Catatan Politik Arif Afandi (8)

Romi di Pusaran Fusi yang Tak Selesai

COWASJP.COMDUA kali terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) secara aklamasi. Itulah yang terjadi pada politisi muda Muhammad Romahurmuziy. Prestasi itu sudah menunjukkan seberapa piawai pria yang akrab dipanggil Romi ini. 

Kali pertama terpilih aklamasi dalam Muktamar ke VIII PPP di Surabaya 2014 lalu. Ia menduduki posisi puncak partai berlambang Kakbah ini menggantikan Suryadarma Ali (SDA). Kedua, ia terpilih aklamasi lagi dalam Muktamar Islah PPP di Jakarta, 2016, belum lama ini.

BACA JUGA: Mega, Sosok Personifikasi PDI Perjuangan

Konflik paska pemilihan presiden RI 2014 dan kasus korupsi yang menjerat SDA ikut memuluskan jalan Romi ke kepemimpinan puncak PPP. Politisi kelahiran Sleman, 10 September 1974, ini tampil menjadi orang nomor satu setelah menjadi Sekretaris Jenderal partai tersebut dalam kepemimpinan SDA. 

Secara pribadi, saya tidak begitu mengenal Romi. Saya lebih banyak mengetahui kiprah trah yang melahirkan sarjana lulusan Institut Tehnologi Bandung ini. Saya malah mengenal kakaknya Dr Fajrul Falakh, dosen Fakultas Hukum UGM yang kini sudah almarhum. Selain ahli hukum, Fajrul juga dikenal sebagai pengurus PBN

bendera-pppmQhEX.jpg

ilustrasi Bendera PPP (Foto: riaupos)

Keluarga Romi memang dikenal sebagai keluarga para tokoh NU dan politisi. Ayahnya KH Prof Dr Tolhah Mansyoer adalah anggota DPR Gotong Royong. Juga pernah menjadi Rais Syuriah PBNU. Dosen IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini juga dikenal sangat dekat dengan almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

BACA JUGA: SBY, Bisakah Bikin PD Kembali Pede?

Ibu Romi dikenal sebagai perempuan pertama yang memimpin DPW PPP di Indonesia. Namanya Umroh Mahfudzoh. Pensiunan anggota DPR RI ini pernah menjabat Ketua DPW PPP Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai politik perempuan di zaman Orde Baru, ia dikenal sebagai singa podium. Garang saat kampanye dan membakar semangat simpatisannya.

Buyut dari ayah maupun ibu Romi juga dikenal sebagai tokoh Partai NU di zaman pemerintahan Soekarno. Dari sejarah keluarganya, Romi memang lahir dari keluarga politisi dan NU tulen. "Jadi, politik memang sudah mendarah daging dalam diri saya," katanya kepada wartawan suatu ketika.

BACA JUGA: Akbar, Politisi Tak Pernah Mati

Alumni SMA 1 Jogjakarta yang sering memenangkan lomba karya ilmiah ini tidak memilih studi politik dalam masa pembelajaranya. Setelah lulus SMA, ia memilih menekuni bidang engineering economics di ITB. Saat menjadi mahasiswa, ia sempat bergabung di Garda Bangsa, sayap pemuda PKB. Namun, akhirnya ia lebih memilih berkiprah di PPP. 

romi-lensaindonesiarcw9a.jpg

Muhammad Romahurmuziy, (Foto: lensaindonesia)

Tampilnya Romi dalam usia muda memimpin PPP agak fenomenal. Sebab, PPP merupakan salah satu dari partai bentukan pemerintah Orde Baru yang masih tetap hidup sampai sekarang. Partai ini merupakan hasil fusi atau penyatuan partai-partai berbasis Islam. 

BACA JUGA: Cak Imin, Berkah Warisan Gus Dur

Sekadar diketahui, PPP berdiri 5 Januari 1973. Partai ini merupakan hasil fusi empat partai Islam; Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti. Partai yang berdiri pada zaman pembatasan partai-partai politik ini kali pertama dipimpin tokoh Parmusi H Mohammad Syafaat Mintareja.

Dalam pemilu 1971, pemilu pertama di era pemerintahan Soeharto, NU merupakan partai pemenang kedua setelah Golkar dan PNI. Saat itu, pemilu diikuti 10 kontestan. Kemenangan Golkar dengan berbagai cara pada pemilu tersebut menjadi awal dari politik otoriter Orde Baru.

BACA JUGA: Surya Paloh, Politisi Burung Merak

Fusi keempat partai saat itu merupakan bagian dari rekayasa politik pemerintahan Soeharto. Di luar Golongan Karya yang menjadi mesin partai pemerintah, rezim Orde Baru mendesain dua partai hasil fusi. Partai-partai Islam disatukan ke dalam PPP. Sedangkan partai-partai nasionalis difusikan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dalam perjalanannnya, PPP yang semula berazaskan Islam ini harus menanggalkan azas pemersatunya. Ini setelah pemerintahan Soeharto "memaksakan" azas tunggal Pancasila sebagai azas bagi semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Politik aliran berdasarkan ideologi dihapuskan dan digantikan dengan Pancasila sebagai ideologi tunggal.

kader-PPP-vivaoV7Nx.jpg

Kader PPP (Foto:viva)

Sejak berdiri di awal rezim Soeharto, PPP dipimpin oleh para tokoh Parmusi. Setelah MS Mintarja, partai berlambang Kakbah ini berturut-turut dipimpin H. Jaelani Naro dan Hasan Ismael Hasan Metareum. Kepemimpinan dari kelompok Parmusi ini berlangsung sampai menjelang pemerintahan Orde Baru lengser 1998. 

Selama kepemimpinan faksi Parmusi ini, para tokoh NU sebagai penyumbang suara terbanyak PPP tersingkir. Setidaknya mereka berada di pinggiran. Fakta politis tersingkirnya kelompok NU dalam kepemimpinan PPP di masa Orde Baru ini yang ikut mendorong lahirnya partai baru sempalan PPP di awal era reformasi politik. PKB, dalam konteks ini bisa disebut sebagai, tempat penampungan baru para politisi NU. 

BACA JUGA: Prabowo, Korban Warisan Citra Pak Harto

Mengapa NU yang di pemilu 1971 menjadi pemenang pemilu kedua setelah Golkar dan diatas Parmusi menjadi pinggiran dalam kepemimpinan PPP selama Orde Baru? Ini karena politik Soeharto. Ia menganggap kekuatan NU yang mengakar sampai ke desa-desa bisa menganggu stabilitas politik pemerintahannya. Secara sistematik dan masif terjadi peminggiran NU dari pusaran politik di Indonesia.

hamzah-haz-dan-romi-liputan6feEtm.jpg

Romi (kanan) saat bertemu dengan Hamzah Haz (Fotoliputan6)

Tampilnya tokoh NU dalam kepemimpinan PPP baru terjadi pada Muktamar IV tahun 1998. Dalam muktamar tersebut terpilih Hamzah Haz sebagai Ketua Umum, menggantikan Ismael Hasan Metareum yang sudah dua kali memimpin partai tersebut. Hamzah yang juga Wakil Presiden saat Presiden Megawati Soekarnoputri ini, menduduki kursi ketua umum periode kedua pada muktamar 2003.

BACA JUGA: Fahri Petarung, Hamzah Terkurung

Setelah Hamzah ini, arus politisi NU menduduki kepemimpinan PPP berlanjut terus. Setelah itu, Surya Darma Ali yang juga dikenal lebih dekat ormas Islam terbesar di Indonesia ini memimpin PPP. Ia menduduki kuris puncak partai tersebut sampai dua periode dan berakhir saat dia harus berurusan dengan KPK atas kasus dia sebagai Menteri Agama. 

Paska SDA inilah, Romi mencuat ke permukaan. Cucu Menteri Agama RI ketuju KH Wahib Wahab ini meroket setelah menjadi Sekjen DPP PPP di bawah SDA. Hanya saja, ia menjadi komandan partai berlambang kakbah itu dalam bayang-bayang perpecahan baru partai tersebut. Perpecahan yang dipicu pemilihan presiden 2014. SDA menjadi pendukung Prabowo Subianto, sedangkan Romi mendukung Jokowi-JK.

Tapi apakah perpecahan itu murni dipicu karena pilpres? Tampaknya tidak sepenuhnya demikian. Bagi parpol yang merupakan warisan zaman Orde Baru memang rentan konflik setelah reformasi politik. Fusi yang "dipaksakan” membuat faksi di dalam partai tidak mudah lebur. Kecuali ada sosok yang sangat kuat dan bisa mengatasi kepentingan masing-masing faksi. 

romi-harianterbit8v0K9.jpg

Romi dalam salah acaranya (Foto: harianterbit)

Zaman telah berubah. PPP tidak bisa lagi mengklaim sebagai satu-satunya tempat menyalurkan aspirasi muslim. Paska reformasi, sejumlah partai yang berbasis massa Islam pun bermunculan. Baik yang berbasis Islam tradisional maupun Islam modern.

NU sebagai penopang utama suara PPP juga sudah mendirikan ‘’rumah politik’’ sendiri. Namanya PKB. Dengan lahirnya PKB, massa pemilih tradisional PPP menjadi tersedot. Kini, partai tersebut harus berebut massa NU yang telah terbagi-bagi ke berbagai partai politik.

simpatisan-PPP-liputan6oxv.jpg

Kader PPP (Foto: liputan6)

Romi sebagai keturunan NU tulen juga menjadi berkurang ‘’daya tawarnya’’. Ia kini tinggal mengandalkan relasinya dengan sejumlah kiai sepuh yang menjadi patron massa PPP. Seperti KH Maemun Zuber, Serang, Jawa Tengah, misalnya. 

Ia mengakui bahwa andalannya adalah merangkul para Kiai NU di Pulau Jawa. ‘’Saat saya ketemu dengan para kiai, saya tawassulan (menyambungkan) ke kiai-kiai, bahwa saya puteranya Bapak Tolchah Mansoer. Beliau-beliau kan teman ayah saya,’’ katanya.

Memang masih banyak yang bisa direbut dari ceruk massa NU. Jika Partai NU di Pemilu 1971 meraup 18 persen suara, maka masih cukup banyak massa NU yang bisa ditarik ke PPP. Sebab, PKB dalam pemilu 2014 baru bisa mencatatkan 9,04 persen suara pemilih.

Pertanyaan berikutnya, mampukah Romi membuat daya tarik untuk massa NU untuk ‘’berumah’’ di PPP? Ini tantangan yang harus dihadapinya. Sebab, PKB belakangan begitu getol membuat program yang mengidentifikasi warga Nahdliyin, seperti Musabaqah Kitab Kuning dan sebagainya.

romiaktualSzhGa.jpg

Muhammad Romahurmuziy, (Foto:aktual)

Yang pasti, tongkat kepemimpinan PPP kini sudah di tangan Romi. Politisi muda kelahiran Jogja ini masih harus menanggung benih perpecahan laten di PPP yang tumbuh akibat fusi yang tak pernah selesai. Perebutan panjang kepemimpinan partai antara faksi NU dan Parmusi. Jika ini mampu dia atasi, maka layak ia mendapat nilai tinggi sebagai pemimpin politik. *)

Baca juga Berita-berita lainnya di CoWasJP.com. Klik Di SINI

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda