By Pesantren Jurnalis

Agum Salah Persepsi, Menpora Uji Nyali Nyalla

Foto dan ilustrasi: CoWasJp.Com/Ghedebuk

COWASJP.COM – style="text-align:center"> 

C a T a T a N: Cak Amu

---------------------------------

GEGAP gempita itu harus tertunda lagi. Pernyataan Ketua Ad Hoc Komite Reformasi PSSI Agum Gumelar dibantah Juru Bicara Presiden Jokowi. Presiden tidak pernah memerintahkan Menpora Imam Nahrowi mencabut SK Pembekuan PSSI.

Sang Jubir Johan Budi menyebut presiden meminta Menpora mengkaji ulang pembekuan PSSI. Tidak pernah menginstruksikan langsung agar SK tersebut segera dicabut.

Sukardi Sirait juga merasa perlu meluruskan pernyataan Agum.  Yang benar,  presiden memerintahkan Menpora mengkaji rencana pencabutan pembekuan tersebut. Sedang hasil kajiannya, akan diserahkan kepada presiden dalam satu atau dua hari setelah pertemuan.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga membuat penjelasan serupa. Kata Pramono, Menpora diminta untuk melihat, mengevaluasi, mempertimbangkan, apakah waktunya sekarang dicabut atau belum. 

“Itu yang nanti dilaporkan ke presiden. Untuk mengaktifkan kembali (PSSI) itu urusan Menpora. Sekali lagi itu kewenangan Menpora,” tegas pentolan PDIP ini.

Pernyataan Agum Rabu lalu, memang membuat bumi sepak bola nasional tersenyum. Hampir semua insan bola menyambut dengan suka cita. Sembilan bulan fakum tanpa masa depan yang jelas, merupakan pukulan hebat bagi mereka.

Terlebih lagi, orang-orang yang ditunjuk Menpora belum memberikan sinyal kehidupan bakal sepak bola menggelinding lagi. Karena itu, kabar apapun yang bersumber dari pemerintah, benar-benar mereka tunggu.

Mereka tidak ambil pusing. Entah berita itu salah persepsi atau ada pihak yang melintir. Baginya, yang penting presiden turun tangan. Ada kepedulian pemimpin negara. Tanpa campur tangan presiden, sepak bola nasional tetap tiarap. 

Aneh tapi nyata. Bak gayung bersambut. Dua hari menjelang Agum mengumumkan kabar gembira itu, kami berempat tengah merancang pembinaan sepak bola usia dini. Mulai membangun sekolah hingga membuatkan turnamen kecil-kecilan.

Rembukan itu kami lakukan di rumah wartawan senior Slamet Oerip Prihadi, bersama dua mantan pemain nasional Freddy Mulli dan Mursyid Effendi. Kami sepakat untuk fokus mencari solusi, agar anak didik kita tidak kehilangan semangat dan hancur talenta serta masa depannya.

Soal institusi, bagi kami itu urusan mereka yang di atas. Cepat atau lambat pasti sudah mereka fikirkan. Kami lebih mengutamakan membangun mental pemain usia dini, agar tidak terkontaminasi perilaku negatif. Itu jauh lebih penting ketimbang ikut campur urusan pejabat bola hehe..

Sehari sebelum Agum memberitakan kabar tersebut, saya juga dikontak tokoh sepak bola usia dini di Nganjuk. Junaedi namanya. Ia berharap rekan rekan yang peduli terhadap reformasi sepak bola harus turun gunung. 

“Kita harus jalan terus walaupun tidak ada lembaga yang mengendalikan he he..,” seloroh Junaedi dari balik gagang hapenya. Tokoh muda yang baru berkecimpung di sepak bola ini mengaku terus memutar kompetisi untuk kelompok usia dini. “Syukur-syukur, kalau pemerintah dan PSSI akur he he..” imbuhnya.

Seloroh Junaedi itu semoga menjadi kenyataan. Kenyataan yang tidak perlu menunggu lama lagi. Fakum Sembilan bulan, tanpa kompetisi berjalan, bukan waktu yang pendek. Terlalu lama mandek, bukan tidak mungkin bakal berefek buruk bagi psikologis mereka.
KLB

Bagi saya pribadi, apapun bahasa yang disampaikan Agum Gumelar harus direspon positif. Apapun nada bicara Presiden Jokowi,  tetap ujungnya adalah ingin adanya pencabutan SK Pembekuan PSSI. 
Janganlah sampai ada anasir-anasir. Apalagi sampai berujung pada politisir hingga bearomakan plintiran. Bukan hal mudah untuk merujukkan kedua kubu yang berseteru. 

Saat inilah waktu yang terbaik. Terbaik buat Menpora dan Ketua Umum PSSI untuk menyamakan persepsi, visi dan misi. Menuju sepak bola bersih. Utamakan kepentingan nasional dan prestasi yang lebih tinggi. Demi bangsa dan merah putih.

menpora-dan-agum-gumelarzbq37.jpg

Menpora Imam Nahrowi dan Agum Gumelar Ketua Ad Hoc Reformasi PSSI. (Foto: sidomi)

Kalimat tersebut sempat terlontar dalam diskusi sepak bola di RRI Jawa Timur yang onair Jumat Pagi. Sebagai nara sumber saya mengajak semua kompenen sepak bola nasional untuk menjernihkan pikir. Berpikir positif serta mendinginkan hati. Semuanya bermuara pada kepentingan bangsa dan merah putih.

FIFA tidak akan mencabut hukumannya terhadap PSSI, jika pemerintah enggan merestui kepengurusannya. Di sinilah perlunya harmonisasi rumah tangga kedua pihak.

PSSI memang punya hak independensi sebagai organisasi, namun mereka telah “mendirikan rumah” di atas bumi pertiwi yang notanebe di bawah pengawasan pemerintah. Tidak pantas jika harus berjalan semua gue.

Itu sebabnya, melalui Menpora, pemerintah tidak ingin sepak terjang organisasi PSSI menggelinding tanpa kontrol. Menpora Imam Nahrowi menyebut Presiden Jokowi menekan agar reformasi di PSSI harus ditegakkan.

Ada tiga syarat yang diajukan Menpora agar reformasi berjalan sempurna. Pertama perlunya kerjasama dan koordinasi yang konstruktif antara pemerintah dan PSSI. Kedua, perlunya transparansi kinerja PSSI. Ketiga, PSSI harus segera menggelar Kongres Luar Biasa (KLB).

Satu dari tiga syarat tersebut, yang paling berat adalah syarat ketiga. Mengapa? Di sinilah harga diri independensi pengurus PSSI akan merasa dicabik-cabik oleh pemerintah. Untuk menggelar KLB, pemerintah harus mempelajari statute PSSI.

Menpora atau pemerintah, tidak bisa ikut campur tangan dalam urusan hukum atau aturan main organisasi PSSI yang termaktub dalam statuta PSSI itu.  KLB bisa dilakukan atas dasar permintaan Komite Eksekutif (Exco). Bukan permintaan pemerintah!

Komite Eksekutif harus mengadakan KLB, jika 50 persen anggota PSSI atau 2/3 dari jumlah delegasi (voter) membuat permohonan tertulis. Permintaan itu harus mencantumkan agenda yang akan dibicarakan.

KLB harus diadakan dalam waktu 3 bulan setelah diterimanya permintaan tersebut. Apabila KLB tidak diadakan, anggota yang meminta dapat mengadakan kongres sendiri. Sebagai usaha terakhir, anggota bisa minta bantuan FIFA.

Anggota-anggota akan diberitahukan mengenai tempat, tanggal, dan acara kongres, sekurang kurangnya 4 minggu sebelum KLB. Jika KLB diadakan atas inisatif Komite Eksekutif maka komite harus menyusun anggota kongres. 

Apabila KLB diadakan atas permintaan anggota, acara tersebut harus mencantumkan materi yang diajukan oleh anggota tersebut. Dan, agenda acara KLB tidak dapat diubah.

KLB ini baru bisa digelar jika ada lampu hijau Sang Ketua. Dalam hal ini,  La Nyalla Mattalitti. Di tangan La Nyalla lah, KLB itu bisa berlangsung. Kenapa? Jika La Nyalla tidak bersedia melepas jabatannya sebagai mandatoris Kongres di Surabaya, maka KLB tidak bisa diadakan.

Mampukan Menpora berkomunikasi dengan Nyalla? Di sinilah pertaruhannya. Nyali Menpora bakal diuji Nyalla. Rekonsiliasi tingkat tinggi dan penuh emosi, pasti mewarnai pertemuan Arek Jawa Timur ini.

Untuk mencapai kata sepakat, kedua tokoh harus menggunakan bahasa komunikasi yang sama. Bahasa olahraga. Penuh sportivitas!

Jika keduanya masih berseragam dinas atau jabatan, bukan mustahil terjadi deadlock. Mereka harus rela melepas ego. Melepas songkok.  Melepas semua senjata pamungkasnya. Harus berani membuka kacamata gelapnya. 

Pendek kata! Mereka harus “telanjang” . Berani mengganti pakaian baru. Pakaian sepak bola nasional. Yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Demi masyarakat bola Indonesia.

Hal itu perlu digarisbawahi, lantaran hingga artikel ini saya rilis, kubu pemerintah masih merasa di atas angin. La Nyalla sendiri yang mulai cair dan menyambut baik kepedulian presiden, kini  masih berada di Zurich Swiss, untuk menghadiri Kongres FIFA.

SUARA MEDIA

Sejak Agum Gumelar membuat pernyataan yang dirilis berbagai media, langsung dikonter pihak pemerintah. Hingga Jumat malam, Agum masih menjadi bulan bulanan media. Ia dianggap menjadi newsmaker.  

Nara sumber dari pihak pemerintah dan pendukungnya bagai kebakaran jenggot. Reaksi mereka pun menjadi makanan renyah awak media. Hampir sebagian besar media menyuarakan nada yang sama. Agum salah persepsi. Atau sengaja bikin sensasi. 

Bahkan,  suara media sosial lebih kejam lagi. Agum dianggap melintir hasil pertemuannya dengan Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla dan Menpora Imam Nahrowi.

Suara-suara media itu tidak lepas dari sikap Nahrowi sendiri yang Kamis malam lalu sempat komentar bahwa presiden tidak pernah menyetujui pencabutan pembekuan PSSI. Presiden hanya meminta dirinya mengkaji secara komprehensif draft pencabutan SK Pembekuan PSSI. 

PSSI dibekukan pemerintah pada April 2015. Ini menyusul sikap PSSI yang tidak menghiraukan tiga surat peringatan yang dikeluarkan Kemenpora. Tiga surat itu muncul lantaran PSSI tidak memenuhi rekomendasi BOPI soal status Persebaya dan Arema.

Namun begitu, Nahrowi menyebut  pemerintah tak pernah membekukan PSSI, melainkan hanya memberikan sanksi administratif dengan tak mengakui kegiatan sepak bola nasional. Pria berusia 42 tahun tersebut juga berharap masyarakat untuk bersabar menantikan hasil kajian yang bertujuan untuk kebaikan bersama.

Dalam waktu 1-2 hari ke depan, kemenpora akan melakukan kajian terkait apakah perlu pembekuan itu dicabut atau tidak. Namun, jika pembekuan itu harus dicabut, maka ada beberapa syarat yang diajukan oleh pemerintah.

Demi mengejar deadline 48 jam itu, tim kemenpora sudah melakukan rapat intensif sejak Kamis malam. Mereka mengkaji lebih dalam lagi apa saja sisi positif dan negatif jika SK pembekuan dicabut. Hasil kajian itu segera dilapor ke menteri.

Juru Bicara Kemenpora Gatot S Dewa Broto  menyebut alasan pencabutan sanksi tersebut, demi mengantisipasi adanya turnamen-turnamen internasional ke depannya. Seperti Piala AFF 2016, SEA Games 2017, dan Asian Games 2018 di mana Indonesia jadi tuan rumah.

Gatot juga mengklarifikasi pernyataan Agum bahwa PSSI sudah aktif kembali karena sanksi dicabut. "Kami masih mengkaji 7 opsi dan akan menyampaikannya kepada Presiden. Semuanya bersyarat dan bertahap. Kami harap semua bersabar. Reformasi sepak bola ini memerlukan kesabaran agar berhasil," paparnya.

Setelah draf surat pencabutan ini selesai, Menpora akan langsung menyerahkan kepada Presiden Jokowi. Nantinya keputusan berikutnya ada di tangan Presiden Jokowi. PSSI pun nantinya dituntut melaporkan kepada FIFA bahwa persyaratan pencabutan ini bukan campur tangan pemerintah. "Tapi inilah persyaratan pemerintah kepada PSSI," ungkap Gatot.

Nantinya hasil pengkajian tersebut akan dipelajari dulu oleh Presiden Jokowi. Semua keputusan, kapan pembekuan akan dicabut tergantung dari Presiden Jokowi dan hal itu belum diketahui waktunya.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengakui Presiden tak ingin masalah persepakbolaan nasional menjadi berlarut-larut. Presiden berharap segera ada jalan keluar, sehingga timnas bisa kembali berlaga di kompetisi internasional.

Untuk status sanksi Indonesia di tangan FIFA sendiri, baru akan ditentukan pada Kongres Tahunan FIFA di Meksiko pada 12-13 Mei mendatang. 

By Pesantren Jurnalis 

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda