Pintu Menginvasi PSSI Belum Terbuka Lebar

ilustrasi dan foto: cowas jp.com

COWASJP.COM –  

C a T a T a N: Sulaiman Ros

-------------------------------------------

Mantan Wartawan Jawa Pos

DENGAN ditetapkannya La Nyalla Mattalitti sebagai tersangka (16/3/2016) atas kasus dugaan korupsi, maka akan membuat tekanan terhadap PSSI semakin berat. Juga bagi La Nyalla sebagai Ketua Umum yang terpilih dengan 92 pemilih, dari 106 voters kongres di Surabaya untuk periode 2015-2019 itu makin tersudut. Sebaliknya, hal itu membuat pihak Menpora sebagai  ‘lawan personal’ nya, semakin di atas angin.

Pertanyaannya, akan muluskah Kemenpora mengelola sepakbola Indonesia mendatang, baik secara teknis maupun dalam memenej organisasinya? Secara teknis, saya yakin seyakin-yakinnya bisa. Tetapi untuk memenej organisasi, saya  rasa berat,  mengingat masih  akan dibayang-bayangi sanksi FIFA.  Akibatnya, bisa dibayangkan. Sangat melelahkan bagi semua insan sepakbola nasional.

Baca Berita Sebelumnya: Penyelesaian Soal PSSI Perlu Kearifan Tingkat Dewa

Ibaratnya, hasil Kongres PSSI 18 April 2015 di Surabaya itu sudah masuk dan terkunci di lemari FIFA. Dan, lemari itu akan sulit dibuka kembali oleh FIFA, apabila yang meminta pemerintah. Sebab FIFA menjatuhkan sanksinya pada PSSI , karena adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk apa pun.

Hasil kongres bukan sekadar memilih ketua umumnya, tapi keabsahan kongresnya, kualitas anggotanya, manajemennya, program pembinaan mulai usia dini hingga senior, dan sebagainya, dan sebagainya. Maka. ketika ketua umum PSSI-nya sudah rontok, tidak serta merta FIFA membuka kembali lemari hasil Kongres Surabaya itu, untuk digantikan dengan berkas baru versi Kemenpora.

logo-pssit8zxC.jpg

Ilustrasi: Logo PSSI dibekukan (Foto: bola.liputan6)/

Kalau pun sampai terselenggara Kongres Luar Biasa PSSI, Kemenpora harus benar-benar  dengan cara elegan membentuk apa pun istilahnya, yang benar-benar (baca: seolah-olah) independen di mata FIFA.

Kalau diurut dari awal, kekisruhan ini barangkali hasil langkah emosional Menpora. Tidak suka figur ketua umumnya, tapi organisasinya ikut diberangus (dibekukan). Coba, kalau beliau waktu itu piawai saat kongres, dengan mengerahkan segala daya para ahlinya untuk melakukan penjegalan dengan cara elegan  dan smooth  terhadap La Nyalla, ceritanya akan lain. Andai canggih dalam melobi, nasib PSSI tidak status quo seperti sekarang, dan cost-nya tidak demikian mahal.

Kini, dengan posisi La Nyalla sebagai tersangka pun, bukan berarti pintu masuk untuk menginvasi PSSI selebar yang dibayangkan. Meski suara untuk KLB sudah didengungkan, namun sambutan para anggota PSSI masih belum bulat. KLB baru bisa dilakukan oleh 2/3 voter, dan 50 persen plus satu dari anggota. Dan kalau tidak salah (mohon dikoreksi ya), Komite Ad-hoc  tidak memiliki kewenangan untuk menggelar KLB. KLB bisa dilakukan apabila diminta oleh anggota dan disetujui oleh komite eksekutif dan disupervisi oleh FIFA-AFC. 

la-nyalla1pcgD.jpg

La Nyalla Mattalitti (Foto: bola)

Kini, status La Nyalla sudah dilaporkan kepada anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, FIFA dan AFC. Kendala lainnya bila merujuk pada pasal 34 poin 4, seseorang harus mundur dari keanggotaan PSSI, jika sudah berstatus terpidana.

Ada imbauan memang, dari juru bicara (Jubir) Kemenpora, Gatot S. Dewa Broto, agar La Nyalla bersikap seperti mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, mengundurkan diri karena terjerat korupsi. Tapi apakah kasus Blatter dan La Nyalla ada korelasinya atau identik? Terus terang saya kurang begitu paham, apalagi harus berdebat soal statuta. Rapati mudheng hahaha..

Yang saya tahu, kasus Blatter masih ada kaitannya dengan permasalahan sepakbola. Blatter kesandung pelanggaran kode etik FIFA. Ada lima pasal yang menjeratnya bersama Michel Platini. Tapi organisasi FIFA tetap jalan. Sedangkan kasus yang menjerat La Nyalla tidak ada korelasinya dengan sepak bola, sementara organisasi PSSI sudah lumpuh total.

sep-blaterhMHn.jpg

Presiden PSSI La NYalla Mattalitti (kiri) dan Presiden FIFA Sepp Blatter (Foto: pojoksatu)

Saran saya, demi sepakbola Indonesia, sebaiknya La Nyalla dan Menpora  legowo saja. Satu mundur, satunya mencabut pembekuan tanpa syarat. Kalau toh terpaksa  harus KLB dengan syarat seperti di atas, biarkanlah berlangsung secara mandiri dan independen sesuai kemauan FIFA.***

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda