Madesunya Media Cetak

Penulis (depan sebelah kanan) saat hadir di reuni cowasjp.com). (Foto:cowasjp.com)

COWASJP.COM – ockquote>

O l E h: Joko Intarto

----------------------------

 Praktisi Media

AWAL 2016 ditandai dengan sebuah kenyataan pahit: koran legendaris ‘’Sinar Harapan’’ menghentikan penerbitannya! Biaya produksi dan operasionalnya tidak bisa lagi ditutup dari penjualan koran dan iklannya.

Tragis. Ya, sangat tragis. 

‘’Sinar Harapan’’ adalah koran besar pada masanya. ‘’Sinar Harapan’’ telah merasakan pahit dan getirnya industri media dalam perjalanannya, sejak zaman pemerintahan Bung Karno. 

Tapi, langkah penghentian cetaknya awal 2016 itu lebih getir dibandingkan dengan kesulitan yang pernah dialami, pada tahun 70-an maupun 90-an. Boleh jadi, inilah puncak kegetiran hidup ‘’Sinar Harapan’’.

Ramalan kematian media cetak sejatinya sudah terdengar sejak 20 tahun lalu, ketika internet mulai digunakan secara luas di seluruh dunia. Media cetak terancam platform baru yang juga bisa menampilkan teks, foto dan grafis. 

Media online menginformasikan lebih banyak, lebih cepat, lebih atraktif, lebih interaktif dan sangat dokumentatif. Keunggulan itu yang tidak mungkin dimiliki media cetak!

Sekitar 20 tahun lalu, sejumlah pakar telematika di USA meramalkan bahwa umur media cetak kurang lebih hanya tinggal 15 tahun saja. Seharusnya, jatuh tempo ramalan tersebut adalah 5 tahun lalu. Tapi, fakta hari ini menunjukkan bahwa koran masih tetap hidup.

Umur koran dalam ramalan itu memang meleset. Tapi tanda-tanda bahwa koran menuju kematian itu benar adanya.

Masalah terbesar bisnis koran hari ini terjadi di kota-kota besar, maju dan memiliki jaringan internet yang sudah baik. Di wilayah yang seperti itu, masyarakat semakin terbiasa ‘’mencari’’ berita dan ‘’membuat’’ berita.

‘’Mencari’’ berita merupakan prilaku baru pembaca, sejak mengenal internet. Sebelumnya, pembaca hanya memiliki prilaku ‘’menerima’’ berita. ‘’Mencari’’ berarti pembaca berubah menjadi pihak yang aktif. Sementara ‘’menunggu’’ adalah pekerjaan pasif.

Demikian pula prilaku ‘’membuat’’ barita, merupakan kebiasaan baru sejak media online memasyarakat. Dulu, ‘’membuat’’ berita merupakan domain para jurnalis yang bekerja di industry media: cetak, radio dan televisi. 

Sekarang semua orang bisa membuat berita. Semua orang bisa membuat media sendiri. Blogger, vlogger, citizen journalism adalah istilah baru yang popular berkat kehadiran media social.

Coba ingat-ingat apa yang dilakukan masyarakat di lingkungan Anda ketika mendengar kabar ‘’bom Sarinah’’ beberapa waktu lalu. Lima  menit setelah bom meledak di Pos Polisi Sarinah Jl Thamrin, berita sudah menyebar ke seluruh jagat raya melalui media social seperti Facebook, Twitter, Path dan G+.

Kurang dari 10 menit, berita dari media social itu sudah berpindah ke mainstream online media seperti Yahoo News, CNN, BBC, Antara, Kompas, Detik, Vivanews. Lengkap dengan berbagai foto dan video. Dalam berbagai Bahasa.

Efek viral berita itu sungguh dahsyat. Dalam tempo 1 jam, ‘’bom Sarinah’’ telah menjadi trending topic atau menjadi topik yang paling banyak menarik perhatian para pengguna media social di seluruh dunia!

‘’Mencari’’ dan ‘’membuat’’ berita. Itulah kebanggan baru masyarakat yang tidak diberikan oleh media konvensional. Itulah madesunya media cetak. Madesu = masa depan suram. (bersambung)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda