Wedang Angsle dan Hikayat Sun Guo Yuan

Penulis (kiri) bersama Mustaqim peracik wedang angsle khas Kota Malang. (Roso Daras/CoWasJP.com)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Roso Daras

----------------------------

SYAHDAN, Minggu 17 Juli 2016, Imawan Mashuri menggelar acara halal-bihalal dengan rekan-rekan eks Harian Suara Indonesia. Acara digelar siang hari di kediamannya yang klasik di Lawang, Malang. Siapa Imawan? Pendek kata, dia wartawan senior, pernah bekerja di Suara Indonesia, Jawa Pos, memimpin Manado Post, mengelola J-TV, Ketua Umum Asosiasi TV Lokal Indonesia, dan banyak predikat lain.

Sayang, ini bukan tentang Imawan. Ini tentang gerobak wedang angsle yang becokol di sudut taman rumahnya. Gerobak angsle milik Mustaqim inilah yang dijadikan hidangan pembuka bagi para tamu yang hadir di acara itu. 

Saya sendiri bukan eksponen SI, tetapi hadir karena merasa cukup alasan. Pertama, memenuhi ajakan senior saya, Suryohadi, yang kebetulan eks SI. Alasan lain, selain Imawan, relatif banyak teman saya di SI, selain Imawan sang tuan rumah. Ada cak Hadiaman, gus Choirul Anam, Peter A Rohi, Thomas JS, Yamin, dan kukira masih banyak lain. 

Nah, kembali ke laptop. Tentang angsle, wedang khas Malang. Berani sumpah, baru pertama kali saya menyantap angsle. Seperti juga Anda, bahwa terhadap sesuatu yang baru pertama kali dirasakan, senantiasa menyisakan bekas yang susah diseka. Angsle ini pun menggelayut di pikiran berhari-hari kemudian.

Beruntung, saya sempat ngobrol dengan sang penjual angsle yang bernama Mustaqim (37). Kebetulan juga, warga Desa Sumbersuko, Lawang itu sedang memperingati “ulang-tahun”-nya. Ulang tahun “jualan angsle” yang ke-10. “Ya, tepat 10 tahun lalu saya mulai berjualan angsle,” ujar bapak dua anak itu.

angsle-1veHPh.jpg

Gerobak angsle wedang kas Kota Malang siap melayani pembeli. (Roso Daras/CoWasJP.com)

Berkisah awal mula berjualan angsle, ia mengaku atas dorongan Kuslan, bapaknya. “Bapak saya yang nyuruh saya jualan angsle. Bapak saya juga yang mengajari cara meracik menu angsle,” ujar pria hitam sedikit senyum itu.

Ia pun mulai memerinci isian wedang angsle yang antara lain terdiri atas petulo, beras ketan, kacang ijo, roti, mutiara, daun pandan dicampur dengan santan panas. Sangat cocok untuk daerah berhawa sejuk. Melihat isi mangkuk yang mirip kolak, angsle juga pas buat ganjal perut lapar.

Sebagai pengalaman pertama menyantap angsle, kesan pertama adalah mirip gabungan wedang ronde dan bajigur. “Beda ronde dan angsle pada kuahnya. Kalau ronde kan memakai air jahe, sedangkan angsle menggunakan santan,” ujar Mustaqim yang berprofesi sebagai tukang ojek pada pagi dan siang hari itu.

Ya, Mustaqim mulai jualan angsle sore pukul 16.00, seusai ngojek. Tidak seperti penjual angsle tempo dulu yang berjualan sambil keliling kampung, maka Mustaqim memilih mangkal di Jalan Diponegoro, Lawang.

Ia sedia 50 porsi setiap harinya. Per porsi, dibanderol lima ribu rupiah. Dus, jika sehari bisa menjual habis, ia akan membawa pulang Rp 250.000. “Alhamdulillah, cukup buat hidup dan biaya anak sekolah. Anak saya dua, satu kelas tiga SD, yang kecil masih TK,” ujar Mustaqim, sambil melirik istrinya yang setia membantunya melayani peminat angsle.

Mustaqim menuturkan, di Lawang setahu dia, ada dua penjual angsle. “Dulu tiga, sekarang tinggal dua. Saya tidak kenal siapa dia, tapi kata orang sih, tadinya dia jualan ronde. Karena kurang laku, lalu berganti jualan angsle,” ujar Mustaqim tentang kompetitornya.

Nah, apakah Mustaqim tahu riwayat angsle? Ternyata bungkam. Gelagepan. Dan tidak paham. Bahkan, menu tradisional itu pun belum menarik minat para peneliti. Karenanya, sangat sulit mencari rujukan ilmiah tentang asal-usul dan sejarah angsle.

mustakim-dan-gerobaknxFhO.jpg

Mustaqim dan gerobak angslenya.  (Roso Daras/CoWasJP.com)

Satu-satunya kemungkinan yang bisa dirujuk hanya ronde. Wedang hangat ini adalah kemungkinan terbesar asal-usul angsle. Dus, angsle adalah bentuk metaforfosa dari ronde. Ah, bukan. Bukan metaforfosa, tetapi pengembangan. Dus, angsle adalah diversifikasi dari ronde. 

Ronde, adalah jenis minuman yang dibawa kaum Tionghoa masuk Hindia Belanda. Di Cina sendiri, ronde sudah ada sejak Dinasti Han (Hanzi, 202 SM – 220 M). Nama aslinya tengyuen atau sering diucapkan dengan lafal tangyuan.

Ronde terbuat dari tepung ketan yang dicampur sedikit air dan dibentuk menjadi bola, direbus, dan disajikan dengan kuah jahe manis. Ukurannya bisa kecil atau besar, diberi isi maupun tidak.

Masyarakat China biasa mengonsumsi tangyuan saat festival Yuanxiao atau Festival Lampion.

Apa boleh buat. Kisah itu pun melambungkan ingatan saya ke peristiwa 26 tahun lalu. Tahun 1990, saat saya melakukan liputan even Asian Games, Beijing Cina. Saya diberangkatkan Harian Jayakarta, tempat saya bekerja, pasca Jawa Pos. Sementara, Jawa Pos mengirim Imawan Mashuri dan Alfian Mujani.

Di sana, kami akrab dengan Indonesianis bernama Sun Guo-yuan, liaison officer untuk insan pers asal Indonesia. Dus, Imawan Mashuri dan angsle, betapa pun, mengingatkan saya akan hikayat Sun Guo-yuan itu. Jadi, begitulah kisah angsle di halaman rumah Imawan Mashuri. ***

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda