COWASJP.COM – Pariwisata dunia terus bergerak, mencari bentuk yang lebih inklusif, aman, dan berkelanjutan. Dua konsep yang kerap diperbincangkan dalam lanskap pariwisata Indonesia adalah CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environment Sustainability) dan Pariwisata Halal.
***
DI permukaan, keduanya terlihat sebagai dua agenda berbeda. CHSE lahir sebagai respons terhadap kebutuhan pascapandemi, sedangkan pariwisata halal tumbuh dari kesadaran akan kebutuhan wisatawan Muslim. Namun, jika dilihat lebih dalam, keduanya memiliki titik temu yang kuat: membangun kepercayaan, kenyamanan, dan keberlanjutan.
CHSE : Standar Lintas Segmen
Program CHSE yang dicanangkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif waktu itu, menjadi tonggak penting dalam mengembalikan kepercayaan wisatawan. Prinsip kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan bukan hanya memenuhi protokol pascapandemi, tetapi juga menjadi nilai universal yang diapresiasi wisatawan global.
CHSE mengatur hal-hal seperti kebersihan fasilitas destinasi, prosedur higienis, kesiapan menghadapi keadaan darurat, dan komitmen pada lingkungan. Pelaku usaha pariwisata dan Destinasi yang telah melalui serangkaian verifikasi mendapatkan sertifikat CHSE.
BACA JUGA: Tak hanya Menulis Kisah, AQUA Menjadikannya Nyata dalam Laku Hidupnya
Dengan sertifikasi CHSE, destinasi dan pelaku usaha pariwisata dapat memberikan jaminan bahwa pengalaman wisata yang ditawarkan aman dan bertanggung jawab. Standar ini sifatnya inklusif: siapa pun, tanpa memandang latar belakang agama atau budaya, dapat merasakan manfaatnya.
Reinterpretasi Pariwisata Halal
Pariwisata halal sering disalahartikan semata-mata sebagai wisata religi atau hanya untuk wisatawan Muslim. Padahal, pariwisata halal pada hakikatnya adalah pendekatan layanan wisata yang memperhatikan kebutuhan wisatawan Muslim, seperti ketersediaan makanan halal, fasilitas ibadah, dan informasi yang jelas mengenai layanan yang sesuai syariat.
Namun, di tingkat global, konsep ini berkembang menjadi Muslim-friendly tourism – pariwisata ramah muslim-- yang tidak eksklusif, tetapi ramah untuk semua. Prinsip-prinsipnya, seperti kebersihan, etika pelayanan, kejujuran informasi, dan keamanan, yang sejatinya selaras dengan nilai universal yang juga diusung CHSE.
BACA JUGA: Festival Makanan Indonesia di Toronto Diserbu Warga Kanada
Di sinilah reinterpretasi dibutuhkan. Pariwisata halal sebaiknya tidak dilihat sebagai "label eksklusif" yang membatasi pasar, melainkan sebagai kerangka layanan berkualitas tinggi yang kebetulan memenuhi standar syariah. Fokusnya bukan semata menonjolkan identitas agama, tetapi pada kualitas pengalaman.
Kebersihan dan keamanan (cleanliness and safety), sama pentingnya bagi Muslim maupun non-Muslim. Layanan etis dan ramah, sesuai ajaran Islam, namun juga menjadi etika universal. Sedangkan keberlanjutan (environment sustainability), menghindari praktik yang merusak alam, sesuai prinsip khalifah fil ardh (pemelihara bumi).
Dengan reinterpretasi ini, pariwisata halal dapat bertransformasi menjadi produk yang lebih inklusif, relevan untuk pasar global, dan tidak menimbulkan resistensi akibat kesalahpahaman terminologi.
Sinergi CHSE dan Pariwisata Halal
Menggabungkan CHSE dengan prinsip pariwisata halal akan menghasilkan standar ganda yang saling menguatkan. CHSE memberi legitimasi dan rasa aman secara universal, sementara pariwisata halal menambahkan sentuhan nilai dan pelayanan yang memperhatikan segmen pasar terbesar dunia: wisatawan Muslim. Jumlahnya diproyeksikan mencapai 245 juta pada 2030 (data Global Muslim Travel Index).
Bayangkan sebuah destinasi pantai di Yogyakarta yang bersertifikat CHSE: area bersih, staf terlatih menghadapi situasi darurat, limbah terkelola dengan baik. Di saat yang sama, restoran di sekitar pantai menyediakan makanan halal, ada mushola yang terawat, dan informasi jelas bagi wisatawan Muslim. Wisatawan non-Muslim pun akan tetap nyaman, karena seluruh layanan tersebut tidak mengurangi kualitas pengalaman mereka.
Narasi Baru
Reinterpretasi pariwisata halal yang berpadu dengan CHSE membutuhkan narasi baru dalam pemasaran. Promosi tidak boleh hanya fokus pada “label halal” yang bisa membatasi persepsi. Tetapi juga harus fokus pada cerita tentang destinasi yang bersih, aman, ramah, dan bertanggung jawab, dengan layanan yang memenuhi kebutuhan semua segmen.
Indonesia punya modal kuat: keragaman budaya, potensi alam luar biasa, dan posisi strategis di pasar wisata Muslim global. CHSE menjadi pintu untuk membangun kredibilitas di mata dunia, sementara pariwisata halal yang direinterpretasi menjadi jembatan untuk meraih pasar yang lebih luas.
CHSE dan pariwisata halal bukanlah dua jalan yang terpisah. Keduanya dapat menjadi poros ganda yang mengangkat pariwisata Indonesia menjadi lebih kompetitif, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan reinterpretasi yang tepat, pariwisata halal dapat melebur dalam standar CHSE, menghadirkan destinasi yang tidak hanya ramah bagi Muslim, tetapi juga memikat wisatawan dari seluruh dunia.*
Erwan Widyarto, Wakil Ketua DPD GIPI DIY dari unsur Perhimpunan Pariwisata Halal Indnesia (PPHI).