Berawal dari Keyakinan (3)

Pada 2008, Anggun Busana di Jl. Pemuda masih terbuka dan belum ber-AC. (Foto: cowasjp.com)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Akhmad Zaini 

---------------------------------------

MEMULAI usaha apapun, kalau dari bawah-wah alias dari nol prutul, --dalam artian jenis usaha yang dibuka baru, modal yang dimiliki juga sangat minim--tentu sangat berat. Banyak lika-liku yang harus dilalui. Banyak juga kesalahan-kasalahan yang terjadi sebagai bentuk trial and error. Jika mengingat-ingatnya sekarang, saya sering tersenyum-senyum sendiri. Geli!

Sungguh, ini bukan karena sekarang saya sudah merasa berhasil. Bukan! Saya belum apa-apa! Saya sadar perjalanan masih sangatlah panjang. Lika-liku menggeluti usaha masih teramat panjang. Dan saya rasa, selagi nyawa masih di kandung badan, maka proses itu akan terus berjalan. 

Namun, paling tidak kini usaha tidak sebegitu ‘’menyiksa’’ lagi. Usaha bisa dijalankan lebih santai. Saya bisa ngajar. Saya juga bisa aktif di tengah-tengah masyarakat. Di tangan sejumlah karyawan, usaha tetap jalan. Uang berputar. Barang bisa datang sendiri hanya cukup dengan order via email, WA atau BBM. Bahkan, beberapa sales juga menawarkan barang, bayar belakangan. Tapi, toh demikian, tidak semua bisa diterima. Yang tak memenuhi kualifikasi, dengan berat hati saya ditolak.   

Dulu, di awal memulai usaha, saya sempat kulakan ke Tangerang atas saran Pak Safi’i Zemud (kini bagian iklan JP Jakarta) yang kebetulan rumahnya di sana. Saya datangi beberapa tetangga Pak Zemud yang berprofesi sebagai penjahit. Saya pesan ke mereka. Sepuluh hari kemudian, pesanan baru jadi dan harus saya ambil. Tidak banyak. Hanya beberapa potong saja.

Ini benar-benar menggelikan. Mengapa pada waktu itu tidak kulakan ke Tanah Abang? Padahal rumah kontrakan saya di Batu Sari, yang relatif dekat dengan Tanah Abang. Setiap hari, ketika hendak liputan ke Istana, saya juga melewati Tanah Abang. Tapi, mengapa tidak ke situ? Itulah proses. Pikir saya kala itu, ambil di pengrajin langsung lebih murah. Ternyata, lebih mahal dan butuh waktu yang cukup lama. Sama sekali tidak praktis. Bukan untung yang saya peroleh, tapi buntung alias merugi-lah yang akhirnya menyapa.

Yang menggelikan lagi, ketika sudah tahu tempat kulakan di Tanah Abang, proses pengiriman juga tidak otomatis saya ketahui. Akhirnya, setiap kulakan, saya harus mengangkat sendiri beberapa plastik kresek yang berisi baju ke  dalam mobil. Padahal, jarak antara tempat kulakan ke tempat parkir mobil cukup jauh. Jadi, di saat istri muter-muter cari barang, saya mondar-mandir mengangkut barang ke mobil. Terus sampai tangan benar-benar pegal dan jari jemari terasa pedas karena terbelit rafia.

Kerjaan cukup di situ? Tidak. Setelah barang terangkut ke rumah kontrakan, saya harus mengepak ke dalam kardus besar yang saya beli di pinggir jalan. Biasanya kardus bekas rokok atau teve. Setelah semua beres, barang harus saya kirim via kantor Pos Besar di Pasar Baru. Pakai paket biasa. Kurang lebih baru satu minggu sampai ke Tuban. Biaya pengiriman juga relatif mahal. Benar-benar tidak efisien!

Tapi, itulah proses yang harus dijalani. Sejak awal, saya sadar diri. Saya tidak boleh iri dengan orang lain yang ‘’takdirnya’’ lebih baik. Orang tuanya sudah punya usaha dan tinggal melanjutkan, atau paling tidak orang tua bisa back up modal dan jaringan. Karena itu, saya ikhlas menjalani semua proses itu. Saya jalan…dan jalan terus.. tanpa menengok ke kanan dan ke kiri. Ini proses belajar kehidupan.

Jadi, menurut saya, di awal-awal membuka usaha, selain harus mengeluarkan modal, pikiran dan tenaga yang ekstra, yang tidak kalah ringannya adalah mengatur hati. Mengatur mental. Jika mental tidak benar-benar kuat, bisa-bisa kita balik kanan. Loyo dan tidak meneruskan niat untuk menjadi pedagang. Apalagi profesi wartawan menjanjikan banyak hal. Sebagai wartawan politik, misalnya, saya punya peluang untuk melanjutkan karier sebagai politisi. Menurut pandangan umum, tentu pilihan itu lebih enak, lebih menjanjikan dan lebih prestise.

Terkait dengan ini, saya punya cerita yang cukup mengharukan. Niam Salim, mantan duta besar di Aljazair dan meninggal dunia saat masih menjabat dubes di sana sekitar 2 tahun lalu, berkali-kali menghubungi saya via HP. Dia benar-benar tidak bisa memahami pilihan hidup saya: meninggalkan Jakarta dan memilih jadi bakul baju di Tuban. Menurut dia, seharusnya saya bertahan di Jakarta dan meniti karier politik seperti dirinya. 

Bahkan, sekitar satu bulan sebelum meninggal, dia juga masih kirim SMS ke sana. Saya diminta mampir ke rumahnya di Ngaliyan, Semarang. Padahal, rumah itu hanya ditunggui oleh pembantu rumah tangga. Dia sendiri saat itu berada di Aljazair. Permintaan aneh! Tapi, entahlah.. apa yang ada dipikirannya? Dan, saya sangat menyesal karena tidak bisa menuruti keinginan terakhirnya itu. 

Kang Niam –begitu biasanya saya memanggil—memang punya alasan kuat untuk berpikir seperti itu. Sebab, ketika di awal-awal dia masuk ke Jakarta, dia ke sana ke mari dengan saya. Pertemuan-pertemuan dengan sejumlah tokoh politik nasional pun juga dengan saya. Dan, meskipun mobil yang saya miliki hanyalah mobil Katana tua (1991), namun mobil itu pulalah yang menjadi alat transportasi kami menusuri jalan-jalan Jakarta.  

Sudahlah. Kalau sampeyan tanya, seberapa besar usaha yang saya kelola di Tuban, maka jawabannya; usaha saya kecil. Sama sekali tidak membanggakan. Tak patut dipamerkan. Namun, saya bahagia.’’ Itulah jawaban yang berkali-kali saya ucapkan ketika mendapat pertanyaan dari sahabat saya asal Jepara, Jateng ini. 

Jadi, godaannya benar-benar banyak. Karena itu, sejak awal, harus punya niat dan keyakinan kuat bahwa profesi pedagang adalah profesi terbaik yang akan ditekuni. Yang diyakini menjanjikan banyak hal. Lebih bagus lagi kalau keyakinan itu, didasari landasan agama, yakni untuk mencari rejeki yang halal dan barokah. Jika keyakinan itu ada dan benar-benar kuat, seberat apapun perjalanan yang harus dilalui, maka akan dilaluinya dengan senang hati. Langkah akan terayun dengan ringan. 

Semangat harus tetap dijaga. Pengalaman saya, saat usaha belum ada apa-apanya (masih sangat kecil, meski untuk ukuran Tuban sekalipun), saya selalu menyemangati diri dengan menyamakan usaha saya dengan Matahari dan Ramayana yang sama-sama jual busana. Saya membayangkan, di suatu ketika, jika saya bekerja keras dan Allah menghendaki, tidak mustahil usaha saya juga bisa berkembang seperti mereka. ‘’Khan sama-sama jual baju? Kalau mereka bisa besar, mengapa saya tidak bisa? Saya rasa, mereka dulu juga berawal dari kecil,’’ ucap saya berkali-kali.

Mungkin, asumsi dan keyakinan saya itu salah. Salah Besar, mungkin! Matahari dan Ramayana terlalu besar untuk saya samakan. Namun, itulah yang selalu menyemangati saya. Hingga kini, entah bisa tercapai atau tidak, saya masih terbayang-bayang punya pusat perbelanjaan muslim. Namanya Muslim Center. Nama itu, kini sudah saya pakai di belakang nama Anggun Busana. Jadi, di kalender atau banner saya sering menyebut dengan nama, ‘’Anggun Busana Muslim Center’’.

Mimpi! Ya.. itu mimpi! Tercapai apa tidak? Wallahua’lam! Cuek saja! Yang penting jadi semangat. Semangat  45! Selesai. Titik.

Persoalan mental lain yang juga harus ditata adalah soal mental untuk tidak buru-buru menikmati hasil usaha. Pengalaman pribadi saya, baru 4 tahun hasil usaha bisa saya nikmati. Mungkin terlalu lama dan lambat. Tapi, itu adalah konsekuensi. Sebab, ketika awal membuka toko, saya belum fokus.

Perhatian masih fokus di pekerjaan pokok sebagai wartawan.  Usaha masih menjadi sampingan. Inilah pilihan. Untuk memilih amannya, seperti saya tuturkan dalam tulisan yang pertama.

Terkait tidak menikmati hasil ini, karena modal yang saya miliki sangat minim, yang tidak saya nikmati bukan hanya hasil usaha. Gaji dan bonus yang saya peroleh dari JP pun bisa dikatakan tidak saya nikmati. Saya hanya memakai sekedarnya untuk keperluan sehari-hari. Selebihnya saya manfaatkan untuk memperbesar usaha. Dan itu, terus berjalan hingga 2006 (empat tahun membuka usaha atau 7 tahun bekerja di JP).  

Sampai sekarang pun, bisa dikatakan, saya juga belum menikmati sepenuhnya. Hasil usaha masih terus saya investasikan. Hanya sesekali berhenti untuk melihat ke bawah. Seperti orang naik gunung, suatu ketika perlu duduk sejenak di lembah. Melihat ke bawah menikmati panorama yang sangat indah dan menakjubkan. Dan, dari sanalah rasa syukur bisa terbangun. Ternyata, Allah telah memberikan nikmat sedemikian besar. Ternyata, kita naik sudah cukup tinggi. Banyak orang di bawah kita. Subhanallah wal hamdulillah..! (Habis) 
  

 

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda