Dahlan Iskan Kadang Ngawur

Inilah para karyawan Jawa Pos di Jakarta pada 1994. Penulis DWO senyum, berdiri nomor 4 dari kiri. (Foto: Dok. CoWasJP)

COWASJP.COM – ockquote>

Wartawan Jawa Pos (JP) pantang menolak tugas. Juga dilarang bertanya detil penugasan kepada atasan. Sebab bahan baku tugas biasanya potongan info sederhana, lalu wartawan investigasi. Seru.

pengantar-cowas17QbVF.jpg

ITU dulu... Tahun 1980-an sampai dekade tengah 1990-an. Ketika JP bangkit dari koran tidak laku jadi laku. Ibarat bocah belajar naik sepeda: Jatuh-bangun. Sebelum bisa lepas-tangan. Ibarat mesin pesawat bergemertak hebat saat take-off. Sebelum bisa auto-pilot di langit.

Pemimpin Redaksi JP saat itu Dahlan Iskan. Mantan Menteri BUMN, kini Owner JP Group, orang terkaya Indonesia urutan ke-90. Mengalahkan kekayaan anak-anak mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana ke- 132 dan Bambang Trihatmodjo ke-124. (data Pojoksatu.id, 27 Maret 2017). 

Dahlan pemimpin hebat. Saya berkarir jurnalistik di JP 24 tahun sejak 1 Agustus1984. Jabatan terakhir Redaktur Pelaksana Indo Pos (anak JP di Jakarta). 

Dulu.... seandainya wartawan bertanya: “Siapa yang harus saya temui untuk investigasi, dimana alamatnya?” Maka, Dahlan memotong: “Kamu ini wartawan atau tukang pos? Kalau tukang pos, saya beri nama lengkap, alamat, nomor telepon... sekalian...”

Dahlan benar. Dianggap benar. Oleh semua di JP.

Tugas wartawan memang investigasi. Ingat: JP sedang bergulat keras agar naik kelas. Mesin pesawat bergemertak dahsyat... Seluruh komponen mesin terguncang-guncang. Panas. Dan, mesinnya Koran adalah Berita. Hanya itu yang dijual. Bukan kertas bekas.

NONTON GAJAH MASAK SAYUR, Yuuk...

Jakarta, pagi, 1994 Dahlan menugasi saya begini: “Dwo, di Lampung ada pelatihan gajah. Banyak gajah dilatih bisa apa saja, membantu tugas manusia. Bagus untuk features.”

“Siap... pak. Saya berangkat sekarang...” sambut saya, segera.

Bukan saya sok patuh, sok rajin, cari muka. Bukan. Makin cepat makin baik. Semua tugas jurnalistik bertenggat waktu (deadline). Tulisan ditunggu hari itu. Paling lambat pukul 21.00. Ting... 

Lewat berarti gagal. Gagal kena warning. Warning menuju pecat. Pecat blacklist di seluruh koran.

Info tugas minim. Saya ogah bertanya: Lampung sebelah mana? Gang berapa? Siapa nama pelatihnya? Pantang tanya. Tabu. Daripada... aku tukang pos...

Yakin... Dahlan dengar itu dari obrolan orang. Rumor. Katanya. Konon. 

Indikasinya: Penugasan tidak detil. “Membantu tugas manusia” seperti apa? Membajak tanah?

Membabat hutan? Main sirkus?

Dari kantor Jawa Pos di Jalan Prapanca, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, saya pulang dulu. Mengajak isteri: 

“Mau jalan-jalan ke Lampung, sayang? Rekreasi, nonton gajah dilatih masak.”

“Masak makanan manusia?”

“Makanan gajah, ‘kan gak perlu dimasak...”

“Hahaha... mau... mau... mau...”

Berangkatlah kami naik motor ke Lampung. Berdua. Isteri di boncengan memeluk saya. Dia berkacamata hitam. Kerudungnya berkibar-kibar ditiup angin. Kayak Galih dan Ratna. Asyik...

Tiba di Metro, pusat Bandar Lampung, hari sudah siang. Kami makan di restoran. Isteri melepas kacamata, jelaslah kecantikannya. Ada stempel kacamata di seputar matanya. Dia tambah cantik.

Sebelum makan, saya menyapa pelayan restoran:

“Mbak, tempat latihan gajah dimana, ya?”

“Latihan gajah? Saya nggak pernah dengar, mas.”

“Kalau tempat gajah dikumpulkan?”

Mbak berpikir. Matanya melirik atas. Mungkin dia mencerna, pertanyaan nomor satu dan dua, kok mirip saja. Beda-beda tipis. Lalu menjawab:

“Gajah disini banyak, menyebar di hutan.”

“Ya udah, mbak... Terima kasih.”

Isteri melirik ke saya. Sambil makan, dia bertanya ke saya:

“Mas nggak tau tempatnya?”

“Titik persisnya gak tau.”

Dia sepertinya maklum. 

DARI WARUNG ke WARUNG

Usai makan, kami touring lagi. Arahnya ngawur. Berhenti di sebuah rumah makan. Kami masuk. Saya pesan kopi. Isteri gak pesan sama sekali. Kenyang, katanya.

Kepada pelayan, saya bertanya: “Tempat latihan gajah dimana, mbak?”

“Wah... saya gak tau, pak,” jawabnya.

Saya beranjak dari duduk, mendekati beberapa pengunjung yang sedang makan. Satu per satu.

Mengajukan pertanyaan sama. Semua menjawab sama: Tidak tahu.

Saya kembali ke tempat duduk. Isteri heran, bertanya:

“Penugasannya bagaimana, mas?” tanyanya berbisik. Mungkin supaya saya tidak malu.

“Ya... biasa.”

“Lokasinya?”

“Lampung.”
Dia ketawa. Mungkin di benaknya terbentang peta Lampung. Terbayanglah, mencari jarum di tumpukan jerami.

Saya khawatir isteri berpikir : “Bojoku iki cik goblok’e, Rek...”

Kagak pake lama, kami cabut. Sebelum isteri berpikir macam-macam. 

Motor melaju ke arah pinggiran kota. Logikanya, kalau orang-orang di pusat kota tidak tahu, mestinya di pinggiran kota.

Di warung pinggiran kota kami singgah. Pengunjungnya hanya kami berdua.

“Pesan kopi hitam...” kataku ke wanita pemilik warung.

Kulihat isteri mengelap kacamata. Kutawari dia:

“Kamu pengen apa, dik?” tanyaku ke isteri.

“Pengen pulang...” jawabnya ketawa.

Pemilik warung sok ramah, ikut ketawa. Dia saya tabrak, tanya lokasi pelatihan gajah. Tawanya kontan terhenti. Berpikir. Lantas menjawab: Tidak tahu.

Saya merenung, isteri tambah cekikikan. Supaya gak mati gaya, saya ikutan ketawa. Tapi tawaku terasa hambar. 

Biasanya tak sesulit ini. Maksimal, tujuh-delapan kali bertanya, sudah dapat. 

Kini kayaknya isteri kecewa. Bayangan dia, gajah latihan masak... sudah bubar sejak tadi. Bisa jadi, dia benar-benar ingin pulang.

Ternyata tidak. Dia berkata mengejutkan:

“Aku becanda pengen pulang. Sebenarnya pengen tau, setangguh apa suamiku.”

“Hayo... kita buktikan,” ujarku semangat.

Galih dan Ratna berangkat lagi.

Motor menyusuri pinggiran kota. Kebon jagung di kiri-kanan jalan. Berhenti di warung berdinding bambu. Pengunjung hanya kami bedua. Saya pesan kopi, isteri minta es teh. Lelaki pemilik warung mengatakan, tidak ada es. Terpaksa berubah teh manis.

Pemilik warung menyeduh kopi, langsung kutanya:

“Tempat pelatihan gajah, dimana ya... pak?”

Lelaki paro baya itu berhenti menyeduh. Bertanya, minta penjelasan detil. Kujelaskan sekedarnya. Dia berpikir, mengkerut. Lalu:

“Gajah banyak di hutan. Siapa mau melatih?”

Whadooow.... 

Suasana minum kopi-teh, garing-ring. Hening-ning. Hendak cabut, kopi masih panas. Isteri tak lagi ketawa. Dia minum teh, tenang... tidak buru-buru.

Saya mulai menyesal mengajak isteri. Niatku menghibur dia, kini kejeblos. Saya merasa, sudah bertaruh kelewat berani. Setiap penugasan investigasi jurnalistik adalah pertaruhan. Saya selalu menang. Akibatnya ke-pede-an. Mengajak isteri.

Kali ini penugasan alot, kenyal. Mungkin saya bakal gagal. Bakal kalah. Dan seandainya saya kalah, malu di dua sudut. Jawa Pos dan isteri. Wah... wah... wah...

Matahari baru saja lewat dari titik tengah hari. Udara dalam warung panas. Kopiku panas. Hatiku pun membara. 

Kutargetkan, akan keliling Lampung, tanya... tanya... tanya... sampai petang. Seumpama gagal...

“Kopinya keburu dingin, mas,” sapa isteriku.

Memecah lamunan. Membetot kalkulasi.

Saya dan isteri kayaknya mulai matching. Gelisah. Waktu harus seimbang dengan gerakan. Ngopi-ngopi buang waktu. Tapi saya Jawa. Tidak enak straight to the point.

Sebaliknya, masyarakat kita materialistis. Kalau kopinya dibeli, tidak enak jika cuek saja.

“Hayo.... berangkat,” kataku, berdiri meneguk kopi.

Lagu yang cocok mungkin lagunya Rhoma Irama: “Langit sebagai... atap rumahku... treeeng... teng, teng, teng.....

Motor menggelinding lagi. Kiri-kanan pohon jati. Pulau Sumatera ini terlalu sepi dibanding Jawa. Bau hutannya harum daun, segar di dada.

Ketemu toko kelontong, saya beli rokok. Tanya latihan gajah ke ibu pemilik warung. Dia mencerna sejenak. Lalu menggeleng. Tak tahu.

Saya belum lelah. Sumpah. Cuma, dalam hati berteriak: Dahlaaaan.... ngawuuur... Jangan-jangan infonya salah lokasi. Jangan-jangan bukan gajah. Dahlan juga bisa ngawur. Atau dia dibohongi informan.

“Ayo... kita cari minuman es kelapa, mas,” ajak isteri.

Mengagetkanku. Mendorongku tetap semangat. Mendinginkan hati.

gajah1NnVup.jpg

Tak diduga, ibu pemilik warung memotong, mengatakan:

“Sebentar... saya tanyakan suami,” ujarnya masuk rumah. 

Suaminya keluar, berkata: 

“Teman saya pernah cerita, itu ada di timur.”

“Desanya?” tanya saya.

“Tidak tahu.”

“Desa ini Lampung mana?”

“Lampung Utara.”

Saya melihat matahari, menentukan posisi. Lalu berangkat ke timur. Melaju di jalan pedesaan yang sepi. Sampai ketemu pasar, barulah bertanya lagi.

Akhirnya...

“Ow... itu di Way Kambas. Pelatihnya orang Thailand, ‘kan?” kata seorang pemuda.
“Dimana itu?”

“Terus kesana... Masih jauuuh. Tanya orang disana.”

Tanya... tanya... tanya... Makin lama petunjuk makin jelas. Mengarah ke hutan lebat. 

SUIT... SUIIIT... PERTANDINGAN DIMULAI

Akhirnya ketemu. Senang. Rasanya ingin melonjak-lonjak.

Hati menyanyi: “.... dan bumi... sebagai lantainya....” creng, creng, creeeng....

Motor dititipkan di rumah warga. Penghuni rumah, lelaki tua, mengantar kami ke lokasi. Kami lewati jalan setapak 3 kilometer. Sampai ketemu rumah gubuk di pinggir lapangan rumput.

Dari gubuk keluar seorang pemuda bertelanjang dada. Kami berkenalan. Dia bicara bahasa Inggris aksen unik. Ow... inilah pelatih gajah dari Thailand. 

Tapi, tidak kelihatan gajah di lapangan ini?

Pelatih memasukkan jarinya ke mulut. Bersuit-suit kencang. Saya menduga, dia memanggil gajah.

Benar. Sekitar sepuluh menit, muncul tiga gajah dewasa dari rerimbunan hutan. Gajah paling depan ditunggangi seorang pemuda.

“Nah... dia juga pelatih. Dia orang Lampung,” ujar bapak pengantar, menunjuk pemuda di atas gajah.

Itu pelatih pemula. Diajari pelatih Thailand. Mereka berdua tinggal di gubuk. Si Lampung belajar jadi pelatih, si Thailand belajar bahasa Indonesia. Komunikasinya bahasa Tarsan.

gajahkeLJv.jpg

Pelatih Lampung mengatakan: “Pelatih Thailand didatangkan pemerintah, dua bulan lalu. Trus dia diminta pak bupati, ngajari saya jadi pelatih.” 

Kami mulai wawancara, sambil berdiri di teras gubuk. Pelatih Thailand mendampingi.

“Gajahnya dilatih apa saja?” tanyaku.

“Sepak bola.”

“Whuiiik... saya ingin lihat gajah main bola.”

“Boleh.”

Dia memberi kode tangan kepada si Thailand. Lalu, Thailand bersuit-suit lagi. Tak lama, dari rerimbunan hutan muncul lima gajah dewasa. 

Segera, dua pelatih gajah itu menancapkan tonggak-tonggak bambu di lapangan. Membentuk tiang gawang. 

Lapangan (sekitar setengah lapangan bola) jadi arena. Kode-kode suitan, jadi perintah. Delapan gajah membentuk formasi 4 – 4. Berhadap-hadapan. 

Para pelatih menunggangi masing-masing leader tim. Pelatih Thailand mendekap bola warna putih, seukuran bola basket.

Lalu, suit... suit... suiiiit....

Luar biasa... Para gajah membentuk formasi. Tiga mundur. Salah satunya mendekati gawang. Ow... keeper. 

Gerakan kompak antar tim, diberi nama tim Gogo (ditunggangi pelatih Indonesia) dan Gaga (Thailand).

Dilihat dari atas, tampak titik segi empat ketupat. Masing-masing leader paling depan, berhadapan.

Priiiit... pluit panjang ditiup pelatih Thailand. 

Bola dilempar ke dekat kaki gajah. 

Dimulai...

Tercengang. Tiba-tiba sudah ada puluhan penonton anak-anak dan orang tua, mengelilingi lapangan. Mungkin mereka datang, karena sudah hafal suitan-suitan pelatih gajah.

Maka, hutan yang semula sepi, kini heboh. Benar-benar meriah. Sorak-sorak gempar. Ketawa cekikikan.

Anehnya, para gajah kian bersemangat oleh sorakan. Mereka sudah kemenungsan (menyatu manusia).

Lapangan luas jadi terasa sempit. Para gajah berebut bola. Meskipun mereka hanya berlari kecil, tapi langkahnya lebar-lebar.

Kini tim Gogo menguasai bola. Leader menggiring, menggojek bola. Mengarah ke gawang lawan. Pada jarak tembak lima meter, bola ditendang keras. Daaak...

Alamaaak... keeper Gaga... sejak tadi ndeprok (setengah tidur) melintangi gawang.

Alhasil, bola nyungsep, melesak ke sela perut keeper. Hilang. Tertindih gendutnya.

Puluhan penonton ketawa... pecah berceceran. Ibu-ibu terpingkal-pingkal. Bersorak-sorak. Kulirik isteriku ketawa terheran-heran. Ikutan sorak-sorak.

Keeper Gaga berdiri. Bola ada di bawahnya. Lalu ditendang ke tengah lapangan. Bola diperebutkan. Permainan bergulir lagi.

Bola diterima lembut di kaki tim Gogo. Digocek sebentar. Lalu dioper ke leadernya. Sudah betul.

Kembali, leader Gogo menggiring bola. Astaga... Jalan santai, glinuk-glinuk... terus maju... menggiring bola. Arahnya jelas... gawang lawan. Lurus... Sudah dekat... Tembakan keras.... meluncur...

Tapi, keeper Gaga sudah mengantisipasi, bro... 

Ndeprok lagi. 

Bola lenyap ditelan lipatan perutnya. 

Penonton bersorak berantakan. Seru... Sungguh, lebih dahsyat dibanding sepak bola manusia.

Saya pikir, gol tidak bakal tercipta. Tendangan rata-rata pelan, untuk ukuran badan gajah. Jadinya bola menggelinding. Tidak ada bola atas.

Sedangkan, lebar gawang sekitar tiga meter. So... kalau keeper sudah ndeprok, habis-lah sudah. Tak ada celah.

Belum tentu. Tunggu dulu. Kini bola dikuasai Gaga. Digiring leader-nya mendekati gawang. Cuman, tidak lurus ke gawang, melainkan serong di area kiri luar. 

Sehingga keeper Gogo belum mengantisipasi. Dia hanya mengawasi pergerakan bola. Tenang. Mengibas-kibaskan kuping. Tanda waspada.

Saya kira bola akan dioper leader ke tengah. Centre gawang. Sebab, sudah ada kawan menunggu disana.

Mendadak, tembakan langsung. Menyamping. Bola dikepret belalai. Ceees... Melintir. Menggelinding arah gawang. 

Aduh... Keeper Gogo tetap berdiri, melihat bola meluncur. Termangu... guoblok... Awaaas...

Ternyata meleset, saudara... saudara... 

Bola lewat, beberapa senti dari mistar gawang. Keluar. Penonton tetap dibuat kaget. Riuh bersorak.

Seorang bocah berlari mengambil bola. Lalu melemparkannya ke pelatih Thailand.

Mestinya ini out keeper. Bola harusnya ditendang keeper ke tengah. Namun pelatih ternyata yang melemparnya ke lapangan. Maklum.

Peran penonton vital. Mereka berfungsi sebagai garis pembatas. Sehingga bola tidak pernah out. Tinggal ditendang penonton ke tengah lapangan.

Cuma, tidak ada penonton di sekitar gawang. Takut. Meskipun tendangan pelan untuk ukuran gajah, kencang ukuran manusia. 

Sekarang para gajah bergerombol di tengah lapangan. Berebut bola. Kurang seru, sebab bola tidak kelihatan. Rimbun. Tertutup kaki-kaki gajah.

Dengan cerdik pelatih Thailand mengurai situasi. Leader Gaga tunggangannya, mencuri bola. Menendangnya ke tengah. Daaak... Melewati garis tengah. Menuju area pertahanan lawan. Di kanan luar.

Ini baru heboh... 

Lihatlah, enam gajah berlomba menuju titik bola. Mereka berjalan cepat. Berlari kecil. Bola menggelinding kian pelan. Ya... ampun... saling potong-memotong. Bakal chaos....

Penonton pun ngeri. Minggir. Takut terlibas. Barang berat.... Gawat.

Tapi, leader Gaga paling cepat. Gesit berkelit. Satu-dua meter dia mendahului lawan. Dan, lebih dulu mendekati bola. Memperlambat lari. Lalu mengepret bola ke kiri. Dengan belalai.

Sungguh fantastis. 

Lima gajah di belakang leader Gaga, terkejut. Mereka berlari arah kanan luar, bola dikepret ke kiri. Suatu gerak tipu leader. Sedangkan para gajah tidak fleksibel mengubah arah.

Mereka harus memperlambat langkah dulu. Baru-lah melirik bola di kiri. Sudah telat.

Sementara, leader Gaga langsung menggiring bola. Centre lurus ke gawang. 

Sialnya, keeper Gogo berdiri melongo. Terpaku. Tidak segera ndeprok. Dia melihat leader Gaga menggojek bola. Menuju arah gawang. Asli, kritis.

Semakin dekat... Maju. Pada jarak tembak... Bahaya... Ditendang keras. 

“Goool....” teriak penonton.

Sorak-sorai menggelegar membahana. Penonton tepuk tangan, jingkrak-jingkrak. Gemuruh kaleng-kaleng seng ditabuh. Geger.

Sebentar... Saya heran, mengapa gajah tidak membelit bola dengan belalai? Lantas membawanya berlari? Lebih gampang. Sebab, belalai lebih aktif banding kakinya.

Pelatih mengatakan, itu sudah dilatih. Bola harus ditendang. Baik oleh kaki, maupun dikepret belalai. Dilarang dibelit belalai. Itu hands-ball (tepatnya trunks-ball).

Setengah jam pertandingan usai. Skor 2 : 0 untuk tim Gaga (Thailand).

Kata pelatih, skor itu sudah diatur. Sesuai skenario. Supaya jadi pertunjukan. Caranya gampang. Keeper Gogo tidak pernah diperintahkan ndeprok...

Detil kisahnya saya tulis di Jawa Pos (saat itu). Khalayak pembaca antusias. Jadi buah-bibir. Sampai populer istilah “Sepakbola Gajah”. Artinya pertandingan bola, curang. Sudah diatur.

Pasti, saya puas. Tapi itu hal biasa. Kecil... Barangkali saya terpengaruh reaksi Dahlan yang datar.

“Wartawan digaji untuk berhasil. Masak dibayar untuk gagal?” katanya. Seratus persen benar. 

Saya pun siap tugas-tugas berikutnya. “.... hidupku... menyusuri, jalan...”
Tamat.

Kisah ini saya dedikasikan buat wartawan JP angkatan ‘Pesawat Take-off’. Yang kini jualan kopi, nyeduh sendiri. Jualan tahu tek-tek, ngulek sendiri. Sopir taksi Grab. Dagang gorengan, lontong isi kentang, nasi kucing lauk sambel tempe Rp 4.000-an. 

Tetaplah semangat, Bro... Sist... Walau mesinmu sudah lama dingin. (Jakarta, 6 Agustus 2017)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda