Di balik Liputan Michael Jackson, Singapore ’93 (1)

Perang Ego Antar Kawan

Mega bintang Michael Jackson (alm). (Foto: blogspot.com)

COWASJP.COM – ockquote>

Bekerjasama harus rukun, agar jadi the dream team. Tapi ego manusia kadang membuat situasi rumit. Pengalaman liputan saya sebagai wartawan Jawa Pos (JP) ini, menggambarkan itu. 
---------------------------------------------

C a T a T a N: Djono W. Oesman

MEGA BINTANG Michael Jackson (alm) menggelar “The Dangerous World Tour” 1993, menonjolkan lagu Dangerous. Di Asia, digelar di Tokyo, Hongkong, Bangkok, Singapura, dan (tentatif saat itu) Jakarta.

Saat dia tampil di Hongkong, Juli ’93 dipastikan, Bangkok dan Jakarta batal. Alasan pembatalan Jakarta, pihak Jacko meragukan keamanan properti panggung, konon senilai USD 22 juta.

Sebelumnya (April ’93) konser Metalica di Lebak Bulus, Jakarta, hancur-hancuran, memang.. Saya disiapkan meliput di Jakarta. Bidang liputan saya ekonomi makro, khususnya moneter. Saya juga bukan penggemar Jacko. Tapi, penugasan dari Pemimpin Redaksi Pak Dahlan Iskan, pantang ditolak.

Malah, saya kira ini hadiah Pak Dahlan buat saya. Paling efisien ke Singapura, daripada menunggu berikutnya di Australia. Kebetulan, ada travel di Surabaya buka paket wisata 3 hari, sekaligus nonton Jacko di Singapura.

Jadwal nonton bisa pilih 29 atau 30 Agustus ’93. Biaya lebih ngirit lagi dibanding penugasan langsung. Efisiensi jadi prinsip Pak Dahlan membesarkan JP, dan saya sependapat.

Redaktur Pelaksana Nani juga menunjuk wartawan spesialis musik Jawa Pos (JP), Hendri. Dan, Pemimpin Redaksi Tabloid Nyata (anak perusahaan JP) Joko Irianto Hamid. Kami bertiga (sekantor) dimasukkan ke paket nonton hari kedua.

Saya menawar, untuk wartawan JP, baiknya pilih salah satu: Saya atau Hendri. Pekerjaannya sederhana kok, tak perlu dikeroyok. Nanti malah berebut. Tapi sudah terlanjur didaftar. Entah siapa yang mendaftarkan, tapi ini menyimpang dari efisiensi.

Nani berkeputusan begini: “Kalau begitu, biar Hendri membantu Joko liputan Nyata. Sebab, Nyata butuh banyak tulisan,” katanya. Berangkatlah kami bertiga dari kantor JP, Jl Prapanca Jakarta.
Kami memegang tiket masing-masing, kiriman dari travel. Rombongan Surabaya langsung ke Singapura, kami akan ketemu di Changi Airport. Uang SPJ tidak banyak, sebab semuanya sudah ditanggung pihak travel. Saya diberi USD 100 untuk 3 hari, dua kawan saya kayaknya juga segitu. Dan, membawa sebuah mesin ketik untuk bertiga.

Sejak berangkat, saya merasa kami tidak harmonis. Mestinya ini suasana gembira. Liputan gampang dan enak, sekalian rekreasi. Kami bertiga (sudah ngobrol) sama-sama belum pernah ke Singapura. Tapi kegembiraan tidak terpancar di wajah Joko, kawan akrab saya. Begitu juga Hendri. 

Joko salah satu wartawan andalan JP seangkatan saya (masuk 1984) yang sejak beberapa tahun lalu ditunjuk jadi Pemred Nyata. Hendri baru 5 bulan jadi wartawan JP. Belum lolos sama percobaan I (6 bulan). Dia mengaku penggemar berat Jacko.

Selama dalam bus Damri (Blok M – Bandara Soeta) Hendri cerita sejarah Jacko, lagu-lagunya, action panggung, kasus pelecehan seksual. “.... Soal action panggung, pokoknya Jacko tak ada duanya di dunia...” ceritanya.

Barangkali dia cerita begitu detil, sebab saya wartawan ekonomi. Perlu disuntik informasi. Setelah itu, telinga saya tertutup headset, menyimak Heal the World (lagu-2 Jacko). Joko, sibuk baca koran. Entah pura-2 atau serius.

Saya melihat Joko kurang suka pada Hendri, bukan sebab menggurui perihal Jacko. Saya menduga, Joko wartawan senior (apalagi dia andalan Pak Dahlan) merasa mampu meliput ini sendiri. Apa sulitnya? Saya yakin dia tidak hanya menyajikan liputan show, tapi bisa lebih dari itu. Lalu, apa gunanya Hendri?

Rasa egois ini pula yang saya alami sebelum berangkat tadi. Sehingga saya tawarkan, pilih salah satu. Mungkin, karena tawaran itu pula Joko jadi kurang suka pada saya. Sebab, Hendri jadi ‘dilempar’ di bawah koordinasi dia, yang bisa saja nanti malah ngrecoki. Andai tidak ngrecoki, mengurangi prestis Joko sebagai wartawan andalan.

Sebaliknya, Hendri kelihatan kecewa saat ditentukan meliput untuk Nyata. Mungkin dia ingin meliput untuk JP, koran kebanggaannya. Tapi dia wartawan baru, tak berani membantah. Apalagi, dia tidak begitu kenal Joko. Jadi serba gak enak.

TAK GENDONG, KEMANA-MANA…

Bandara Soekarno-Hatta riuh-rendah. Turun dari bus, terik matahari menyengat ubun-ubun saya. Joko dan Hendri turun belakangan. Saya dengar Joko menegur Hendri yang buru-buru turun:

 “Dri, mesin ketik kamu bawa, nih.”

Baru saya ingat, tadi, mesin (beratnya sekitar 4 kali laptop) itu saya bawa. Waktu naik bus, semua barang dikumpulkan di bagian depan. Waktu turun, mesin tidak saya bawa. Pikir saya, gantian-lah... Ternyata Joko memberi tugas ke Hendri: “Mulai sekarang, mesin kamu bawa terus.” Hendri: “Siap... bos.”

Rasanya, penugasan itu fair juga. Hendri wartawan baru. Cuma, mesin itu selain berat, juga besar (kira-kira sedikit lebih besar dari PC). Dimasukkan ke tas tak cukup. Jadi harus digendong, kayak nggendong bayi begitu. Di tengah kerumunan orang-orang keren di bandara, tentu Hendri kelihatan ndeso...

Usai pemeriksaan metal detector, Hendri berjalan cepat mengarah ke eskalator yang menuju ke gate di atas. Aneh. Apakah dia ngambek, sehingga lupa boarding pass?

Joko menggamit lengan saya, lalu tertawa, “Biar saja, mau kemana dia,” katanya. Kami antre, mengabaikan Hendri. Eee... tak lama dia muncul juga mendekati kami. “Ayo... kita nanti terlambat, lho,” ujar Hendri bersemangat.

Kami tercengang melihat kawan satu ini. Lantas Joko mendekati Hendri dan berbisik, “Hei... Bung. Kamu belum pernah naik pesawat, ya?” bisik Joko. Hendri tersenyum malu-malu,menggeleng.
Alamaaaak... dia cerita tentang Jacko begitu meng-international, nggak taunya...

Untung, para pengantre tidak keberatan Hendri menyisip, antre di belakang saya. Sebab, mereka tahu kami berteman. Joko di depan saya, sudah dilayani. Setelah saya dilayani, Joko dan saya tidak segera pergi. Menunggu Hendri. Kasihan pada teman, kalau-kalau terjadi apa-apa.

Hendri meletakkan mesin ke lantai, glodaaak... Lantas dia menyodorkan tiket. Tapi, cewek cantik petugas konter itu lebih tertarik melihat barang berat yang diletakkan Hendri. Lalu menegur, “Itu masuk bagasi, Mas?” tanya si cantik, menunjuk mesin.

Saya segera menjawab: “Tidak usah, Nona. Itu muat, kok... di bagasi kabin.” Lalu si cantik mengabaikan mesin ketik, membuatkan pass untuk Hendri. Usai boarding, kami bertiga meninggalkan konter. Hendri kembali menggendong mesinnya.

Tak lama kami berjalan, Hendri mengeluh. “Wah... tadi mending mesin ini masuk bagasi saja, ya...” ujarnya, memelas. Joko kini maju. Matanya melotot, “Ini barang paling penting bagi kita. Kalau sampai hilang, modaaarr... kita semua,” tegasnya.

Saya menengahi: “Ya, sudah. Gendong saja, Dri. Tinggal sedikit lagi masuk pesawat.” Sekilas Hendri kelihatan acuh. Mungkin saja merasa sebel. Dia naikkan gendongan yang mulai melorot, kami jalan lagi.

Waktu tahu nomor kursi saya B, saya minta tukar dengan Hendri yang A. Sebab kursi Joko C. “Dri, aku ingin duduk dekat jendela, nanti kita tukar tempat, ya,” kata saya. Dia tak keberatan.

Nah, jadilah kini Hendri duduk di tengah. Kalau saya duduk di B, pasti tidak enak rasanya, andai dia cerita tentang Jacko, saya tak mendengarkan. Kini sudah aman. Sebelum dia mulai cerita, telinga saya tutup dengan headset. Lagu Jacko lagi...

Waduh... ternyata Joko juga sudah mengantisipasi. Dia baca koran. Bergaya serius, lagi. Tinggallah Hendri yang kesepian. Hebatnya, dia diam. Bagus-lah.

EXCUSE ME, MISS…

Kami kehilangan rombongan tur di Changi Airport. Meskipun sudah janjian kumpul di halte penjemputan, tapi halte itu panjangnya sekitar 100 meter. Ribuan orang bergegas disitu. Apalagi, kami tidak kenal kepala rombongan (saya lupa namanya). Hanya diberitahu nama.

Bisa saja, memang, menggunakan jasa halo-halo yang suaranya menggema di seluruh bandara. Tapi, kami sepakat, itu tidak perlu. Malah saling bingung cari-mencari. Toh, kami sudah tahu bahwa mereka bakal kumpul di Hotel Hilton.

Supaya gampang, kami naik taksi menuju Hilton. Sopirnya orang Melayu, bisa bahasa Indonesia dialek Melayu. Sebab, katanya, dia sering jalan-jalan ke Batam.

Mengamati bersihnya jalanan, indahnya Singapura, Joko punya ide: “Bagaimana kalo kita tidak pulang bersama rombongan. Setelah liputan, kita rekreasi,” katanya. Semua setuju. Mulailah kami menghitung, antara bekal dengan biaya hidup.

Sopir tidak tahu persis tarif hotel. “Aneka macam-lah... Nak bergantung hotelnya,” ujarnya. Dan, dia tak keberatan berhenti di tiap hotel, lantas kami bertanya tarif.

Tiba di hotel yang kelihatannya tidak mewah (saya lupa namanya) taksi diminta berhenti. Joko menugaskan Hendri bertanya tarif. Yang ditugasi ogah-ogahan, “Kalo cuma nanya-nanya, ya gak enak, Mas,” ujarnya. Joko memaksa: “Sudahlah... kamu pura-pura mau menginap, tanyakan tarifnya.”

Hendri terpaksa turun, kami menunggu di taksi. Tak lama, dia sudah keluar, balik ke taksi. “Mahal, Mas. Semalam 90 dolar,” ujarnya.

Saat itu nilai tukar Rp 1.100 per SGD. Maka, tarif sekitar Rp 99.000. Sedangkan bekal kami USD 100 setara dengan Rp 200.000. Berarti, kami hanya mampu menginap semalam saja.

Taksi jalan lagi. Joko rupanya merasa tidak yakin dengan keterangan Hendri. Dia minta sopir mencari hotel lain lagi. Mobil masuk halaman YMCA Hotel (saya ingat nama ini, sebab sama dengan nama SMP saya di dekat Bioskop Ria, Surabaya).

Setelah Hendri turun dan masuk hotel, Joko mengajak saya mengamati, bagaimana sih, gaya Hendri bertanya ke resepsionis? Ngetes wartawan baru. Kami masuk hotel, melihat Hendri dari kejauhan. Dia berbaur dengan puluhan, mungkin ratusan tamu. Suasana lobby ramai sekali.

Hendri memang berada di dekat meja resepsionis, lebar setengah lingkaran. Tapi, dia tidak mendekat ke cewek-cewek cantik yang selalu siap menyapa. Harusnya, Hendri mendekat: “Excuse me, Miss....

Hendri malah celingukan, seperti mengamati sesuatu. Gaya tak tegas ini sebenarnya dilarang. Tapi, generasi Hendri memang tidak dididik Pak Dahlan langsung. Joko jadi tidak sabar, “Ngapain dia?” bisik Joko ke saya. Mana kutahu?

Lantas, Hendri balik, berjalan sigap ke arah pintu keluar. Saya dan Joko cepat menghindar, menjauhi pintu. Lalu kami mendekati resepsionis. Penasaran, apa sih yang diamati Hendri tadi?

Olalaaa… ternyata tarif hotel terpampang di dinding tak jauh dari resepsionis. Joko geleng-geleng,

“Wah... wah... wah... Jangan-jangan, dia tak bisa bahasa Inggris,” ujarnya. Kami terbahak-bahak, tidak sadar disaksikan beberapa tamu yang keheranan. (bersambung)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda