Donald Trump: Si Jago Manipulasi Media

Foto dan desaign: CoWasJP

COWASJP.COMKalau kita mengerti mekanisme dan motif-motif pikiran kelompok tertentu, maka kita akan dapat mengontrol dan mengarahkan massa menurut keinginan kita tanpa mereka mengetahuinya 

- Edward L. Bernays-

ORANG-ORANG sejagat masih terheran-heran, sebagian bahkan terguncang, akibat kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat. Ribuan orang Amerika sendiri melakukan demo anti Trump di berbagai kota AS. Sebagian warga AS bahkan siap minggat alias beremigrasi ke Kanada karena emoh memiliki Donald Trump sebagai Presiden AS. Bagaimana Trump bisa menang?

Bagaimana Hillary Clinton yang diramalkan hampir semua jajak pendapat bakal menang justru kalah?

Tetapi bagi sebagian pengamat media, kemenangan Trump bukan sesuatu yang aneh. Dengan kata lain, kemenangan itu adalah sesuatu yang wajar. Salah satu pakar media, Mary Kate Cary, Editor Khusus The U.S. News of World Reports, menulis dua hari sebelum Pemilu AS bahwa dirinya melihat sesuatu kenyataan dalam pers Amerika tentang kehebatan Trump dalam memanipulasi media. Ya, Trump adalah jago memanipulasi media. Bukan baru beberapa waktu selama kampanye pemilu kepresidenan AS, tetapi sejak lama dia bergelut dengan media massa.

Dalam tulisannya, The Master of Manipulation pada 6 November 2016,  Mary Kate Cary menggarisbawahi bagaimana pers terus-menerus menulis tentang pernyataan Donald Trump. Semua laporan yang gratis tersebut itulah yang membuat kampanye dirinya terus berlangsung tanpa dia harus mengeluarkan uang.

Satu ketika Trump mengatakan: 'Thank you. It's great to be here at 'Saturday Night Live' but – I'll be completely honest – it's even better for 'Saturday Night Live' that I'm here. Nobody's bigger than me. Nobody's better than me. I'm a ratings machine!"

(Terima kasih. Saya sangat senang di sini dalam acara Saturday Night Live tetapi saya harus benar-benar jujur –bahkan ini lebih baik bagi Saturday Night Live bahwa saya di sini. Tak ada yang lebih besar dibanding saya. Tak ada yang lebih baik dibanding saya. Saya adalah mesin rating [televisi).

Pernyataan di atas bukanlah bocoran draft naskah monolog Trump di acara Saturday Night Live di akhir pekan lalu. Transkrip itu sudah dipakai terakhir kali tampil sebagai hist SNL pada tahun 2004. Pada saat itu, Trump sudah omong besar di acara yang dipandunya, The Apprentice.  Dia pun melanjutkan, “Di mana setelah satu musim, saya akan menjadi bintang televisi yang paling tinggi bayarannya di Amerika! Dan seperti setiap orang di ruang ini tahu, bayaran tertinggi berarti terbaik, oke?”

donald-trumpsalonOZs1x.jpg

Donald Trump dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat. (Foto: salon)

Apa yang menarik, tulis Mary Kate Cary, hal itu benar belaka. Monolog tersebut terasa benar karena NBC masih percaya bahwa Donald Trump adalah mesin penentu rating televisi Amerika. Dalam bukunya yang terbit 1987, The Art of the Deal, Trump pun mengatakan:

“Satu hal yang saya pelajari tentang pers adalah bahwa mereka selalu lapar untuk memperoleh berita yang bagus dan akan lebih baik sensasional... Jika Anda sedikit berbeda, atau sedikit kurang ajar, atau jika Anda melakukan hal-hal yang berani atau kontroversial, pers akan terus menulis tentang Anda.”

Tahun ini di saat kampanye, Trump meraup liputan 43 persen di antara calon-calon Partai Republik, demikian menurut analisis siaran Tyndall Report. Ketika Trump mengeluarkan kata-kata yang menyerang para pahlawan perang AS, kaum perempun, para imigran, para sesama calon presiden, anggota Kongres dan bahkan menyerang media, semua media melaporkannya. Semua terjebak. “Dia menjadi jago menipulasi,” tulis Mary Kate Cary, yang pernah menjadi penulis pidato Presiden George Bush.

Kata yang lebih halus untuk Donald Trump adalah seorang ahli political public relation. Dia jelas belajar dari Edward L. Bernays, tapi dengan cara baru yang lebih kreatif.

(Dalam batas tertentu, mungkin Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama, juga belajar seperti Trump. Kata-katanya yang sering kontroversial boleh jadi disengaja untuk menarik perhatian khalayak. Tapi hal itu tidak dibahas di sini.Pen).

Untuk lebih memahami arti pentingnyapublic relations (PR), kita bisa menengok sedikit ke belakang pada sejarahnya. Ini bisa kita lakukan dengan mencermati kehidupan salah satu tokoh utamanya, Edward L. Bernays. Inilah tokoh yang disebut sebagai “The Father of Public Relations”. Di luar dunia PR, ia mungkin tidak dikenal. Padahal Bernays adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh di abad ke-20. Tentang hal ini, kita dapat dibaca buku karya Larry Tie, “The Father of Spin: Edward L. Bernays &The Birth of Public Relations.”

Para pengamat PR sepakat bahwa tidak mungkin memahami secara mendasar perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam 100 tahun terakhir ini tanpa punya pemahaman sama sekali tentang Bernays dan kiprah profesionalnya dalam industri tersebut. PR adalah fenomena abad ke-20 dan Bernays – meninggal pada 1995 – memainkan peran besar dalam mendifinisikan filosofi dan metoda-metoda industri

Di tangan Bernays, iklan-iklan berbagai perusahaan di Amerika seolah jadi penyihir massa. Adalah Bernays, misalnya, yang telah membuat perubahan sosial yang besar dalam industri rokok. Dengan teknik pemintalan kata-kata dan gambar film tentang ratusan wanita yang sedang merokok, penjualan rokok di Amerika melambung tinggi. Para wanita pun seolah tersihir untuk merokok.

Dalam industri yang terkenal atas kelihaiannya dalam menghindar dan eufemisme,  Bernays dikenal karena keterusterangannya. Ia memang seorang tukang propaganda. Dania sangat bangga. Buku karya awalnya, Propaganda, bahkan digunakan oleh tokoh Nazi Joseph Goebbels untuk membantunya “merekayasa” bangkitnya Kekaisaran Ketiga di Jerman. Hal itu ikut berperan dalam memberikan konotasi kotor pada upaya propaganda. Namun dalam sebuah wawancara, Bernays mengatakan bahwa apa yang dilakukannya memang propaganda dan ia pun “berharap hal itu adalah ‘proper-ganda’ dan bukan ‘improper-ganda.’”

Kehidupan Bernays dalam banyak hal memang sangat menarik. Ia banyak berperan dalam merancang berbagai iklan komersial pada abad ke-20. Hingga sekarang pun, teknik-teknik yang dikembangkannya telah menjadi bahan pelajaran bagi praktisi humas kampanye politik dan  pengembangan citra secara umum.

Para konsultan media yang membantu pencitraan Barack Obama atau John McCain dalam kampanye pemilu presiden di Amerika Serikatsekarang ini sudah pasti belajar teori-teori Bernays.Demikian juga Rizal Mallarangeng, yang juga dikenal sebagai konsultan media. Kita memang harus mengerti Bernays jika kita ingin mengetahui bagaimana Hill dan Knowlton merancang strategi humas sebelum serangan militer Amerika ke Irak.

Demikian juga bila kita ingin tahun bagaimana citra Richard Nixon dapat pulih usai Skandal Watergate dan bahkan dimakamkan dengan upacara kenegaraan yang megah ketika meninggal. Bagaimana pula Richard Morris mencitrakan Presiden Bill Clinton sebagai ideolog tengah untuk bisa terpilih dalam masa jabatan kedua pada 1988. Dan bagaimana keajaiban-keajaiban public relations di zaman modern dipersiapkan dan dijalankan.

Bernays sebenarnya masih ada hubungan kerabat dengan Sigmund Freud. Ia adalah keponakan “BapakPsikoanalisis” keturunan Yahudi itu. Dalam mempromosikan dirinya,

Bernays memanfaatkan reputasi pamannya itu. Iamemandang pamannya sebagai mentornya dan menggunakan pandangan-pandangannya untuk mendalami jiwa manusia dan motivasinya guna mendesain upaya public relations.

Namun meskipun demikian, ada perbedaan besar antara keduanya. Temuan-temuan Freud dirancang untuk mengungkapkan dorongan-dorongan ketidaksadaran dan motif-motif pasiennya, dengan keyakinan bahwa membawa mereka masuk ke diskursus sadar akan membantu manusia hidup lebih sehat. Sedang Bernays menggunakan teknik-teknik psikologi untuk menutupi motif-motif kliennya, sebagai bagian strategi untuk membuat publik tidak sadar atas adanya kekuatan yang sedang mengarahkan pikiran-pikirannya.

Secara khusus lagi, Bernays bahkan terang-terangan berbicara tentang temuannya. “Kalau kita mengerti mekanisme dan motif-motif pikiran kelompok tertentu, maka kini mungkinlah untuk mengontrol dan mengarahkan massa menurut keinginan kita tanpa mereka mengetahuinya,” begitu tulis Bernays dalam karya awalnya, Propaganda. Dalam sebuah buku lainnya, ia menggunakan istilah “engineering of consent” (rekayasa persetujuan) untuk melukiskan tekniknya dalam mengontrol massa.

Bernays mengajarkan, manipulasi secara sadar dan cerdas dari kebiasan-kebiasaan terorganisasi dan opini massa adalah elemen penting dalam masyarakat demokratis. Ia pun menegaskan, mereka yang memanipulasi mekanisme tak terlihat dari masyarakat ini sama dengan suatu pemerintahan tak terlihat yang sebenarnya berkuasa di negeri kita.

“Dalam hampir setiap tindakan dalam kehidupan kita, apakah dalam bidang politik atau bisnis, dalam kegiatan sosial kita atau pemikiran etis kita, kita didominasi oleh sejumlah orang yang relatif kecil…yang memahami proses-proses mental dan ciri-ciri sosial dari massa. Adalah mereka yang menarik tali-tali yang mengontrol pikiran publik,” kata Bernays.

Suka atau tidak, itulah  “kedahsyatan”temuan Bernays. Dan Donald Trump adalah si jago baru setelah Bernays. Dia mempraktikkannya dan menang untuk duduk di kursi Gedung Putih.

Cuma sekarang banyak orang baru akan mempelajarinya. (*)
 
Penulis Djoko Pitono, veteran jurnalis dan editor buku.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda