Profesional, Eksklusif dan Rasa Takut (1)

Penulis saat latihan golf pada 1980. (Foto: Dok cowas.com)

COWASJP.COM – ockquote>

C aT a T a N: Sulaiman Ros

---------------------------------------

TAHUN 1983, saya ditugaskan ke Jakarta oleh Jawa Pos  untuk kemudian menetap sebagai reporter di Biro Jakarta. Pengalaman minim sebagai reporter pemula bertugas di Jakarta, ibarat  menelusuri belantara dengan keruwetan yang sangat kompleks.

Pengenalan lapangan dengan kendaraan roda dua , menghasilkan 7 kali kena razia polisi di bulan pertama, dan sekali nyasar seharian, dari kantor (Jalan Raya Senen) mau ke Stadion Utama Senayan (sekarang Gelora Bung Karno), nyasar ke Cililitan, Jakarta Timur, setelah muter-muter hingga bensin habis. Tapi dari kesasar itulah, justru jadi mulai hafal jalan-jalan di Jakarta.

Dua bulan di Jakarta, kembali saya memperoleh penugasan 'berat'. Dua bulan, bagi saya rasanya belum cukup beradaptasi, baik dengan rekan di lapangan maupun narasumber. Markas Besar Jawa Pos di Surabaya lagi-lagi menugaskan atas permintaan bos (Dahlan Iskan). Ya, waktu itu rekan-rekan di Jawa Pos memanggil Mas Dahlan dengan bos. Tugas khusus itu adalah wawancara khusus dengan Bob Hasan tentang biaya pembinaan atletik.

Bob Hasan adalah Ketua Umum Persatuan Atletik Indonesia (PASI) hingga sekarang. Semua orang tahu figur ini adalah orang dekat Presiden Soeharto. Temen-temen di Senayan pun hanya tersenyum ketika dimintai saran, bagaimana cara ketemu Bob Hasan. "Gue yang sudah belasan tahun di Jakarta belum pernah wawancara eksklusif dengan beliau," demikian jawaban rata-rata rekan wartawan olahraga di Senayan.

Waduuh, saya hampir putus asa, tapi terus dibayang-bayangi wajah kecewa Pak Bos yang menugasiku langsung, bila saya gagal memperoleh hasil wawancara Bob Hasan.

Di tengah kegalauan itu ternyata ada yang memberitahu bahwa satu-satunya kesempatan bisa wawancara khusus dengan Bob Hasan adalah di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur. "Tiap hari Senin dan Kamis, beliau main golf dengan Pak Harto,"  Haaah...dengan Presiden? Bagaimana caranya? Tahu sendiri tahun 1980an, pengawalan presiden demikian ketat tanpa reserve.

Bob Hasan dan Pak Harto biasanya tiba di Rawamangun pukul 14.30. Usai shalat Dhuhur, saya sudah nyampai di selter tampat para caddie berkumpul. Karena saya mantan caddie, ngobrol dengan mereka soal golf jadi nyambung. Pukul 14.15,  belasan Paspampres tidak berpakaian dinas turun dari jeep di halaman sporting house Rawamangun. Mereka menyebar ke berbagai sudut, selain ada pula yang mengikuti Pak Harto saat bermain golf. Sebagian lagi nanyai semua orang yang ada di situ, termasuk para caddie.

BOB-HASANT4zs8.jpg

Bob Hasan di Stadion Atletik Senayan.

Saya sempat diinterogasi kecil oleh salah seorang anggota Paspampres. Dengan sedikit berbohong, bahwa saya baru saja tiba dari Surabaya, untuk memenuhi janji wawancara dengan Bob Hasan. Dari interogasi itu, saya menangkap kesan,  bahwa ternyata sikap dan tindakan Paspampresnya Pak Harto tak segalak yang dibayangkan banyak orang. Malah saat saya bilang, kalau saya punya tetangga di kampung juga anggota Paspampres, eh, ternyata dia mengaku teman baiknya.

"Begini saja", demikian dia mulai ngasih solusi. "Kalau Pak Bob tiba lebih dulu, silakan Anda temui Pak Bob. Tapi jangan coba-coba mendekat, apabila Pak Bob datang bersama Bapak (Pak Harto), atau tiba setelah Bapak."

Lalu saya jawab: "Siaaap..!"

Lagi-lagi Tuhan memberiku jalan. 10 menit kemudian Bob Hasan datang sendirian. Saya dibiarkan mendekat ke mobil yang ditumpanginya, dan langsung saya bukakan pintu mobilnya, haha...  berlagak sok akrab. Sementara Bob Hasan seperti melihat sesuatu yang aneh. Mungkin dia berpikir, "Ini orang asing kok membukakan  pintu mobil saya, tanpa ada reaksi dari Paspampres".

Sambil mengenalkan diri, saya tempel terus Bob Hasan sejak turun dari mobil hingga ke ruang ganti, bahkan hingga ke urinoir, saya pun ngikuti buang air kecil di sebelahnya. Sambil wawancara. Soalnya hanya diberi waktu 5 menit, sebelum Pak Harto tiba. Saya ngaku wartawan dari Surabaya yang baru tiba tadi pagi, khusus datang ke Jakarta untuk wawancara soal semangat dan kecintaan Bob Hasan dalam membina cabang atletik. Rupanya, penjelasanku itu berhasil meluluhkan hati Bob Hasan untuk menghargai permintaan waktu wawancaraku.

Setelah wawancara dengan beberapa pertanyaan penting yang sudah saya siapkan, akhirnya satu pertanyaan paling penting terjawab. Yaitu soal "berapa biaya yang dikeluarkan dari kantong pribadi Bob Hasan untuk pembinaan cabang altetik Indonesia?". Boh Hasan pun mau menyebutkan angkanya. Atas keberhasilan itu, rasanya saya seperti mau menjerit.

Paginya, saya bawa koranku (Jawa Pos) ke teman-teman di Senayan. Hehehe... pamer hasil wawancara dengan Bob Hasan. "Ah, yang bener nih?" demikian komentar mereka, masih belum percaya. Yaah.. biarlah. ***

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda