Mandi di Tukad

ILUSTRASI: Padang Bunga di Bali. (Foto: ISTIMEWA)

COWASJP.COMSALAH satu episode terindah hidup saya, sebelum menjadi wartawan Jawa Pos adalah, ketika mlali-mlali, jalan-jalan berpetualang di Pulau Dewata, Bali. Istimewanya, dalam mlali-mlali yang penuh warna tersebut, dibiayai pemerintah.

Ya, setelah menyelesaikan kuliah di Institut Agama Islam (IAIN) Sunan Ampel Kediri, pada tahun 1982 sampai awal 1985, saya menjadi Tenaga Kerja Sukarela Pelopor Pembaharuan dan Pembangunan – Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia, disingkat TKS – BUTSI, di Bali. Lembaga ini di bawah koordinasi Departemen Tenaga Kerja RI. Tugas TKS – BUTSI dalah memberi pendampingan masyarakat desa, untuk lebih maju.

Ditugaskan di Desa Penglumbaran, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, Saya tinggal di Banjar (dusun) Kembangmerta. Kembangmerta artinya, bunga yang sedang mekar. Berada di ketinggian sekitar 600 meter dari permukaan laut, udaranya sejuk, menyegarkan. Tak jauh dari Kembangmerta, sebelah utaranya sekitar 7 Km, ada Gunung Kintamani yang di tengahnya ada Danau Batur. 

Di tepi Danau Batur sebelah timur inilah hidup masyarakat Bali Age atau Bali asli, di Desa Trunyan yang kalau ada orang meninggal jenazahnya tidak dikubur dan tidak dibakar. Di pinggir Danau Batur, sebelah barat daya, ada Perpustakaan Sutan Takdir Ali Sahbana. Saya beberapa kali ke perpustakaan tersebut, dan pernah sekali bertemu Sang Pujangga Baru itu di sana.

Barat Kembangmerta sekitar 5 Km, ada Istana Presiden Tampaksiring, yang arsiteknya dirancang sendiri oleh Bung Karno. Di bawahnya, tepatnya di timur Istana Tampaksiring, ada Tirta Empul yang sumber airnya melimpah. Konon Bung Karno dulu sering melihat wanita Bali mandi di Tirta Empul dari Istana Tampaksiring ini.

Banjar Kembangmerta adalah kampung halaman saya ke dua setelah Kediri. Sampai sekarang saya masih sering merindukan Kembangmerta, dan beberapa kali mengunjungi saudara-saudara di sana.

Lokasi tepatnya, dari Kintamani ke selatan arah Istana Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, ada pertigaan Pasar Kayuambua, Kecamatan Susut. Nah, di barat Pasar Kayuambua itulah Banjar Kembangmerta berada.

Banjar Kembangmerta memang indah mempesona. Kiri kanan pinggir jalan, aneka bunga bermekaran tertata rapi. Warna bunganya merah, putih, ungu, kuning dan coklat.

Rumah-rumah keluarga Banjar Kembangmerta adalah rumah tradisional Bali, berjajar rapi, indah dan bersih. Setiap rumah dikitari tembok persegi empat, yang disebut penyengker karang atau pembatas rumah.

rumah-adat-banjartribunnewsyT0P.jpgFoto: Tribunnews

Pintu masuk pekarangan rumah ada gapura yang disebut angkul-angkul. Di atas gapura, biasanya ada ukiran kala untuk menolak bala. Di belakang gapura, ada tembok penyekat setinggi 150 cm, yang disebut aling-aling. Manfaatnya untuk menghalangi pandangan ke dalam secara langsung dari arah luar. Sehingga dapat memberi privasi bagi pemilik rumah.

Komplek rumah adat Bali, dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, dan paling utama, sanggah atau pemerajan atau pura keluarga, adalah bangunan untuk sembah-Hyang keluarga.   Kedua, Bale Meten atau disebut juga Bale Daja, karena letaknya di kaja atau utara. Bangunan ini untuk tempat tidur kepala keluarga atau anak gadis.

Ketiga, Bale Dauh, dijuluki juga Bale Loji, yaitu bangunan untuk menerima tamu. Keempat, Bale Sekepat, adalah bangunan terbuka bertiang empat, yg digunakan utk pavilyun, tempat tidur anak juga untuk bersantai.

Kelima, paon, disebut juga pawaregan adalah dapur, tempat memasak. Paon memiliki dua bagian. Bagian terbuka untuk memasak, terdapat pemanggang dan area tertutup untuk menyimpan makanan dan alat dapur. Keenam, jineng atau lumbung padi tempat penyimpanan beras. Bangunan ini terletak di dekat paon.

Kami, warga Banjar Kembangmerta mandi di tukad atau jurang. Air yang menetes dari celah-celah dinding jurang ditampung di bak penampungan air, yang diberi kran-kran sekelilingnya. Di situlah laki-laki, perempuan, tua, muda dan anak-anak mandi bersama. Yang laki-laki kalau mandi ada yang telajang. Kemaluan yang kulupnya molor karena tidak disunat, diarahkan ke belakang, dijepit dengan kedua paha. Beres.

Yang wanita, mandi dengan mengenakan kamen atau jarit (Jawa) dililitkan tubuh sebatas dada. Ketika menyiramkan air, menyabun dan membilas, kamen-nya dilonggarkan. Tangan kiri memegang kamen, tanggan kanannya dimasukkan untuk meratakan air dan sabun ke seluruh tubuh. Pada momen ini, sering buah dada ibu-ibu muda dan remaja putri yang montok terlihat, menjadi pemandangan indah, gratis lagi.

mandi-di-tukad-istimewaC58gd.jpgAir di Bendungan Tukad (Foto: istimewa)

Kebanyakan wanita Bali berperawakan kokoh, sintal, rambutnya lebat panjang sebatas pinggul. Rambut remaja putrinya, kalau diklabang sebesar lenganAnchor. Kalau menari, mengenakan pakaian tari warna merah dihiyas prada kuning emas menyala, berlenggak lenggok mengikuti irama gamelan yang rancak, mereka bagei bidadari turun dari langit.

Apa lagi, kalau dalam diri penari tersebut memiliki taksu. Pada saat matanya membelalak tajam, kemudian dilecutkan ke arah kiri dan kanan, siapapun yang menonton pasti akan terpana takjub, tersihir kekuatan penuh magis . Sang penari seakan menjelma menjadi Dewi Durga turun dari Stana-nya.

Di Kembangmerta, saya tinggal di rumah keluarga Pak I Wayan Nomer yang ramah. Seorang pria baya, kala itu berusia sekitar 33 tahun. Anaknya dua, laki-laki semua. Yang pertama namanya, I Wayan Loko dan yang nomor dua namanya I Nengah Kilo. Kepala desa kami namanya Pak I Wayan Rantun. Tubuhnya kekar dan sehat. Pada 1982 usianya sekitar 60 tahun. Orangnya jujur, rendah hati, pekerja keras, sangat memperhatikan rakyatnya dan penari barong handal. Tak mengherankan, meski menjabat kepala desa sudah 27 tahun lebih, oleh masyarakat masih terus diminta memimpin mereka.

Ketua LKMD Desa Penglumbaran adalah Pak I Dewa Made Rai. Usianya kala itu baru 32 tahun. Tubuhnya langsing, agak pendek, gesit, banyak inisitif dan memiliki pemikiran terbuka. Bicaranya berapi-api, matanya bergerak-gerak lincah bila bicara, diikuti gerakan tangan untuk memberi tekanan pada kalimat yang diucapkan. Waktu itu, beliau bekerja di Pemda Kabupaten Bangli bagian Kesra. Kariernya terus menanjak, belakangan beliau terjun ke politik dan berhasil menjadi ketua DPRD Kabupaten Bangli.

Saya banyak belajar budaya, adat kesenian dan berdiskusi tentang Agama Hindu Bali dengan Pak Made Rai ini. Saya tahu kalau Hindu di Bali itu ada  perbedaan dengan Hindu di India, dari beliau. Orang Hindu di India memuja Dewa-dewa. Sedangkan umat Hindu – Bali menyembah Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan yang Maha Kuasa. Di Bali, ajaran agama menyatu dengan budaya dan adat.

Di Balilah, saya banyak belajar bertoleransi dalam beragama, menghormati keyakinan orang lain, berinteraksi dengan mereka, menikmati hidup bermasyarakat yang indah di negeri dengan dasar Pancasila ini. Sungguh saya sangat mensyukurinya.

Pernah dalam suatu diskusi yang hangat dengan Pak Made Rai. Beliau membahas  sembahyangnya umat Hindu Bali. Waktu itu, beliau menyinggung, ada orang Islam yang menganggap kalau orang Hindu itu sembahyang menghadap patung, adalah menyembah batu. Saya terkesiap kaget. Saya menganggukkan kepala sedikit, membenarkan, sambil perasaan tidak enak.

“Kalau orang Hindu dianggap menyembah batu, apa orang Islam juga tidak menyembah batu ?. Kan menghadap Ka’bah. Ka’bah itu batu kan ?”, kata Pak Made Rai sambil tersenyum.

Secara spontan saya menjawab, “Kami tidak menyembah Ka’bah. Itu hanya kiblat fisik saja. Hati kami menghadap kepada Gusti Allah. Menyembah Allah, “.

Pak Made Rai kemudian menyambung, “Sama saja dengan di Hindu. Kami sembahyang menghadap patung dewa misalnya, itu hanya kiblat fisik sebagai media untuk membantu konsentrasi. Hakikatnya kami menyembah Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, “ katanya mantap.

Warga Banjar Kembangmerta sangat menghargai saya sebagai seorang muslim. Jika sedang berkunjung ke sebuah keluarga dan waktunya shalat tiba, waktu saya bilang numpang sembahyang. Mereka menyediakan kamar terbaik, dan tikar pandan bagus, yang biasa mereka gunakan untuk tempat sesaji waktu sembahyang.

rumah-di-kampung-banjarKUQba.jpgKampung Banjar (Foto: YouTube)

Keluraga Pak Wayan Nomer, tempat saya tinggal selama di Bali, jika memasak ayam, saya dipersiahkan yang menyembelih. Masyarakat Bali menyembelih ayam menggunkan bambu apus yang ditajamkan satu sisinya dan diruncingkan ujungnya. Cara menyembelih, bambu apus yang sudah tajam dan runcing tersebut dicobloskan bagian dalam urat leher, kemudian digesekkan ke arah luar. Dengan begitu, urat leher langsung putus. 

Maka, jadilah masakan ayam keluarga Pak Nomor ini halal untuk saya, dan tidak ada masalah bagi mereka. Luar biasa. Sangat indah.

Hanya saja, masyarakat Bali bila ada orang Islam atau melihat di layar TV ada yang mengucapkan salam, Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, mereka langsung senyum-senyum. Ibu-ibu dan remaja putri ada yang tersenyum sambil menutup mulutnya. Semula saya tidak menyadari keanehan ini. Lama-lama jadi penasaran. Maka saya pun menanyakan hal tersebut kepada mereka.

Ternyata, bagaimana mereka tidak senyum-senyum, wong dalam Bahasa Bali, katuk dari kata mekatuk itu artinya senggama. Sehingga bila mendengar kalimat wabarakatuh yang sepintas terdengar katuk, mereka langsung tersenyum simpul.

Terus terang saja,  selama hidup di Kediri, saya yang selalu bergaul dengan orang-orang se-agama, kalangan santri, dan ternyata belum siap mental ketika harus berinteraksi dengan komunitas lain. Terutama yang beda keyakinan.

Seperti kebanyakan yang lain, selama ngaji belajar ilmu agama Islam, di lingkungan, keluarga, masyarakat dan organisasi, tidak pernah dikenalkan bagaimana berinteraksi dengan orang lain, terutama  orang yang memiliki keyakinan beda secara baik dan sopan. Padahal, bergaul dan bersosial dengan orang yang berbeda pandangan, beda profesi, beda suku, beda orgaisasi bahkan, beda agama adalah sebuah realita kehidupan yang tidk terhindarkan.

Di Balilah, saya belajar dan mempraktekkan hidup harmonis, mesra, rukun dan bahagia bersama masyarakat berbeda agama, berbeda latar belakang budaya dengan saling mengormati dan menghargai secara baik. Di Balilah saya, Ber-Bineka Tunggal Ika, yang sebenarnya.

Melihat kenyataan sekarang, banyak dijumpai orang memiliki sikap ekstrim, intoleransi terhadap keyakinan lain, mudah mengkafirkan orang yang beda faham, mengkafirkan orang yang beragama lain, maka sudah waktunya di masyarakat, di sekolah-sekolah, di pondok-pondok pesantren, di majelis-majelis taklim, diadakan program praktek berinteraksi, bertenggang rasa, bergaul yang baik, dengan kelompok lain, dengan kelompok yang memiliki keyakinan dan agama beda.

Alquran sebagai tuntunan bagi umat Islam menjelaskan dalam Surat Alhujurat ayat 13, yang artinya : Hari manusia, sungguh Kami ciptakankan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling kenal mengenal.

Kalimat “Kami  ciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan”, artinya, semua manusia berasal dari leluhur yang sama.Yakni, Nabi Adam dan ibu Hawa. Artinya, apapun sukunya, apapun bangsanya, apapun agamanya, sepanjang dia manusia, adalah saudara. Namanya bersaudara, semua manusia seharus rukun, saling tolong menolong, saling kasih sayang.                

Kemuian, kalimat “bersuku-suku dan berbangsa-bangsa”, jika diteruskan, juga beragama-agama, berorganisasi-organisai, berpartai-partai, berprofesi-profesi, dan lainnya. Tujuan Allah menjadikan manusia beragam ini, bukan untuk saling menyalahkan.

Bukan untuk saling mencaci. Bukan untuk saling menyesatkan. Bukan untuk salaing berpecah belah. Bukan untuk saling bermusuhan. Tapi, li ta-arafu, agar kita manusia saling kenal mengenal, berinteraksi, bergaul, bertenggang rasa, bermasyarakat, berangsa dan bernergara secara beradab dan baik. Wallahu a’lam.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda