Uneg-Uneg Mantan Karyawan Jawa Pos (3)

Mencari Pahlawan Bernama Dahlan Iskan

Foto: Istimewa

COWASJP.COMSEKITAR 2 minggu menjelang hari ulangtahun saya yang ke-55, saya menerima kabar via WA dari Mbak Minar, panggilan akrab Atminarimah, mantan staf percetakan Jawa Pos era Kembang Jepun dan Karah Agung.

Intinya, saya ditanya sejak kapan hingga tahun berapa saya bergabung dengan Jawa Pos. Saya mencoba mengingat-ingat, kapan saya mengundurkan diri dari Jawa Pos. Oh, ya.... sekitar awal tahun 2.000-an.

Saya memang sengaja melupakan masa bakti saya di Jawa Pos. Bagi saya, bekerja di Jawa Pos sangat sarat dengan memori manis. Paling tidak dalam membentuk jiwa kepemimpinan, etos kerja, dan kemampuan menjebol target yang telah dicanangkan.

Bahkan, gara-gara menerima tawaran Zainal Muttaqin --Koordinator Halaman Olahraga Jawa Pos yang kemudian saya kenal sebagai orang kepercayaan Bos Jawa Pos, Dahlan Iskan-- untuk bergabung dengan Jawa Pos pada pertengahan tahun 1988, saya terpaksa menghentikan kuliah saya di semester 5 Fakultas Kedokteran Umum Universita Wijaya Kusuma (Surabaya), dan Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus Surabaya.

Jadi, saya sengaja melupakan masa, kapan kali terakhir mengabdi di perusahaan pers tingkat nasional itu. Saya punya tujuan khusus terkait hal ini, yakni agar etos hidup --khususnya dalam bekerja-- senantiasa tetap menyala terang-benderang, selama saya mengemban amanah dalam bekerja di mana pun. 

BACA JUGA: Menanggapi Keluhan Para Pensiunan Jawa Pos Era Kembang Jepun dan Karah Agung​

"Saya dulu pernah menjadi 'Komando Pasukan Khusus'-nya Jawa Pos. Jadi, saya tidak akan pernah berkecil nyali, kalau bekerja apa pun. Semuanya terlalu kecil untuk dibandingkan dengan berkarier di Jawa Pos," begitulah doktrin yang selalu saya tanamkan di hati saya, hingga saat ini.

Salah satu wujud keberhasilan saya selama ditugaskan Jawa Pos adalah ketika menahkodai Tabloid Nyata. Ketika saya 'ditendang' Bos Nani Wijaya ke Jakarta tanpa alasan yang jelas sehingga saya nyaris tanpa job berkantor di Jalan Prapanca Raya 40, Jakarta Selatan, oplah Nyata sudah 86 ribu eksemplar per minggunya. Padahal, sebelumnya Nyata tidak pernah dilirik staf percetakan Jawa Pos. Tak ada yang bersedia membawa Nyata pulang, meskipun diberikan secara gratis. 

taufik1.jpgMoch. Taufiq (penulis) di depan Rumah Makan Kikil Suroboyo - nya di Palembang. Taufiq memang punya bakat bisnis dan ulet sejak masa muda dulu. (FOTO: Dok. Moch. Taufiq)

Namun, seiring waktu Nyata selalu ditunggu semua divisi Jawa Pos, untuk dimiliki, atau dibawa pulang. Di sisi lain, agen koran dan majalah, khususnya di Jawa Timur dan Indonesia bagian Timur, selalu berebut untuk mendapatkan Nyata sesegera mungkin. 

Ketika memimpin Redaksi Liberty di Jalan Pahlawan, omset iklan dan majalah juga meningkat tajam. Begitu pula saat saya diminta Dahlan Iskan untuk memberikan supervisi selama setahun di Tabloid Wanita Indonesia milik Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) di Jakarta.

PERAN DAHLAN ISKAN

Saya mengakui, Dahlan Iskan adalah sosok ke-2 yang menginspirasi saya menjadi jurnalis yang baik. Saya sengaja tidak menulis 'jurnalis yang hebat', sebab saya merasa tidak pernah menjadi wartawan yang hebat. Namun, saya selalu ngotot untuk menjadi wartawan yang baik, khususnya jika diberi tugas oleh Jawa Pos.

Sosok pertama yang menjadi inspirasi saya adalah almarhum Arswendo Atmowiloto dengan Tabloid 'Lher' Monitor-nya.

Menurut saya, kedua orang itu adalah sosok jenius di bisnis pers Indonesia. Lebih-lebih Dahlan Iskan. Apalagi saya nyaris melihat sepak-terjangnya langsung dalam mengendalikan Jawa Pos dan seluruh anak perusahaannya.

Namun sehebat-hebatnya Dahlan Iskan yang selama ini saya ketahui, saya beranggapan era keemasannya sudah berakhir sejak beberapa tahun terakhir ini. Termasuk kegagalannya dalam mengelola  perusahaan pers bernama Dis'way, dan memilih anaknya, Azrul Ananda, sebagai nahkoda Harian Pagi Jawa Pos hingga beberapa tahun itu, sebelum akhirnya Harian Pagi Jawa Pos dikuasai oleh Goenawan Mohamad dan kawan-kawannya dari Jakarta.

BACA JUGA: Harap Harap Cemas Deviden​

Di mata saya, Dahlan Iskan kurang mampu lagi mencerna, mana yang wajib, sunnah, dan haram untuk dilakukan. Tentu saja tidak di  setiap langkah hidupnya  Dahlan Iskan menemui kegagalan, sehingga sampai sekarang pun namanya masih beraroma wangi.

Namun, dalam kasus 'Warisan Jawa Pos'  yang berupa pembagian deviden Jawa Pos, dan 20 persen saham karyawan yang justru dibagi-bagikan kepada direksi tanpa kompromi dan persetujuan dengan para karyawan,  Dahlan juga tidak memainkan peranannya secara benar. Itulah sebabnya lebih dari 300 orang mantan karyawan Jawa Pos,  saat ini tengah mempersoalkannya. Akhir-akhir ini mereka --tanpa setahu pengurus Yayasan Pena Jepe Sejahtera yang menaungi ratusan orang mantan karyawan Jawa Pos itu-- makin intensif melakukan sebuah gerakan agar 'Warisan Jawa Pos' benar-benar mereka terima secara benar. Apa pun caranya, dan kapan pun waktunya.

taufik1.jpg2.jpgTaufiq di kamar rumahnya yang terbilang apik di Palembang. (FOTO: Moch. Taufiq)

Saya telah mendengar kabar adanya pendekatan dengan seorang pengacara top di Jakarta, dan praktisi hukum yang memiliki akun YouTube terkenal, sebagai opsi khusus untuk mendampingi mereka agar memenangkan perkara itu.

Saya banyak terlibat diskusi dengan mereka. Pada prinsipnya mereka hanya menuntut, kapan Dahlan Iskan merealisasikan secara nyata semua milik mantan karyawan itu. Baik deviden yang sekian tahun tertahan pembagiannya --sesuai pengakuan Dahlan Iskan ketika memanggil beberapa orang karyawan senior Jawa Pos sebelum mendirikan Yayasan Pena Jepe Sejahtera-- dan saham yang pada akhirnya menjadi bahan bancakan direksi Jawa Pos.

BACA JUGA: Seperti Apakah Nasib Pensiunan Harian Kompas?​

Dan, saya sangat sependapat dengan opini mereka. Bahwa Pak Bos --demikian saya biasa memanggil Dahlan Iskan-- adalah orang yang paling bertanggungjawab dalam kasus ini. Dia yang menyalakan apinya --sehingga melahirkan keresahan hati yang dahsyat dalam beberapa bulan terakhir ini bagi ratusan orang mantan karyawan Jawa Pos-- Dahlan pula yang seharusnya mematikan api tersebut.

Saya sempat mendengar selentingan, bahwa sesungguhnya ada skenario khusus oleh Pak Bos terkait pendirian Yayasan Pena Jepe Sejahtera yang berkantor di kawasan Ketintang, Surabaya. Intinya, Pak Bos hanya memperalat yayasan saja untuk mendapatkan hak-haknya di Jawa Pos yang selama ini 'hilang', pasca Pak Bos didepak dari elite manajemen Jawa Pos. 

Di sisi lain saya juga mendengar informasi, bahwa pendirian yayasan berikut pencairan deviden, dan pengembalian saham 'bancakan', murni hasil dari keinginan hati Pak Bos, sebelum Allah SWT mencabut nyawanya. Maksudnya, agar Pak Bos kelak meninggal dalam kondisi khusnul kotimah, karena tidak terbebani oleh utang tanggungjawab  mengenai deviden dan saham tadi.

Jadi, saya sekarang memang tengah menunggu sikap jantan Pak Bos. Hal nyata yang bisa dilakukannya adalah dengan mengajak pengurus yayasan dan tim yang telah ditunjuk, untuk menemui direksi Jawa Pos. Bukan hanya menyerahkan masalah tersebut kepada pengacara belaka. Agar semuanya menjadi terang-benderang. Agar tidak menjadi bola liar dan fitnah. Apalagi menjadi bumerang bagi Pak Bos dan seluruh keluarganya.

Terus-terang, saya sudah terlalu sering mendengar keluhan dari mantan karyawan Jawa Pos itu. "Apakah Pak Dahlan tahu kondisi hampir semua mantan pegawainya yang kini hidup dalam ekonomi pas-pasan, ya Taufiq?"

"Pasti Pak Bos tahu," demikian jawaban saya.

"Kok, kamu bisa menjawab seperti itu?" tanyanya lagi.

"Karena isi obrolan di WA Grup Cowas (Konco Lawas Jawa Pos, red) diikuti juga oleh orang-orang yang memilih hidup-matinya tetap bersama Pak Bos," jawab saya. "Tentu di antara mereka ada yang menginformasikannya ke Pak Bos," lanjut saya.

Tiba-tiba saya teringat kembali kepada Mbak Minar yang namanya saya sebut di awal tulisan ini. Saya tahu persis, dia telah merelakan uang beberapa juta rupiah untuk membeli materai, dan kebutuhan logistik perut selama pendataan identitas mutakhir dan pendaftaran menjadi anggota Yayasan Pena Jepe Sejahtera. 

Dia tak ingin uangnya itu kembali ke dalam dompetnya. Namun Mbak Minar hanya ingin kebenaran selalu ditegakkan. "Kalau memang masih ada hak kami selaku mantan karyawan Jawa Pos, maka sudah sepantasnya kami mendapatkan hak itu," tuturnya kepada saya.

Saya sangat sependapat dengan Mbak Minar. Bahkan saya berharap kali ini Pak Bos menjadi pahlawan bagi kami. Agar langkah hidup kami, direksi Jawa Pos, dan Pak Bos sekeluarga, menjadi ringan. Tidak terbebani problem masa lalu, demi mengisi masa depan yang lebih cerah.

Lebih-lebih Jawa Pos pernah membikin sebuah komitmen tertulis yang tertuang dalam Kode Tata Laku Jawa Pos Group. Dokumen ini ditanda-tangani seluruh petinggi Jawa Pos di Surabaya pada 3 Januari 2018, termasuk oleh Ir Edmund Eddy Sutisna selaku Komisaris Utama. Bahwa Jawa Pos mencapai tujuan perusahaan secara benar dengan cara yang benar pula. Bahwa Jawa Pos juga memberikan imbalan sepadan bagi pemegang saham, karyawan, dan stakeholders lain.

Nah, kurang apa lagi?(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda