Memahami Rohingya dengan Cerdas

Foto-foto: Andi Atthira

COWASJP.COM – ockquote>

andi-pengantarB1aus.jpg

JIKA saja konflik Rohingya adalah masalah agama, mungkin semua kota di Myanmar akan terjadi hal serupa dengan peristiwa di Rakhine. Mereka akan mengusir dan membantai semua Muslim dari negerinya. Tapi yang gue liat dengan mata kepala sendiri, selama dua kali gue ke Myanmar, termasuk ke beberapa kota; Yangon (Rangoon), Mandalay, Bagan sampai ke Thaton, perbatasan Barat Daya Thailand, kehidupan sosial dan beragama disana sangat baik. Bikhu dan orang orang Budha bertetangga dan berjalan beriringan dengan orang orang Muslim yang bersarung seperti di Indonesia, adalah pemandangan biasa.

Masjid dan kuil kuil Budha berdampingan terlihat banyak disana, apalagi di Yangoon, ibukota negara ini. Bagaimana pun juga, Islam adalah agama terbesar kedua di Myanmar setelah Budhism. Tidak pernah ada konflik agama di luar Rakhine. Di Myanmar, Adzan 5 waktu sehari bisa kita dengarkan dengan mudah, tidak ada larangan memperdengarkan adzan keluar masjid seperti di Vietnam.

Meskipun suaranya tidak segencar di Indonesia.

Lantas kenapa konflik di Rakhine tidak pernah berkesudahan ? Perlu dipahami bahwa sejak dulu Rakhine memang wilayah konflik. Banyak pemberontak Muslim disana. Selain masalah ekonomi, ada juga sejarah panjang kehadiran orang orang Rohingya, sejak penjajahan Inggris di Asia Selatan, India, Paskitan, Bangladesh dan Myanmar, yang melahirkan orang orang tidak bertanah. Konflik perbatasan dan perebutan wilayah, sebelum akhirnya Myanmar diakui sebagai pemilik sah tanah Rakhine, menjadi penyebab pertama munculnya konflik disana.

Orang orang Rohingya yang kebetulan Muslim adalah bagian dari pengungsi pengusi Bengali akibat peperangan panjang saat kolonial Inggris. Mereka berasal dari Asia Selatan. Namun kemudian, orang orang Rohingya membentuk wilayah di Rakhine, dan hampir bersamaan dengan itu lahir juga pasukan pasukan pemberontak yang menuntut pengakuan bahkan kemerdekaan, seperti yang dilakukan GAM dulu di Aceh atau RMS di jaman Belanda atau Pemberontak Papua Merdeka di Papua.

Ketika Pakistan dan India terpisah, dan Bangladesh secara administratif menjadi sebuah negara, orang orang Rohingya ini tidak kembali ke wilayah asalnya. Mereka tetap memilih berada di pengungsian. Oleh negara Burma (saat ini Myanmar) mereka tidak diakui sebagai warga negara, alias menempati negeri mereka dgn tidak sah. Kita pemilik Paspor Indonesia, jika kabur ke luar negeri dalam kurun waktu tertentu, maka hak kewarganeraan kita bisa hilang secara hukum.

yangonWOzNu.jpg

Konflik Rakhine mungkin bisa kita contohkan seperti ini. Andai saja dulu pengunsi perang Vietnam di Barelang tidak kembali ke negaranya, kemudian membentuk wilayah sendiri di Batam, maka pasukan Indonesia akan mengusir mereka secara paksa, apalagi jika mereka sudah membentuk pasukan pemberontak, dan menuntut Batam menjadi tanah mereka. Kebetulan pengungsi Vietnam itu Komunis, sama seperti orang Rohingya itu kebetulan Muslim.

Yang saya pahami kurang lebih seperti itu. Lalu kenapa Muslim di Myanmar diam saja saat saudaranya di Rakhine ‘dibantai’ ? Itu karena mereka lebih paham, sama seperti kita paham GAM saat dihabisi oleh NKRI, padahal GAM kan saudara kita juga. Itu kalau kita melihat konflik hanya berdasarkan sepaham dan sesaudara.

Orang orang Rohingya seperti umumnnya orang orang Asia Selatan sangat terbiasa dengan konflik perebutan wilayah. Dalam sejarahnya, Bangladesh terbentuk dari konflik dengan tetangganya Pakistan dan India. Pakistan lahir dari perebutan wilayah dengan India dan Bangladesh. Yang sampai saat ini belum tuntas adalah Kashmir yang sama sama diklaim oleh Pakistan dan India, hingga muncullah dua Kashmir, satu di India dan satu di Wilayah Pakistan. Itu adalah wilayah konflik yang bisa saja menjadi bom atom di masa mendatang.

Tapi yang kita kecam dari masalah di Rakhine adalah cara cara keji yang dilakukan Militer Myanmar yang memang diluar akal sehat dan warga sipil banyak menjadi korban. Itu yang bikin orang mendidih dan naik darah, belum lagi ditambah embel embel sesaudara dan dibumbui dengan gambar gambar Hoax. Dalam kondisi konflik, kasus seperti di Rakhine bisa terjadi dimana saja.

Tidak usah jauh jauh, saat kerusuhan di Jakarta 1998, banyak oknum yang diduga membunuh, membantai, membakar bahkan memperkosa perempuan perempuan keturunan Tionghoa. Kalau soal isu terakhir ini sih, saya kebetulan wartawan yang bertugas di jaman kerusuhan itu, jadi sedikit banyak saya tahu daripada yang sekadar mendengarkan, katanya. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda