Laporan dan Swiss (18)

Pertemuan Dua Sungai Beda Warna dan Batu Bersinar di Kegelapan

Restoran Halal ala Maroko di Geneva. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

COWASJP.COMApa yang ada di benak Anda ketika disebut nama kota Geneva Swiss? Kota Metropolitan Internasional, mewah dan wah tentu. Ya semua pasti begitu yang dipahami.

***

Di Geneva bermukim 200 Kantor Pusat Lembaga Internasional. Dalam satu tahun tergelar ribuan kali rapat internasional di Geneva. 

Geneva salah satu kota yang penghasilan per kapita penduduknya tertinggi di dunia. Zurich kalah, tapi kemahalan biaya hidup masih tinggi Zurich. 

Geneva.jpgSungai Rhone warnanya biru gelap tapi bening. Sungai Arve berwarna putih susu. (FOTO: Google)

Kami sudah menjadi warga “Resident Permit” Swiss. Zurich dan Geneva kota terbesar kesatu dan kedua di Swiss. Juga Kota Bern. Wajah dan warna  kotanya sama. Tertata rapi dan bersih. Perpaduan bangunan klasik Romawi dan modern. 

BACA JUGA: Varian Omicron Merebak, Uni Eropa Ketat Kembali​

Geneva atau Jenewa (dalam Bahasa Indonesia) dengan  jumlah penduduk sebanyak 177.500 jiwa dan luas kotanya hanya 20 km2 dikenal sebagai pusat diplomasi dengan banyaknya badan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).

Dari Lausanne hanya berjarak 63 kilometer dan bisa ditempuh dengan kereta selama 50 menit. Tidak sampai 1 jam sudah sampai Geneva. Waktu tempuhnya sama dengan berangkat kerja  saya yang sehari-hari PP (Pulang-Pergi) Surabaya-Gresik untuk mengajar di kampus Universitas Internasional Semen Indonesia, atau suamiku yang tiap hari PP Surabaya – Pandaan untuk kerja di Philip Morris -- Sampoerna. 

Kali ini kami berangkat santai. Rute kereta Lausanne-Geneva tersedia banyak opsi, hampir setiap 15 menit ada keberangkatan kereta. 

Geneva-2.jpgBroken Chair Geneva. (FOTO: Fariz Hidayat)

Pada pukul 09.30 CET (Central European Time) kami berangkat menuju Lausanne Gare atau Stasiun KA Lausanne. Kereta kami IR90 dengan tujuan Bandara Geneva yang berangkat pada pukul 09.58. Kami menemukan kereta yang beda lagi. Kereta ini dilengkapi Gerbong Anak. Yang di satu gerbongnya dilengkapi tempat mainan anak. Zirco senang sekali dan puas bermain perosotan kecil yang tersedia. Maklum, sudah terlalu lama pandemi. Jadi kangen main di playground berjam-jam.

BACA JUGA: Beruang Coklat Tiba-Tiba Muncul, Zirco pun Berteriak!​

Kami turun di pusat kota Geneva, pemberhentian sebelum bandara. Pada hari itu cuaca tidak begitu cerah. Cenderung lebih berawan. Namun sesuai ramalan cuaca: tidak hujan. 

Sejak di sini kami harus sering melihat ramalan cuaca untuk penyesuaian pakaian dan perlengkapan bepergian. Beda dengan di Surabaya dulu, lihat TV siaran ramalan cuaca itu gak tahu untuk apa siaran itu. Wong cuacanya gak terasa banyak berubah sepanjang waktu. 

Geneva-3.jpgHalaman depan Museum of Natural History. (FOTO: Papi Fariz Hidayat)

Ada hal yang lucu sesaat sebelum kami berangkat dari apartemen. Kami mempersiapkan tiket daypass terlebih dahulu. Tentunya tiket digital di handphone masing-masing. Ternyata tertulis di daypass bahwa kami memiliki tiket untuk tanggal 7 November 2021. Yaitu esok hari. Padahal saat itu, 6 November, kami sudah siap rapi tinggal berangkat. Akhirnya kami membeli tiket lagi point-to-point seharga 11 CHF. Artinya hanya dari stasiun Lausanne ke stasiun Geneva. Kami juga membeli city ticket atau tiket yang bisa digunakan untuk naik bus atau metro di dalam kota. Harganya cukup terjangkau, total per orang membayar 15 CHF = Rp 234.000. (1 CHF=Rp. 15600) untuk gabungan kedua tiket tersebut. Sedangkan untuk kedua anak yang masih di bawah umur 6 tahun, GRATIS. 

Sebenarnya ada harga tiket point-to-point yang lebih murah, sekitar 9 CHF. Tapi kereta yang dipilih hanya berlaku di kereta yang tersedia diskon. Sehingga apabila ketinggalan kereta tersebut, maka tiket hangus. Sedangkan tiket yang kami beli adalah bebas memilih kereta mana saja, tanpa takut ketinggalan kereta.

Geneva-4.jpgZirco menikmati seluruh isi museum. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Tiba di stasiun Geneva kami melihat pemandangan yang serupa dengan stasiun Bern dan Zurich. Sudah terlihat sangat modern dan besar. Bikin bingung. Berbeda sekali dengan stasiun di Lausanne yang masih seperti stasiun besar di kota-kota besar Indonesia. 

Suhu kala itu menunjukkan 6 derajat C tapi dengan cuaca mendung jadinya sangaaat dingin. Sekarang untuk outfit berpergian sudah tidak bisa lepas dari jaket musim dingin dan ditambah dengan sweater. Belum lagi masih pakai kaos tangan dan syal. Sudah beku rasanya  padahal musim dingin belum benar-benar tiba.

Dari stasiun Cornavin Geneva kami langsung menuju Broken Chair. Broken chair adalah sebuah monumen patung kayu yang dibangun pada tahun 1996. Kursi kayu ini tingginya 12 meter dan dibangun dari 5,5 ton kayu. Kursinya sangat raksasa, kami terlihat sangat kecil berada di bawahnya. Kursi raksasa di mana salah satu kakinya ada yang patah melambangkan keputusasaan dan martabat korban kekerasan bersenjata. Bertujuan untuk mengingatkan kewajiban negara untuk melindungi dan membantu korban. 

Geneva-5.jpgBali Palace Restaurant Geneva. (FOTO: Okky dan Fariz)

Pengunjung bisa melihat broken chair ini tepat di depan Gedung Palais des Nations atau United Nations (UN) Office atau dalam Bahasa Indonesia Gedung PBB. 

PERTEMUAN DUA SUNGAI BEDA WARNA

Zirco yang cita-citanya ingin jadi Dubes (Duta Besar) karena suka ngomong dan berdebat, begitu katanya, berfoto dulu di depan Gedung UN. Menurut informasi dari teman yang tinggal di Geneva, banyak diplomat Indonesia di Geneva. Tergabung di Permanent Mission of the Republic of Indonesia atau Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk UN.

Ada lagi yang istimewa di Geneva yaitu Rhone and Arve Jonction. Tempat ini (junction) adalah titik pertemuan antara Sungai Rhone dan Sungai Arve. 

Mengapa bisa dibilang unik?? 

Karena kedua sungai tersebut memiliki warna yang berbeda. Namun saat mereka bertemu, air sungai mengalir menjadi satu di sungai terakhir, yaitu Rhone River. 

Geneva-66.jpgSungai Rhone di Pusat Kota Geneva. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Sebelum mereka bergabung menjadi satu terlihat sekali perbedaan warna dari kedua sungai tersebut secara berdampingan.

Perbedaan ini dapat dilihat dari atas jembatan dan juga dari bawah titik pertemuan. Setelah saya cek dari Google Map, waktu tempuh dari stasiun Cornavin Geneva ke kedua tempat tersebut hampir sama, sekitar 20 menit. Apabila ingin melihat dari atas jembatan, maka arahkan map menuju Viaduc de la Jonction. Ambil rute bus nomor 9 dengan tujuan Contract Social. Namun masih harus jalan kaki sepanjang 600 meter. Sedangkan kalau ingin melihat dari bawah titik pertemuan, maka pilih bus nomor 19 dari Cornavin Geneva Gare untuk menuju ke Jonction. Lagi-lagi harus jalan kaki sepanjang 750 meter untuk sampai ke titik yang dimaksud.

Karena traveling bersama 2 balita -- meskipun yang satu sudah berumur 5 tahun sih _ kami memilih menuju Viaduc de la Jonction. Jarak tempuh jalan kakinya lebih dekat. 

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, ternyata sebelum 150 meter sampai di lokasi terdapat palang tidak diijinkan untuk melintas. Artinya kami tidak bisa melihat keunikan sungai 2 warna ini dari atas jembatan. 

Rasa di hati sudah campur aduk, capek iya, sebel yes, heran hmmm, stres so pasti. Sudah ada "polisi" kecil yang ngomel bilang kalau maminya salah baca peta, dan memilih tempat liburan yang tidak masuk akal. Karena akses menuju jembatan tersebut sangat sepi. Hanya ada rumah-rumah penduduk dan tidak terlihat rame sama sekali layaknya tempat wisata.  

Jadi mohon maaf kawan pembaca, tidak ada foto yang saya ambil sendiri dari kamera. Tapi saya mengambilkan foto dari Google yang memperlihatkan kedua warna sungai yang berbeda. Sungai Arve warnanya seperti putih susu karena mengandung pasir putih dan mengalir cepat. Sedangkan Sungai Rhone mengalir lebih lambat serta warnanya lebih gelap. Meskipun gelap tapi dasar sungai masih terlihat dengan jelas. Gelap tapi bening. Air sungainya sangat jernih. Saya sempat mengambil foto di dekat Sungai Rhone di pusat Kota Jenewa. 

Hari sudah semakin siang, perut semakin lapar. Kali ini kami sengaja tidak membawa bekal makan siang, karena sudah berencana makan di salah satu restoran. Restoran Indonesia yang buka di Geneva. Namanya Bali Palace Indonesia Restaurant. Terletak di Rue des Corps-Saints 4, 1201 Geneve. Pada tanggal 1 – 7 November 2021, KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) Bern mengadakan acara kuliner yang bekerjasama dengan berbagai macam restoran Indonesia di Swiss untuk memperkenalkan makanan Indonesia. Ada di Zurich, Huswil, Arbon, Geneva, Urdorf, dan Richterswil. Yang terdekat adalah ke Geneva, jadi kami berkunjung ke sana. 

Selama 1 pekan ini ada beberapa menu makanan spesial yang ditawarkan. Antara lain sate ayam, gado-gado, siomay, soto, rendang, dan nasi goreng. Hmmmm, lezaat!!!

Kalau dulu di Indonesia sedang wisata bersama keluarga pasti cari makanan yang paling khas di kota itu. Sekarang yang kami cari Resto Indonesia yang ada di kota itu. Menu yang kami pesan adalah 1 porsi sate ayam (6 tusuk) dan nasi putih, siomay, dan sop buntut. Sop buntut tidak termasuk menu spesial yang ditawarkan, namun Restoran Bali Palace Indonesia menyediakan menu tersebut dalam sehari-harinya. 

Menurut informasi dari teman, sop buntutnya mantaaab. Rata-rata seporsi makanan dibandrol 20-an CHF = Rp 312.000. Cukup terjangkau dengan porsi super besar yang dihidangkan. 

Selain itu kami juga memesan teh kotak, es cendol, dan es susu kedelai. Di sini minuman es cendol dan es susu kedelai masuk ke menu dessert. Sampai pelayan pun bertanya, “Apakah dikeluarkan di akhir atau berbarengan dengan menu semuanya?”. 

Kompak saya dan suami menjawab: "Bersamaan saja" 

Beliau bertanya dalam Bahasa Indonesia lho. Jadi saat pesan makanan kami tidak perlu menggunakan Bahasa Inggris atau Bahasa Prancis. Kayak bisa saja pesan dengan Bahasa Perancis, hehe.

Semua hidangannya super enak dan membuat perut sangat kenyang. Sekali makan kami berempat menghabiskan sekitar 95 CHF = Rp 1.482.000. Itu pun sudah termasuk mbungkus emping atau melinjo atau belinjo. Masing-masing daerah di Indonesia punya penyebutan sendiri-sendiri. 

Restoran ini juga menjual berbagai macam produk khas Indonesia, seperti Kecap ABC, Permen Kopiko, Minyak Balur Kutus-Kutus, Jamu Tolak Angin, serta minuman jahe dan kunyit. 

PUSAT PERTOKOAN TERHUBUNG DENGAN STASIUN

Sebenarnya kami punya agenda untuk mengunjungi museum. Tapi Zirco ingin berkunjung ke museum esok hari. Dia tahu kalau besok masih memiliki tiket ke mana saja. Kami putuskan balik ke Lausanne setelah makan siang yang kala itu sudah menunjukkan pukul 14.30 CET. Sebelum balik ke stasiun, kami mampir melihat kawasan pertokoan di pusat kota. Tidak beli apa-apa hanya memanjakan mata saja, melihat barang-barang di etalase. 

Masuk ke kawasan seperti pusat shopping ternyata langsung terhubung dengan stasiun. Keren sekali yaa, batin kami. 

Keesokan harinya kami berangkat lagi ke Geneva. Kami mengunjungi Museum of Natural History Geneva.  Alhamdulillah pengunjung tidak dikenakan biaya tiket masuk alias free. 

Museum ini terdiri dari 4 lantai yang kebanyakan bercerita tentang hewan. Seperti Museum Satwa Jatim Park 2 Kota Wisata Batu. 

Lantai 1 berisi hewan-hewan reptil, amfibi, dan burung.

Lantai 2 terlihat banyak hewan mamalia yang berasal dari Amerika, Afrika, dan Asia. 

Lantai 3 adalah tempat favorit Zirco karena berisi hewan-hewan laut, ada hiu, paus, dan hewan di lautan dalam. 

Lantai 4 (teratas) berisi batu-batu mineral. Ada batu yang bersinar di kegelapan, berwarna cantik seperti kristal. Dan kami menemukan batu yang bernama Zircon. Sama seperti di Geology Museum Lausanne. Cerita tentang asal usul nama ZIrco yang berasal dari sebuah logam Zr (Zirkonium) atau batu Zircon pernah kami ulas di CowasJP.com. Laporan dari Swiss seri ke 4 atau Koran New Malang Pos Edisi 8 Agustus 2021.

Di hari kedua di Geneva ini hanya ke museum ini saja. Ada satu icon lagi yang harusnya dikunjungi. Yaitu Air Mancur di Danau Geneva. Yang muncratnya sangat tinggi. Sayang sedang direnovasi dan cuaca tidak bersahabat. Dingin dan angin kencang. Jadi kami tidak berkunjung ke tepian danau Geneva. Toh danau ini nyambung ke Lausanne. 

Penutup perjalanan kami di Geneva di hari kedua ini adalah makan siang di restoran halal yang bertema Maroko. Letaknya tak jauh dari stasiun. Kami hanya membeli 1 menu yaitu Assiette mix grill seharga 23 CHF. Porsinya sangat jumbo, lengkap dengan nasi briyani Panjang, sayur selada dan tomat, daging kambing dan daging ayam yang sudah di-grill dan ditusuk layaknya sate. Sudah cukup kenyang untuk kami berempat. 

Demi menikmati waktu berwisata di Swiss dan Eropa ini. Waktu berkejaran dengan musim. Mengejar musim jangan sampai kedahuluan musim dingin yang akan datang di akhir bulan Desember nanti. Saat menulis “Laporan dari Swiss” kali ini posisi kami sedang di Paris, Prancis. Touring pertama keluar dari Swiss. Tunggu ya ceritanya minggu depan. (*)

Oleh: OKKY PUTRI PRASTUTI, Puteri CEO New Malang Po

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda