Obituari

Ingat Yok, Ingat Stasiun Pasar Turi

Almarhum Yok saat menyerahkan oleh-oleh kepada penulis. (Foto: CoWas)

COWASJP.COM – ockquote>

“Dwo, terimalah ini. Dari isteri saya untuk isterimu,” kata Yok Sudarso. Dia menyerahkan oleh-oleh, kue khas Surabaya. Itu di Hotel Santika, Depok, Kamis sore 5 Oktober 2017. Saya terima. Saya terharu.

ITULAH pertemuan kembali, saya dengan Yok sejak berpisah, Senin 4 Oktober 1987. Setelah tiga puluh tahun, dan satu hari. 

Ternyata pertemuan di Hotel Santika, pertemuan kami terakhir.

Saat saya menulis ini, jenazah Yok diangkut ambulance. Dari kamar jenazah RSAL Dr Ramelan Surabaya menuju Kediri. Dia meninggal 19.40, Minggu, 15 Oktober 2017 tadi. 

Kebetulan, saya yang selama ini mukim di Jakarta, pada jam meninggalnya Yok, sedang ngopi di kedai Wong Java, Jalan A Yani Surabaya. Bersama para eks wartawan Jawa Pos, Slamet Oerip Prihadi, Bahari, Ridwan, dan Suryadi. 

yok23E9ZN.jpgYok Sudarso (almarhum) ketika membetikan kue ultah Slamet Oerip Prihadi di Warkop Apartemen Margonda, Depok.

Kami berjarak selemparan batu dengan lokasi Yok menarik napas terakhirnya. Kabar duka melesat. Dan, kami berlima tiba di UGD ketika jenazah Yok masih hangat.

KILAS NOSTALGIA di STASIUN PASAR TURI

Saat kami pisah dulu, 4 Oktober 1987, Yok mengantarkan saya dan isteri ke Stasiun KA Pasar Turi Surabaya. 

Yok wartawan Jawa Pos di Surabaya, saya wartawan Jawa Pos yang di hari itu dimutasi ke Jakarta. 

Sebelum KA berangkat, Yok membantu mengangkat motor saya, Suzuki A 100, naik ke gerbong barang. 

Lantas dia mengantar saya dan isteri ke gerbong penumpang. Sampai tempat duduk penumpang. 

Kami salaman. Berpisah.

YOK PENULIS HANDAL

Saya dan Yok, dulu bersaing di Jawa Pos. bagus-bagusan menulis. Saya menilai, dialah penulis terbaik Jawa Pos, setingkat di bawah Pemimpin Redaksinya, Dahlan Iskan. 

Saya pengagum tulisan-tulisan Yok. Selalu saya pelajari tulisan dia dengan teliti. Kalimat demi kalimat. Kata demi kata.

yok1NKiFg.jpgYok Sudarso (nomor 2 dari kiri) di rumah Mas Roso Daras, Komplex TNI, Depok, 7 Oktober 2017

Kisah berikut ini menggambarkan itu. Kisah berikut ini termuat dalam buku biografi Dahlan Iskan berjudul “The Next One”. Demikian:

Akhir 1984 Dahlan menginstruksikan, semua redaktur dan wartawan JP di Surabaya masuk “bengkel”. Ini istilah Dahlan, artinya pendidikan.

Dahlan mengajar. Di kantor redaksi Jl Kembang Jepun 167, Surabaya. Setiap hari pukul 07.00 s/d 09.00. Usai belajar, barulah wartawan hunting berita. Pendidikan berlangsung 5 bulan.

Caranya praktis. Naskah berita (hasil ketikan kemarin) di-kopi sebanyak jumlah peserta belajar. Dibagi. Lantas Dahlan membaca keras-keras berita. Satu demi satu.

Dia baca paragraf awal (lead) lalu berhenti. Memandang ke peserta.

“Ada komentar terhadap lead ini?” tanya Dahlan. 

Semua diam. Membisu. Lewat 10 menit, tetap sepi. Kening Dahlan mengekrut, memandang wajah-wajah anak buahnya yang terpekur. Menunduk.

Ternyata ada yang komentar:

“Sudah bagus, Pak,” celetuk seorang kawan.

Saya menduga, kawan ini berharap pelajaran berlanjut. Supaya cepat selesai. Cepat bubar. Sebab, usai Bengkel kami masih harus ke lapangan mencari berita.

yok7MJHd.jpg

Tak diduga, Dahlan berteriak:

“Parah sekali…” 

Suasana hening disobek letusan. Dia membanting tumpukan naskah di tangannya. Berdiri, jalan menjauhi meja meeting. Kayak pemain drama.

“Kalian ini sarjana cap apa?” teriaknya.

Sepi lagi.

Saya amati: Lead berupa 3 kalimat panjang. Teori 5 W (what, who, when, where, why) ada. Sedangkan 1 H (how) memang tak wajib masuk ke lead. Bisa di paragraf 2 atau 3. 

Sudah komplit sebenarnya. Apa lagi? 

Saya baca seluruh naskah. Mencari ‘penyakitnya’. Lalu saya tulis lead pengganti.

Tak sabar, Dahlan menjelaskan: 

“Tidak ada hubungan kausalitas kalimat pertama dengan kedua. Malah, kalimat ketiga sudah lari lagi.” 

yok8zkYq.jpg

Dia lalu menulis lead pengganti di papan. Hanya dua kalimat. Pendek-pendek. Dan, enak dibaca. Luar biasa…

Saya kagum.

“Bagaimana, Dwo?” tanyanya. 

Saya kaget. Beralih, dari terpekur ke naskah, kini memandang wajah dia. Kukatakan:

“Betul editing Pak Dahlan. Enak dibaca, Pak,” kataku.

“Betul apanya?” desaknya.

“Hubungan kausalitas, mutlak di setiap paragraf. Apalagi di lead, sebagai etalase berita.”

“Jabarkan hubungan kausalitas.”

Saya jelaskan begini:

“Ilustrasi: Agus lari terbirit-birit dikejar anjing saat berangkat kuliah. Dia mahasiswa fakultas teknik sipil Unair penyandang bea siswa,” kataku. “Dua kalimat ini sama benarnya, tapi tidak ada hubungan kausalitas.”

“Lanjut…”

yok3B3vCy.jpg

“Kalimat kedua mestinya begini: Sejak itu, dia tak lagi jalan kaki ke kampus, melainkan naik motor….” 

Saya belum selesai, Dahlan memotong. Dia tepuk tangan sekali, lalu menunjuk saya: “Itulah kausalitas….

“Maaf Pak, saya lanjutkan. Dan, hubungan kausalitas, ada di lead yang tertera di papan.”

“Yak….”

Hening kembali.

Dahlan memecah kesunyian: 

“Pokoknya, ingat kausalitas, ingat Agus dikejar anjing,” katanya. Kelas mulai mencair. Ada yg berani tertawa. Pelajaran pun dilanjutkan.

Di hari lain, muncul bintang kelas juga: Yok Sudarso. Dia penulis handal. Tulisannya bisa menyihir pembaca. Saya pengagumnya. 

Kasus yang dibedah kali ini, lead juga. Samar-samar saya ingat begini: 

yok6F7oxY.jpgYok (baju hitam, kiri) di Wedangan 23 milik Mas Roso Daras di Margonda Depok, 6 Oktober 2017 malam.

“Pameran lukisan bertema perjuangan akan dibuka Walikotamadya Surabaya, Muhadji Widjaja di Balai Budaya, besok malam. Pameran yang diikuti para pelukis Surabaya itu menyajikan aneka lukisan perjuangan kemerdekaan.”

Dahlan menganggap lead ini lemah. 

“Siapa bisa memperkuat?” tanyanya. 

Lagi-lagi, semua diam.

Menurutku, lead terdiri 2 kalimat ini sudah enak. Ringkas, padat, masing-masing kalimat tak lebih dari 15 kata, seperti ajaran Dahlan. Unsur 4 W 1 H ada. Kausalitas tercapai. Pokoknya enak dibaca. 

Apanya yang lemah?

Saya berpikir keras. 

Saya tahu, Dahlan menunggu saya angkat tangan. Saya tahu, bahwa dia tahu saya menguasai ilmu penulisan. Ini justru membuat saya grogi. Andai tiba-tiba dia menunjuk, apa jawabku?

Tak dinyana, Yok angkat tangan. 

“Silakan, Yok,” sambut Dahlan.

yok56WQYB.jpg

Suara Yok tegas. Artikulasinya jelas:

“Sebaiknya kalimat dibalik. Menampilkan deskripsi lukisan perjuangan yang akan dipamerkan. Dan, deskripsi itu diletakkan di kalimat pertama.”

Saya berpikir. Peserta berpikir. Dahlan berpikir. Beberapa detik kemudian Dahlan berkata:

“Bagus… bagus… Yok jeli sekali.”

Saya teliti naskah. Di bagian tengah, disebut: Lukisan yang akan dipamerkan bergambar pertempuran di Jembatan Merah, Surabaya. Itu pertempuran dahsyat. Bersejarah. 

Itulah yang disebut Yok sebagai deskripsi. Lukisan pertempuran Jembatan Merah. Itulah awal kalimat terbaik dari berita ini.

Dijelaskan Dahlan, lead bagus harus dibuka, bukan saja oleh kalimat pertama yang bagus, tetapi juga kata pertama yang berbobot. 

“Coba, lebih berbobot mana: Deskripsi lukisan…. atau Walikota, sebagai kata pertama?” tanyanya.

“Deskripsi…,” kata audience, serentak kayak anak SD.

Disitu saya tahu: Tulisan bagus, antara lain, ditentukan kata pertama yang kuat. Disitu saya tahu: Yok sangat menguasai ilmu menulis.

yok11w3UVO.jpgAlmarhum Yok (kiri) hadir di HUT ke 2 Cowas JP di Hotel Grand, 13 Agustus 2017. Foto Dicky Subagyo.

Nah… Yok termasuk belasan wartawan senior Jawa Pos yang sejak sebulan lalu menuliskan pengalaman jurnalistiknya untuk dibukukan. Saya editornya. Bukunya diluncurkan Dahlan Iskan, 17 Desember 2017 di bekas kantor Jawa Pos, Jl Kembang Jepun 167 Surabaya.

Tiga naskah Yok kini sedang saya susun. Itulah tulisan terakhirnya.

Melihat jenazah Yok tadi malam, saya ingat peristiwa di Stasiun KA Pasar Turi. Dia mengangkat motor Suzuki A 100. Naik ke gerbong barang. 

yok-dan-dahlano0GXx.jpgAlmarhum Yok (paling kanan) saat berkunjung ke rumah Dahlan Iskan

Lantas dia melambaikan tangan ke saya dan isteri, saat KA berangkat.

Di kamar jenazah tadi malam saya membalas budi baiknya. Posisi kedua tangan di dadanya, ternyata salah. Terbalik. Sudah saya betulkan. Sungguh…

Selamat jalan, kawan….

Kami menunggu giliran.

yok4Dabs.jpgSedulur-sedulur Cowas JP dan sahabat-sahabat dari Memo di teras Kamar Jenazah RSAL.

yok-12D04xz.jpg

yok9zLTN.jpgSaat jenazah Mas Yok dimasukkan ke ambulans di RSAL, Minggu 15 Oktobet 2017 pukul 23.15

yok-13GWmi.jpgPandu - keponakan Mas Yok, mewakili keluarga memberikan sambutan sebelum jenazah diangkut ambulans ke Kediri.

yok10J8faG.jpgChoirul Shodiq (kiri) dan penulis di RSAL

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda