Ketika Orang Jawa Menunggu Wong Agung Ratu Adil

COWASJP.COMPAMEDHARE wasitaning ati, cumanthaka aniru pujangga dahat mudha ing batine, nanging kedah ginunggung datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka basa kang kalantur, tutur kang katula-tula tinalaten rinuruh kalawan ajrih, mrih padhaning sasmita.

(Tersingkapnya ajaran ati, sok berani meniru pujangga/ahli kitab, hal itu sangatlah bodoh sekali, tetapi karena ingin dipuja, tidak tahu kalau banyak yang menertawakan, memaksa untuk mengarang, bahasanya kacau, kata-katanya sia-sia.)

Untaian kata-kata tersebut adalah kata-kata pembukaan dalam tembang Dhandhanggula dalam serat Wulang Reh yang amat terkenal.  Wulang berarti pelajaran, dan Reh artinya pemimpin. Wulang Reh, dengan demikian, berarti pelajaran untuk pemimpin.

Ketika Sri Paku Buwono IV menulis serat tersebut, keadaan negerinya sangat boleh jadi memang demikian. Tetapi masa sekarang pun tampaknya juga demikian. Banyak tokoh dan pejabat bicara keras asal omong, meniru-niru dan berpura-pura seperti pujangga yang menari muka dan pujian.

Masyarakat negeri ini, yang mayoritas adalah orang-orang ,Jawa, disorot oleh banyak pihak karena korupsi yang merajalela di negeri ini. Tidak sedikit kalangan yang terang-terangan mengatakan bahwa para pemimpin Jawa adalah pemimpin-pemimpin korup. Kita pun teringat pandangan kritis Mochtar Lubis yang menggegerkan dengan bukunya Manusia Indonesia pada 1970-an. Ia mengritik hebat masyarakat Jawa. Kita pun dapat bertanya, bagaimana bisa demikian, padahal ajaran-ajaran dalam budaya Jawa begitu kaya?

sri-sunan-pakubuwono-IVgeniqNsY7.jpg

Sri Sunan Pakubuwono IV (Foto:Geni)

Seorang pemimpin Jawa, misalnya, sering digambarkan sebagai Wong Agung yang  memahami benar Asta Brata, delapan laku pemimpin. Delapan sifat itu antara lain bahwa pemimpin harus seperti matahari yang selalu memberikan energi kepada rakyatnya. Seperti bulan yang memberikan penerangan dan keteduhan di dalam gelap. Seperti api yang tegas kepada siapa pun yang melanggar hukum. Seperti mega yang mengetahui semua gejala di masyarakat. Dan seperti bumi yang luas dan lapang hatinya, tak keberatan hartanya susut dimanfaatkan orang.

Serat Wulang Reh adalah kitab berisi 13 tembang yang luar biasa tinggi nilainya. Dari 13 tembang tersebut, lima tembang (panca tembang) di antaranya mengungkapkan nilai-nilai  kepemimpinan dengan sifat-sifat pemimpin sejati. Kelima tembang itu adalah Dhandhanggula, Kinanti, Gambuh, Pangkur, dan Durma.

Seperti dalam Dhandhanggula, pesan Sri Pakubuwono adalah agar para pemimpin selalu mengikuti ajaran hati, jangan menipu diri sendiri, sabar dan teliti, belajar-berkembang untuk kesempurnaan, berguru dan membaca alam semesta, dan memahami perbedaan.

Dalam serat Kinanthi, ada bait yang berbunyi demikian: “Padha gulangen in kalbu, ing sasmita amrih lantip, Aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi, Pesunen sarinira, sudanen dhahar lan guling.” Artinya: Asahlah hatimu, agar dapat memahami rahasia hidup. Jangan banyak makan dan tidur, tujulah kesempurnaan. Latihlah dirimu, kurangi makan dan tidur.

Serat Wulang Reh memang sebuah warisan budaya yang luar biasa, tetapi ini hanyalah secuil kearifan Jawa. Karya besar pujangga Jawa ini menunjukkan ketajaman imajinasi Sri Paku Buwono IV. Nilai-nilai  filsafat yang terkandung di dalam serat ini benar-benar mempesona. Begitu hebatnya sehingga kita bisa semakin heran bila melihat kenyataan kehidupan masyarakat Jawa masa kini yang amburadul, khususnya yang terkait dengan tingkah laku korup para pemimpinnya.

Menyelami Wulang Reh dengan mengingat konsep kepemimpinan Asta Brata, kita mungkin dapat melukiskan bahwa Wulang Reh adalah konsep “mikro” sedang Asta Brata adalah konsep “makro”. Bila kita melihat pemimpin yang memiliki kualitas Asta Brata belum cukup, maka Wulang Reh dapat melengkapi alias sama dengan nilai-nilai plus. Itulah karena Wulang Reh menunjukkan, meskipun tidak secara tersurat tapi tersirat, kualitas-kualitas pemimpin seperti jujur , tepercaya, penyampai (tidak pembohong), dan pemberani yang cerdik cendekia.

Tidak mudah memang menjelaskan tentang beragam kualitas itu. Tetapi kita dapat memahaminya dengan membaca sejarah atau biografi orang-orang besar. Kita ambil contoh yang paling dekat, misalnya, Sultan Hamengku Buwono IX dan Bung Karno, dua tokoh besar yang terkenal dekat dengan rakyat yang mencintainya.

Sebagai pemimpin, dua tokoh itu dikenal tidak tertarik mengumpulkan harta. Bung Karno, terutama, pintar menyapa rakyat. Setiap kali Bung Karno berpidato, jutaan orang mendengarkannya. Suaranya memukau, indah bahasanya, menggetarkan saraf, menggerakkan emosi orang-orang kecil yang merasa disapa secara pribadi seolah penuh kekuatan magis.

Tahun 2017 ini Indonesia menyelenggarakan Pilkada di sebagian daerah. Rakyat pun sudah atau dalam proses memilih para pemimpinnya. Sementara kepemimpinan nasional yang dipegang Presiden Joko Widodo sedang menghadapi suasana yang pelik setelah dua tahun lalu terpilih menggantikan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Amat sangat pelik. Bagaimana tidak?

Jurang antara warga kaya dan miskin semakin mendalam, dengan konflik-konflik berbau suku, agama, ras, dan antargolongan pun mengancam persatuan negeri ini. Utang luar negeri juga terus naik, sementara para koruptor dan perampok uang rakyat bertambah tebal wajahnya alias tidak kenal malu.

Dan di luar sana, negeri-negeri kaya pemegang banyak kuasa pun terus mengincar untuk menguasai wilayah, atau setidaknya mengeruk kekayaan alam negeri ini. Dengan segala cara, mulai menyelundupkan narkoba alias candu untuk membuat rakyat dan aparat makin teler dan tak berdaya, semakin mudah diperalat dan disuap.

Rakyat kecil pun, sekali mengingat mimpinya tentang datangnya Wong Agung. Apakah Wong Agung sudah datang tapi belum menunjukkan wajahnya? Ataukah memang belum muncul?

Tetapi banyak orang Jawa percaya, bila Wong Agung sejati yang muncul, negeri ini akan makmur, maju dan dihormati di seluruh dunia. Seperti yang tersurat dalam Jangka Jayabaya yang terkenal itu.

Dalam butir 72 Jangka Jayabaya, ramalan tersebut melukiskan pemimpin sejati tersebut antara lain sebagai berikut:

Ngluruge tanpa wadya bala. Yen ta menang tan ngasorake liya.  Para kawula pada suka-suka amarga Adiling Pangeran wus teka.  Ratune nyembah kawula. … Para pandita  ya pada nguja. …Genah katata njingglang, nora ana wong nggresula kurang. Gemah ripah loh jinawi, wong Jawa dadi Gusti Prabawane Nusantara Handayani indering jagad raya pada asung bekti.

(Dia) maju tanpa pasukan. Bila menang tanpa merendahkan orang lain. Rakyat bergembira ria karena Pemimpin Adil sudah datang. Pemimpinnya memuja rakyat…Para ulama juga memuji…Semua tertata secara baik, tidak ada orang yang mengeluh kekurangan. Makmur, semuanya tercukupi, orang Jawa jadi Raja dan wibawanya bergema di seluruh Nusantara, seluruh dunia pun menghormati.

Apakah kata-kata itu sekedar mitos, mimpi atau utopia belaka? Sejarah akan mencatat dirinya sendiri.(*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda