Jejak-Jejak Bahasa Manusia Jawa Purba Homo Wajakensis

Foto dan Ilustrasi: CoWasJP

COWASJP.COMINDONESIA, terutama wilayah Pulau Jawa, adalah kawasan dunia yang kesuburan dan keindahannya mirip surga. Ibaratnya, tongkat kayu dilempar di batu pun jadi tanaman.

Howard Palfrey Jones, Dutabesar Amerika Serikat untuk Indonesia tahun 1960-an, menulis dalam buku Indonesia: The Possible Dream (Gunung Agung (S) PTE LTD- Singapore MCMLXXX, 1971) bahwa begitulah memang adanya.

Dalam buku tersebut, Jones antara lain menulis bahwa penemuan sisa-sisa manusia purba Jawa di Lembah Sungai Bengawan Solo pada 1890 menimbulkan spekulasi bahwa Jawa adalah asal-usul manusia seperti kita kenali sekarang, dan itu berarti adalah situs dari Taman Surga (Garden of Eden).

“Even if that is not true, it should be; for it would be difficult to anywhere in the world a paradise surpassing this land of lush beauty, literally a garden. Although modern scholars tend to place the origin of man farther north and west, the idyllic quality if Indonesian archipelago lends itself appropriately to the legend of Genesis,” tulis Howard Jones (hlm 7).

Betapa terpesonanya Howard Jones pada keindahan dan kesuburan Pulau Jawa sampai-sampai ia berkeyakinan bahwa meskipun mungkin tak benar Pulau Jawa adalah Taman Surga seperti yang ditulis di Kitab Suci, ia mengatakan “mestinya begitu”. Pasalnya, tulis Jones, sulit mencari tempat mana pun di dunia yang bisa mengungguli negeri yang sangat indah ini, benar-benar sebuah taman.

Spekulasi Howard Jones memang tidak mengada-ada. Selain sisa-sisa manusia Jawa di Trinil, lembah Bengawan Solo, di Tulungagung bagian selatan juga ditemukan fosil manusia purba Jawa yang disebut Homo Wajakensis. Ini karena tempat penemuan tersebut terletak di Desa Wajak.

Daerah Wajak sekarang ini adalah wilayah desa di Kecamatan Boyolangu. Namun, dalam prasasti peninggalan Belanda di lereng bukit Nglempung, Desa Gamping, Kecamatan Campur Darat, yang berangka tahun 1850 tertulis bahwa kawasan tersebut masih disebut Wajak.

Richard E Leakey dan Jan Kerveer  menulis dalam bukunya, Pithecanthropus, fosil tengkorak manusia ditemukan di sekitar Desa Wajak oleh seorang insinyur tambang batu gamping berkebangsaan Belanda, BD van Rietschoten, pada 24 Oktober 1888. Fosil tengkorak yang dianggap ganjil itu kemudian diserahkan kepada CP Sluiter, kurator dari Koninklijke Natuurkundige Vereeniging (Perkumpulan Ahli Ilmu Alam) di Batavia saat itu.

Tak lama kemudian, Dubois mendarat di Jawa untuk melanjutkan riset arkeologinya yang tidak memuaskan di Sumatra. Sluiter menyerahkan fosil tengkorak Wajak kepada Dubois. Bagi peneliti tersebut, fosil temuan Rietschoten itu membuka harapan baru untuk menemukan missing link (mata rantai yang hilang) asal-usul manusia.

Pelaut Ulung

Selain dikenal sebagai negeri yang sangat subur, negeri ini juga memiliki wilayah laut yang luas. Sejak dulu, orang-orang negeri ini terkenal sebagai para pelaut yang ulung. Mereka bahkan dikenal sebagai para penjelajah yang mumpuni dan juga orang-orang hebat dalam pembuatan kapal-kapal. Kehebatan orang-orang Jawa tersebut bahkan masih terlihat sampai abad ke-16 atau abad ke-17. Banyak penulis Eropa yang melukiskan hal tersebut, seperti ditulis Waruno Mahdi dalam tulisannya, Sekitar Sosiologi Budaya ‘Malas’ dan ‘Rajin’ (1998).

Mahdi, budayawan Indonesia yang kini bermukim di Jerman, menunjuk karya besar Joan de Barros berjudul Da Asia (deretan II, jilid VII) yang terbit tahun 1533 diterangkan bahwa De Alburquerque melepas dari Malaka pada tahun 1511 dengan empat kapal, “termasuk satu kapal jung rampasan yang awaknya orang Jawa melulu, yang di antaranya banyak tukang kayu, juru dempul, dan juru alat mekanik, yang dinilai tinggi sekali keahliannya oleh Afonso de Albuquerque, karena orang-orang Jawa ini ahli-ahli besar segala kejuruan pelayaran (grandes homens deste mister do mar)"

Kemahiran orang Jawa dan orang Melayu dalam bidang perkapalan memang sangat mempesonakan orang Portugis, karena kapal-kapal jung itu ternyata jauh lebih besar daripada kapal-kapal Portugis, dan lambungnya bahkan tidak mempan ditembaki dengan meriam-meriam yang terdapat pada kapal Portugis. Kapal terbesar yang pernah dibangun di Indonesia pra-kolonial ada jung yang berpenyisihan air 1000 ton yang turun gelanggang di Jepara pada tahun 1513.

Pelukisan tersebut memang terkait pada masa yang terpaut jauh. Namun hasil riset peneliti-peneliti lain tidak menunjukkan hal-hal yang berbeda bahwa sejak ribuan tahun lalu, orang-orang Jawa atau Indonesia telah terbiasa menjelajah berbagai lautan. Ini juga dinyatakan Prof Abbas A. Badib, PhD, Gurubesar Ilmu Linguistik pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.

“Orang-orang Indonesia termasuk orang-orang pertama yang melakukan migrasi ke Jepang dan menjalankan aktivitas ekonomi dengan antara lain memperkenalkan tanaman padi bulu di negeri itu sekitar 6.000 tahun lalu, ” kata Prof Abbas sebelum meninggal dunia tahun lalu.

Apa yang dikatakan Prof Badib tampaknya tidak umum, apalagi profesor tersebut adalah seorang pakar bahasa. Tetapi profesor yang meraih gelar PhD di bidang linguistik dari Universitas Monash di Melbourne, Australia, ini – sebelum meninggalnya --  adalah satu-satunya profesor di Indonesia yang menekuni studi arkeolinguistik dan paleolinguistik dan menggali ilmu linguistik. Termasuk cabang-cabangnya yang terkait untuk menyingkap tabir misteri awal mula terbentuknya bahasa dan asal usul manusia.

Berkat ketekunannya dalam menggeluti bidang studi yang langka itu, Prof Badib pernah memperoleh undangan penelitian di Jepang dengan sponsor The Japan Foundation selama 6 bulan. Hasil penelitian dituangkan dalam laporan ratusan halaman berjudul “The ancient and the modern Japanese: their origins and their languages and their possible links with the Indonesian people and languages.”  (2000)

Dalam penelitian itu, Prof Badib mencoba menguak misteri mengapa orang-orang Jepang lolos dari seleksi alam yang berat, menjadi tangguh dan unggul dalam memperjuangkan kehidupannya menghadapi berbagai tantangan. Ia berpendapat, keunggulan orang-orang Jepang sekarang ini terkait dengan keunggulan orang-orang Wajak yang lolos seleksi alam hingga dapat bermigrasi jauh ke negeri tersebut. Badib juga mencoba melacak asal muasal orang-orang Jepang dan bagaimana bahasanya terbentuk.

Apa yang dilakukan Badib adalah melanjutkan penelitian-penelitian para sarjana terkemuka sebelumnya yang mencoba menguak misteri asal-usul manusia, antara lain Richard Leaky dalam bukunya The Making of Mankind (1981). Leaky menguraikan pergerakan manusia dari Afrika menuju Eropa 400.000 tahun silam, ke China 800.000 tahun lalu dan ke Jawa sekitar 1 juta tahun lalu.

Tentang asal-usul orang Jepang, kata Prof Badib mengutip Man on the Rim at the Peopling of the Pacific (Alan Thorne dan Robert Raymond), orang Ainu merupakan penghuni lapisan pertama Jepang dan kebanyakan mereka tinggal di Hokkaido. Orang-orang Ainu kemungkinan sisa-sisa yang selamat dari penghuni yang datang ke Jepang sekitar 52.000 tahun silam, hanya saja kemungkinan mereka telah mengalami mutasi genetik.

Badib juga menunjuk tulisan ilmuwan Jepang Ryozo Torii dalam bukunya Ancient Japan in the Light of Anthropology (1935). Torii mengatakan, penduduk asli orang Jepang adalah orang-orang Indonesia yang disebut alur selatan, southern hypothesis.

 “Orang-orang Indonesia yang datang ke Jepang tersebut membawa serta bahasa Austronesia yang terdiri antara lain bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Salah satu cirinya ialah orang-orang Austronesia, Melayu, Indonesia sampai Papua Nugini, secara tradisional melakukan tattoo di bagian wajah dan tangan,” kata Prof Badib..

Jejak orang-orang Wajak di Jepang juga diungkapkan oleh Hideo Fujita, mantan President PT Yamamori Indonesia dan pengajar di sebuah universitas swasta di Yokohama. Selama 10 tahun tinggal di Indonesia dari 1990 hingga 2000 ia melakukan penelitian tentang asal usul bahasa Jepang dari bahasa Indonesia. Kata-kata bahasa Jepang seperti modoru, masaka, takaburu, dan makanau ternyata mirip dengan kata-kata bahasa Indonesia mundur, masakan, takabur, dan makan.

Kata-kata bahasa Ainu yang mirip atau sama dengan bahasa Indonesia juga ada. Kata ‘pasir’ adalah ‘sir’ dalam bahasa Ainu. Kata-kata lainnya adalah ‘kakak’ (ak), ‘api’ (api), ‘aku’ (ku), ‘siri’ (siri), ‘sakit’ (caki), ‘kota’ (kota), ‘batuk’ (atu), dan ‘kap’ (kap).

Dalam tulisannya, “Rute Perpindahan Suku Jawa ke Jepang dan Perubahan Bahasa Jepang” (2002), Fujita mengatakan bahwa orang-orang suku Wajak berlayar dengan sampan ke Jepang melalui pantai Asia Tenggara, saat orang-orang Jomon berdiam di Jepang. Orang-orang Indonesia itu tentunya kawin dengan orang-orang Ainu atau orang Jomon. Interaksi mereka membuahkan suatu bahasa perpaduan antara bahasa lokal yang memiliki struktur Altai dan kosakata Indonesia/Jawa/ Austronesia. Bekas-bekas bahasa Indonesia (Austronesia) kini masih dapat ditemukan dalam bahasa Jepang modern atau bahasa Ainu.

Dalam penelitiannya di Indonesia maupun wilayah selatan Jepang, Fujita juga melihat bentuk-bentuk atap rumah yang mirip.

“Orang-orang Wajak dari Jawa datang ke Jepang 20.000 tahun yang lalu. Tetapi karena dahulu belum ada peta, tentu saja mereka tidak langsung datang di Jepang. Pada zaman Jomon (zaman sesudah zaman batu, selama 10.000 tahun dari 12.000 sampai 2.300 tahun yang lalu), mereka menyeberangi lautan menggunakan sampan yang dibuat dengan cara melubangi bagian dalam pohon yang besar,” kata Fujita.

Fujita memang seorang peneliti yang tekun. Saat menjemput penulis yang mengikuti sebuah seminar tentang media di Nihon Shimbun Kyokai di Tokyo pada Maret 2002,  Fujita menunjukkan naskah bukunya hampir selesai untuk dikirimkan ke penerbit. Dan awal 2005, Fujita mengirimi penulis buku hasil penelitiannya yang telah terbit: “Butsuryuu riron ga Joumon no joushiki wo kutsugaesu – Shakouki doguu wa Indo bunka no ibutsu.”

Tak Ada Petunjuk Lokasi

Sejarah orang-orang Suku Wajak di Tulungagung jelas sangat menarik untuk terus diteliti. Masih terlalu sedikit tulisan-tulisan yang mengungkapkan kehidupan kelompok manusia purba di Jawa tersebut.

Harapan bakal berlanjutnya penelitian-penelitian tentang Homo Wajakensis tersebut tentunya diletakkan pada generasi masa kini. Terutama adalah para peneliti muda. Tetapi siapakah yang tertarik? Siapa pula yang peduli untuk membuka akses dan dorongan bagi penelitian-penelitian di masa mendatang?

Pihak Pemerintah Daerah Tulungagung sendiri dikabarkan kurang peduli pada hal-hal yang menyangkut sejarah leluhur bangsanya, yang bahkan telah membuat daerahnya sangat terkenal di dunia.

TEMPO Interaktif melaporkan 22 Oktober 2910, Ketua Tim Kajian Sejarah Sosial dan Budaya Tulungagung Triyono mengungkapkan, masyarakat Tulungagung sendiri umumnya tidak tahu lokasi penemuan fosil manusia purba Homo Wajakensis. Lokasi tersebut diduga telah rusak akibat pembangunan pemukiman penduduk.

Sejarawan tersebut juga mengatakan, masyarakat hanya mengetahui bahwa jejak-jejak peradaban purba itu ditemukan di Desa Cerme, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. “Tak ada petunjuk sama sekali,” kata Triyono  kepada Tempo.

Mantan Kepala Bidang Sejarah Dinas Pariwisata Tulungagung, Nurcholis, yang pernah melakukan riset atas benda-benda cagar budaya menyampaikan hal yang sama. Beberapa kali usulannya untuk melakukan riset dan penelusuran sejarah ditolak Bupati Tulungagung Heru Nugroho. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat juga idem ditto. “Buat apa mengurusi masa lalu, yang penting bagaimana mengelola masa depan,” kata Nurcholis menirukan penolakan DPRD.

Menurut dia, lokasi penemuan fosil tersebut kini telah berubah menjadi permukiman penduduk. Bangunan yang didirikan secara sporadis itu telah menutupi sejarah penemuan manusia purba dan menyulitkan upaya eskavasi. “Harus menggusur semua rumah lebih dulu,” katanya.

Sangi Wirizia, seorang guru di SMPN 2 Gondang, Tulungagung, mengaku dirinya tidak tahu banyak tentang manusia purba di daerahnya. Sangi mengatakan, terakhir kali membaca tulisan tentang Homo Wajakensis saat masih sekolah di tingkat SMP. Tulisan itu dibacanya di buku sejarah tentang penemuan fosil-fosil manusia purba, di antaranya fosil yang ditemukan di daerah Wajak, Tulungagung.

“Setelah itu tak pernah lagi membacanya, baik di buku maupun media cetak seperti suratkabar dan majalah,” kata Sangi sambil tertawa.

“Di daerah Wajak Kidul maupun Wajak Lor di Tulungagung, juga tak ada petunjuk di mana dulu fosil Homo Wajakensis ditemukan,” tambahnya. (*)
 
Djoko Pitono, adalah veteran jurnalis dan peminat bahasa-bahasa asing.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda