Saya langsung sehat. Dan, Hartoko bergegas ke ruang khusus tempat Pak Dahlan istirahat, sembari mengangkut semua peralatan liputan. Pak Dahlan terkejut atas kedatangan kami. Diapun saya ceritai soal kenekadan Hartoko barusan. “Bagus bagus kalian hebat,” puji Dahlan.

Mendengar cerita masa lalu ini, Hartoko tertawa sembari memegangi teropong hidungnya. “Aku nggak akan lupa itu Cak. Sampean ancen guruku,” akunya. Saat kami bercengkerama inilah, Thomas, tampak sibuk mengabadikan pertemuan kami  via jepretan hapenya dari balik kaca luar ruangan.

pengurus-cowasqkT2C.jpg

Pengurus Cowas menjenguk Hartoko dari balik kaca ruang ICU RS Adihusada. (Foto: CoWasJP.com)

Saat itulah saya mencoba mengorek keadaan Hartoko yang sebenarnya. Dia mengaku sudah lima tahun setengah mengalami gagal ginjal. Cuci darah ini sudah yang ke 500-an lebih. “Hampir setiap dua minggu saya harus cuci darah. Saya sudah pasrah sama yang di atas, Mas,” katanya sembari menggerakkan tangan kanannya ke arah langit.

Saya hanya bisa mengacungi jempol.  Bulu kuduk saya tiba-tiba terasa berdiri. Badan merinding. Saya akhirnya nekad bicara. “Sudah ya Har. Anda hebat sekali. Sudah siap menerima kenyataan ini. Ya.. udah Har, konsentrasi saja mengurusi dirimu. Banyak istighfar dan zikrullah, ketika ada sesuatu yang ganjil dalam hatimu. Soal istri dan anak, gak usah dipikiri nemen-nemen. Sudah ada yang ngurusi. Allah Har!” 

Hartoko mengangguk, kemudian tersenyum sembari melambaikan tangannya. Saya tak ingin kehilangan momen. Saya keluar ruangan sembari jalan mundur. Saya tatap wajah Hartoko yang masih antusias. Saya lantas mengucapkan salam perpisahan,”Assalamualikum.” Hartoko mengangkat kedua telapak tangannya.  

Cukup lama dia mengangkatnya. Mata saya mulaipun membasah. Bibir mulai bergetar. Hartoko langsung menurunkan tangannya. Saat melintas di depannya luar ruang ICU, saya kembali melambaikan tangan. 

Hartoko dengan sorot mata tajam menyambut lambaian saya. Dan, ternyata inilah lambaian tangan terakhirnya. Dia meninggalkan saya, meninggalkan kita semua, persis enam hari, setelah kami bercengkengrama. 23 Juli 206! Selamat Jalan Sahabat Sejatiku! (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda