Inspirasi Ca’amu

Cangkir di Cangkruk’ane CoWas Karmen

Foto dan ilustrasi: CoWasJP.com

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h:  Abdul Muis

---------------------------------

BISNIS? Tidak pernah terbayang dalam benak saya selama ini. Sejak tamat SMA, saya tidak pernah bercita-cita dagangan atau jadi pebisnis.

Setiap kali menulis Buku Kenangan teman teman sekelas adalahingin menjadi tentara atau insinyur. Kata kata mutiaranya: Gantunglah Cita Citamu Setinggi Langit! Hahaha.. Itulah ekspresi masa lalu. Maklum sejak kecil hingga remaja, saya hidup di lingkungan keluarga pedagang.

Bapak saya, selain guru ngaji, juga buka toko pracangan depan rumah. Ibu saya yang darah Madura, juga rajin kulakan apa saja, kemudian dijajakan di Pasar Krempyeng Karang Menjangan Surabaya. Tapi,  darah saya tak mengaliri karir orang tua untuk meneruskan menjajakan barang dagangannya..

Yang ada dalam benak saya adalah harus jadi orang kantoran. Dapat gaji bulanan dan bekerja mengenakan seragam. Bisa beli rumah mewah, punya mobil, naik haji dan keliling dunia. Biar keren, tidak seperti kedua orang tua saya. Itu saja!  

Tapi, garis tangan mengatakan tidak demikian. Saya gagal masuk Akabri. Saya putuskan mandiri. Tak ingin menggantungkan orang tua.

Setamat SMA saya langsur kabur ke Jakarta. Mengadu nasib. Tapi tidak bertahan lama lantaran homesick. Apalagi orang tua tidak merestui saya jadi perantau tanpa sanak saudara.

Sampai di Surabaya, paman saya almarhum Haji Abdul Malik, menyuruh saya melamar bekerja di percetakan Majalah Liberty, yang berkantor di Jalan Pahlawan. Milih percetakan lantaran saya memang punya skill bisa menjalankan mesin cetak kecil offside. Dan, saya yakin Liberty juga butuh tenaga cetak, karena manajemen baru setelah Goh Cing Hok menunjuk Bondan Winarno jadi pengelolanya.

Eh ternyata saat di Liberty, saya langsung bertemu Mas Enong Ismail.  Surat lamaran saya diterima Mas Enong tanpa banyak syarat. Tapi dia merekrut saya bukan untuk percetakan atau pracetak. Saya juga tak yakin bisa langsung kerja karena tak punya keahlian di bidang keredaksian.

Mas Enong, yang belakangan saya kenal sebagai Wakil Pemimpin Redaksi itu tetap kekeh, saya tak boleh punya pikiran jadi tukang cetak. Masa depan tukang cetak katanya terbatas. Karuan saja, saya senang sekali bertemu orang penting di Redaksi. Apalagi Paman Malik menyuruh sayajuga harus menemui sahabatnya, Mas Anshori Thayib (almarhum) sebagai Pemimpin Redaksi Liberty.

“Anda tidak pantas jadi tukang cetak. Kalau liat tongkrongannya, pantasnya jadi wartawan kayak saya,” ujar Mas Enong, seraya memberikan buku buku soal dunia kewartawanan.

“Besuk Anda kembali ke sini, harus bawa tulisan cerita apa saja tentang perjalananmu dari rumah sampai kantor,” pinta pria tampan berkumis lebat itu, sembari meletakkan surat lamaran saya di mejanya.

Singkat cerita, kedua orang tua saya terkejut tatkala melihat aktivitas saya mulai jarang di rumah. Berangkat pagi, pulang dini hari, dan kadang tidak pernah pulang. Pulang-pulang sampai rumah, selalu telat makan karena waktunya habis untuk mengetik.

Ibu saya tidak tega. “Ngono iku ta nak..,, nek dadi wartawan? Yowis terusno nek awakmu cocok, seneng. Sing penting tekun, jujur karo sopo ae,” pesan  ibu sembari berkaca kaca bola matanya. 

Bapak yang mendengar ucapan ibu saya, hanya bisa tersenyum sembari mengatakan,”Lha wong sing njenengi Muis iku lho buuk.. wartawan. Gak salah nek akhire dadi wartawan temenan.”

Singkat cerita, lulus dari sentuhan Mas Enong, saya diminta Mas Anshari menulis tentang kehidupan gelandangan di semua rel kereta api di Surabaya. Mulai gelandangan yang tinggal di Stasiun Semut, Gubeng hingga Stasiun Wonokromo dan Stasiun Trem Wonokromo di belakang Kebon Binatang Surabaya.

Singkat cerita, lulus dari Liberty, saya bergabung dengan Harian Pagi Memorandum yang baru saja mengganti visinya, dari media mahasiswa ke harian umum. Tak lama bekerja bersama tokoh pers H Agil H Ali (almarhum), saya diajak Mas Slamet Oerip Prihadi bergabung dengan Jawa Pos. Saat itu tanpa tes, walaupun saya masih menyandang sebagai mahasiswa.

hagil-almarhumk3wWY.jpg

H Agil H Ali (almarhum)​. (Foto: Isitmewa)

Singkat cerita, ternyata saya kerasan bekerja di koran yang bermarkas di Kembang Jepun itu. Etos kerja keras yang ditanamkan Mas Dahlan Iskan kala itu, juga memacu semangat saya untuk mencintai Jawa Pos. Loyal banget, hingga menggelora di dada dan enggan menerima tawaran pekerjaan apapun. Cinta setengah maut deh pokoknya... hehehe.

Singkat cerita, ternyata  28 tahun saya menjadi karyawan Jawa Pos. Sebuah pekerjaan yang tidak mungkin bisa dilakukan semua karyawan, kalau tidak memiliki loyalitas yang tinggi. Jiwa kewartawanan saya, sudah melekat dalam hati dan melebur dalam darah dan daging. Kalau ada orang menyebut wartawan, langsung hati saya berdesir dan jiwa meradang, jika ada yang mencibir atau menghina profesi ini.

Jadi, tak secuilpun terlintas di benak saya untuk berbisnis, berdagang atau meneruskan usaha orang tua. Tidak mungkin! Dalam benak saya, pasti saya akan memegang salah satu media grup Jawa Pos, yang sudah menggurita di mana-mana itu. Dalam benak saya, pasti saya juga bisa kaya dan hidup layak seperti Mas Dahlan.

Maklum, sebelum diminta pangsiun dini, posisi saya sudah menjadi General Manajer Radar Bandung dan Wakil Direksi Bandung Ekspres. Jabatan terakhir saya Pemimpin Redaksi Jawa Pos Edisi Arab Saudi. Bos Dahlan – saya tak berani lagi manggil Mas- soalnya dia sudah menjadi big bos Jawa Pos Grup hehe, telah memberi angin surga bahwa saya nanti yang akan menjadi penanggungjawab media Jawa Pos Edisi Luar Negeri. Woow kueren!

dahlan-iskanm8TKP.jpg

Dahlan Iskan (Foto: Isitmewa)

Singkat cerita, saya akhirnya diminta rela menerima tawaran pangsiun dini bersama tujuh pendekar yang masih potensial lainnya. Ada Ali Murtadlo, Joko Intarto, Imam Syafie, Erwan Widyanto, Adib Laskar Ikhrami, Ihwanunddin, juga termasuk Imawan Mashuri tapi tidak datang saat pemutusan hubungan kerja. 

Kebersediaan mereka di-PHK, membuat saya terpaksa mengikuti langkahnya. Meski saya sendiri sempat menolak karena nilai pesangonnya tidak sesuai dengan hitungan akal sehat. Saya baru bisa memahami keinginan manajemen setelah ada tawaran bahwa sisa masa pangsiun saya diganti dengan dibayar depan separo gaji plus jabatan baru di perusahan pilihan manajemen.

“Muis kan sudah memilih hidup taubatan nasuha, maka dia lebih pas kalau gabung BIA, urusan Umroh dan Haji,” rayu Bos Dahlan di pertemuan serius dan rapat terakhir saya dengan Menteri BUMN itu di ruang rapat Direksi Jawa Pos.

Mendengar ucapan Bos Dahlan, dada saya bergetar.  “ Saya senang sekali diberi kesempatan bekerja lagi. Tapi, ini pembunuhan karakter bagi saya, karena BIA bukan bidang saya, dan saya lagi top topnya di puncak karir sebagai pengelola koran luar negeri,” jawab saya hingga Dahlan terkejut dan merah telinga.

Apalagi sebelumnya saya sudah protes soal nilai pangsiun dini yang tidak sesuai harapan. Dahlan makin menunjukkan ketidaksukaannya hingga saya harus meminta maaf ketika bertemu di ruang redaksi. Saya minta maaf atas segala khilaf selama menjadi karyawannya dan siyap menerima pesangon yang menurutnya sudah terbaik ketimbang senior sebelum saya.

Akhirnya saya menandatangani perjanjian di atas materai yang disaksikan Siti Handayani. Tapi, di lembaran kertas itu tak ada perjanjian atau penawaran kerja di tempat baru sesuai dengan pernyataan lisan yang disebut Bos Dahlan di depan forum calon pangsiun dini itu.

Sungguh, saya  tak akan lupa hingga meninggal nanti, saat penawaran pangsiun dini itu, Bos Dahlan menewari saya menjadi Direktur BIA. Anak perusahaan yang bergerak di bidang umroh dan haji. Saat itu, Mas Anas Sadaruwan yang menjadi Direktur Utamanya. Tapi dia sebelum meninggal, mengaku tidak pernah dihubungi Bos Dahlan perihal pekerjaan dan jabatan saya setelah pasti pangsiun dini.

Singkat cerita, tawaran itu hanya isapan jempol. Saya menunggu penugasan baru hingga sisa pesangon habis untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah serta kesehatan keluarga. Semua pejabat Jawa Pos yang disebut Bos Dahlan tutup telinga. Termasuk Zainal Muttaqien, yang makelari saya supaya menerima tawaran pangsiun dini tanpa ada perlawanan apalagi pemberontakan terhadap perusahaan.

Termasuk Mbak Weny yang ditunjuk Dahlan secara lisan untuk mengurusi sambung nasib saya di Jawa Pos. Tapi mereka berdua semakin Geje. Gak jelas! Maka saya memutuskan untuk banting setir. Kapal pesiar yang sempat saya naiki itu harus saya tenggelamkan. 

Tanpa pikir panjang, karena saya tidak boleh mati tenggelam, sayapun harus melempar sekoci untuk  berenang dengan pelambung seadanya. Sempat sih pingin jadi anggota dewan dengan menjadi Caleg DPR RI. Tapi modal jual rumah senilai ratusan juta ternyata tak cukup untuk bisa lolos ke Senayan.

Singkat cerita, sejak gagal nyaleg dan tak pantas kembali menekuni dunia jurnalistik, saya mencoba berbisnis. Maka benak yang sama sekali tak terlintas sedikitpun untuk menjadi pedagang, akhirnya harus saya sibak. Saya harus membuka lembaran lama sebagai anake Wong Bakulan.

Awal kali berbisnis, saya mulai dari jualan nasi pecel di depan rumah orang tua. Kemudian naik kelas sebagai pedagang produk MLM. Kemudian menaikkan kelas menjadi marketing di beberapa perusahaan media. Kemudian banting setir lagi menjadi agen asuransi yang diimin-imingi bakal banyak duit.. Carinya juga tidak sulit. Asal mau bergerak dan berbicara.

Singkat cerita, semua pekerjaan baru itu, ternyata tak sesuai hati nurani. Antara kemauan, hati dan otak tidak sebanding. Sangat bertentangan dan kontradiktif sekali. 

Begitu pula saat membentuk pelatihan motivasi, bersama komunitas baru,  rasanya masih jauh dengan harapan. Antara hati dan nafsu tetap tak sejalan. Sebagai insan pers saya tetap mengutamakan bekerja dengan hati nurani.

Saat di persimpangan karir inilah, saya merasa menemukan habitat lama. Yaitu berkumpulnya rekan rekan mantan karyawan Jawa Pos dalam perkumpulan silaturahim bernama CoWas, konco lawas. Di perkumpulan CoWas inilah melahirkan berbagai inspirasi, termasuk semangat baru untuk survive, walau tidak harus bekerja lagi di media massa.

Mas Slamet, yang karib disapa Suhu, menyepakati usulan Khoirul Anwar mantan Pimred Radar Malang untuk membuat media online. Akhirnya lahirlah CowasJP.com. Namun sebelum media klangenan teman-teman ini dilounching, saya minta Agus Mustofa yang dikenal dengan produktivitas buku Tassawuf Modernnya, berbuat sesuatu.

suhu--slametLMVit.jpg

Suhu (Slamet Oerip Prihadi) Foto: istimewa

Apalagi, Agus yang selalu hadir dalam reuni kecil dan besar, punya keinginan yang sama dengan saya. Yaitu membuat acara reuni harus kongkrit. Tidak sekedar kumpul kumpul, makan, terus pulang. Agus sepakat dan mengaku siap melakukan perubahan ketika menjadi tuan rumah reuni di rumahnya.

Dasar orangnya kreatif dan inovasinya tinggi, Agus  mengemas acara Reuni CoWas di rumahnya bagai berada dalam cafe. Semua karyawannya diberi seragam gambar wong mangap kehausan kopi. Sementara ruang kerja anak buahnya disulap jadi cafe lengkap dengan boothnya.

Bos Dahlan yang semula diharamkan hadir dalam reuni tersebut, akhirnya datang dan disambut hangat rekan-rekan. Diharamkan? lantaran Dahlan bukan konco lawas tapi mantan bos dan masih bos besar Jawa Pos Grup. Jadi, gak pantas kalau dia berkumpul CoWas, yang semuanya sudah pangsiun dan ada yang merasa keluar dari perusahaan unhappy ending.

Keberanian Bos Dahlan hadir,  ternyata justru mencairkan suasana yang semula dipenuhi apriori, kemudian jadi ajang silaturahim yang positif. Terlebih lagi, Bos Dahlan telah mengapresiasi keberadaan CoWas, dengan memberi penghargaan kepada pencetus nama CaWas berupa uang satu juta rupiah. 

agus-mustofaKOnot.jpg

Agus Mustofa​, Foto: istimewa

Begitu pula yang membuat tagline “Seduluran Sampek Matek” Arif Afandi selaku Ketua CoWas, juga mendapat hadiah Rp 1 juta. Dahlan menilai tagline dan nama CoWas itu kelas dunia.

 “Bener ini level dunia. Siapa yang ngasih nama CoWas dan bikin jargon itu. Saya kasih satu jutaan dari uang pribadi,” ujarnya saat didaulat pegang mike oleh Cak Amu sebagai MC acara tersebut.

Usai memberi hadiah, dia masih serius mendengarkan agenda acara yang dikemas Agus.  Bahkan, dia mengikuti acara sampai rampung dan ikut makan bersama mantan karyawannya. Suasanapun menjadi gayeng dan Bos Dahlan dianggap bagian dari CoWas. Walau hanya sebagai Tamu Kehormatan.

Agus sendiri yang mantan Direktur JTV dan penggagas event event spektakuler Jawa Pos seperti Jurrasic Park, Mobil Gila dll ini, sengaja membuat agenda acara reuni di rumahnya lain dari reuni lainnya. Permintaan saya agar kongkrit benar-benar dibuktikan. Ia mengundang rekan bisnisnya di bidang kopiwaralaba untuk mementori rekan CoWas yang berminat bisnis.

Selama satu jam lebih, dua nara sumber yang dihadirkan Agus memaparkan bisnis yang tidak sulit dilakukan mantan wartawan sekalipun. Saya pun terkesima dengan penjelasan panjang lebar mereka. 

Suhu yang sejak awal sudah dinobatkan sebagai calon pemilik cafe CoWas lantaran dihadiahi Agus berupa booth dan perangkat bisnisnya senilai lebih Rp 15 juta, juga tak kalah semangat. Fighting spirit dulur tuwo inilah membuat tekad saya untuk banting setir usaha warkop kian membuncah.

Apalagi ada penawaran buka Warmob, warung kopi di dalam mobil yang modalnya tidak sampai tiga juta rupiah. Saya sangat tertarik yang warmob ini karena saya sudah punya mobil. Tinggal perangkat bisnis kopinya saja.

Eh.. ternyata, Suhu menawarkan untuk membuka cabang di Surabaya saja. Ia berharap saya bisa mengembangkan bisnis Warkop CoWas selain di rumahnya Tropodo Indah N 44. Saya sepakat dan mengamini gagasan Suhu.

Singkat cerita, Suhu menggalang perhatian rekan lainnya. Gayung terus bersambut. Darul Faroki, yang kini sukses dengan bisnis Jahe Instannya di Nganjuk, terus memompa semanagt saya untuk terjun di bisnis warkop. “Ayo bah.. Saatnya action ojok jadi motivator tok. Buktikan panjengan mampu berbisnis hehehe,” cetus Darul.

darulwmTn7.jpg

Darul Faroki​, Foto: istimewa

Gayung pun bersambut. Saya yang tinggal modal dengkul, minta anak saya ikhlas. Melepas sepeda motornya yang menjadi saksi suksesnya menyelesaikan kuliah di Unair. Setelah tamat dan tinggal wisuda, motor Honda Spacynya pun saya jual, untuk nombokimodal bukan warkop di depan rumah ibu saya.

Alhasil, warkop kedua setelah rumah Suhu itupun berdiri. Saya nekad buka 14 Maret, walau belum ada produk yang dijual. Warkop itu saya branding  Cangkruk’ane Cowas. Kenapa bukan warkop atau angkringan?

Alasannya sederhana, karena saat ditunjuk Bos Dahlan menangani JTV,  saya berencana membuat program pemberitaan dengan nama Cangkrukan. Tapi program ini tidak matching karena yang cocok  Pojok Kampung yang akan dipakai Cak Priyo Al Jabar di JTV itu.

Arif Afandi selaku direktur pemberitaan JTV menganggap program Cak Priyo yang ngrumpi kebijakan negoro sambil ngopi itu lebih pas pakai nama Cangkrukan. Sedangkan program berita boso Suroboyoan cocok dengan nama Pojok Kampung. Nah, karena Cangkrukan berasal dari ide saya, maka warkop di Jalan Karang Menjangan 47 itu saya namakan Cangkruk’ane CoWas.

Mengapa ada kata “ane”? Sengaja saya imbuhkan di cangkrukan karena saya ingin beda saja. Maklum sejak jadi wartawan Jawa Pos, Dahlan selalu mendidik kita untuk mencari berita yang eksklusif. Apalagi rumah orang tua saya juga dikenal ada darah Arab, Jawa, Madura. Maka nama “ana”atau “ ane” cocok untuk warkop milik saya itu.

penulis-saatUaLvB.jpg

Penulis mendapat hadiah dari anggota cowas (Suryadi) saat launching. Foto: CoWasJP.com

Agar beda dengan konsep warung kopi lainnya, saya juga memperkenalkan kepada para pengunjung yang mayoritas mahasiswa dan rekan wartawan itu adalah CANGKIR CoWAS. Cangkruk mikir konco lawas. Atau Cangkruk sambil zikir. 

Zikir? Ya  berfikir sambil ingat diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar kita. Jadi orang-orang yang cangkruk di Cangkruk’ane CoWas adalah komunitas  cangkruk yang selalu tetap iling atau ingat (zikir) kepada diri sendiri, koncone dan lingkungannya.. 

Nah, kalau iling marang gawenane Gusti Allah, pasti sing gawe urip seneng lan selalu iling marang gawenane he he he. Yang lebih utama lagi, di CANGKIR COWAS ini saya ingin memanivestasikan pengalaman jurnalistik dan perjalanan hidup ini kepada pengunjung. Tidak terkecuali. 

Saya siap jadi pelayan mereka. Sekaligus Menjadi PR. Public relation. Gak perlu ada SPG pake rok mini segala hehe. Cukup ada Cak Amu, berees hehe.. MasyaAllah!

By: Pesantren Jurnali

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda