Dunia Terbalik

COWASJP.COMDALAM HATI saya membatin: Tak hentinya kita tertawa geli memandangi seisi dunia. Karena dunia kita yang serba terbalik. Seperti tayangan sinetron “Dunia Terbalik” yang setiap malam disuguhkan kepada para pemirsa di seluruh tanah air. 

Apakah kita bangga melihat perkembangan zaman? Atau bisa jadi sebaliknya, kecewakah kita? Sedih? Muak melihat kenyataan? Karena membiarkan masing-masing diri kita memainkan peran yang terbolak-balik. 

Seperti dalam sinetron itu. Bagaimana mungkin ayah memainkan peran seorang ibu dalam mengurus anak dan rumah tangga. Sebaliknya, ibu memainkan peran ayah dalam mencari nafkah. Bagaimana mungkin kita membiarkan wanita baik-baik kita menelanjangi dirinya dengan penuh pasrah sebagai “babu” di negeri antah berantah yang jauh. Bagaimana mungkin kita membiarkan anak-anak kesayangan kita tumbuh dewasa sebelum waktunya. Memikirkan apa yang belum patut mereka pikirkan. Menyaksikan dunia yang terbolak-balik sebagai suatu keniscayaan apa adanya. 

Kadang-kadang “mindset” kita yang terbolak-balik. Kadang kata-kata dan hasil olah budi bahasa kita yang terbolak-balik. Beda apa yang berdetak di dalam hati dengan ucapan. Beda ucapan dengan perbuatan. Beda ucapan yang pernah terlontar ke hadapan publik dengan apa yang akan dikatakan kemudian. Sehingga berbohong menjadi keseharian yang intens. Dusta menjadi keseharian yang tidak bisa hilang. 

Sambil membiarkan seulas senyum menjuntai di bibir, mungkin kita masih bisa berucap sinis: Biarlah! Biarlah Merana. Persis seperti judul lagu dangdut yang disenandungkan Lesti d’Academy. Perasaan kita nyaman diombangambingkan senandung lagu yang sendu. Sementara di dalam hati kita merintih. Menjerit membiarkan airmata luruh ke dalam kalbu, tanpa mampu berbuat sesuatu.

*

UNGKAPAN melankoli seperti itu tak boleh tidak dirasakan sebagian anak bangsa belakangan ini. Ketika harga barang-barang kebutuhan pokok melambung-lambung tiada henti. Sementara sumber penghidupan semakin sulit dicari. 

Dulu, angin sorga itu selalu ditiupkan di setiap tempat, di setiap waktu. Bahwa uang ada, kita bahkan punya banyak, untuk menggerakkan roda pembangunan. Tapi sekarang yang ada adalah memperbanyak hutang. Yang ada adalah menghapuskan segala bentuk subsidi, sehingga tidak peduli betapa pun berat penghidupan rakyat banyak. 

Janji-janji untuk memperbaiki hidup rakyat dulu juga tidak henti diumbar di sana-sini. Yaitu, dengan menciptakan ribuan lapangan kerja dalam tempo singkat. Tapi yang ada adalah lapangan kerja itu tetap sulit. Tingkat pengangguran yang dijanjikan akan dipangkas seperti memangkas rumput basah, ternyata hanyalah janji kosong melompong. 

Dulu dijanji-janjikan akan menciptakan swasembada pangan dan meningkatkan harkat hidup kaum petani. Tapi yang ada adalah peningkatan impor yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Yakni pihak-pihak yang dapat merajut komitmen berbagi untung dengan pihak berwenang. Yang ada adalah impor, impor dan impor. Bahkan garam dapur pun kita impor, ketika sejak di usia SD kita sudah diperdengarkan dengan sebutan sebuah pulau garam milik kita. 

Terlalu banyak janji yang tidak terpenuhi, sehingga semakin nyata betapa dunia kita kian terbalik. Kalau kita mau tagih sekarang, kita mau tagih janji untuk menyediakan lahan pertanian semakin banyak bagi kalangan petani kita. Karena, waktu itu, dikatakan lahan pertanian terlalu banyak yang dijadikan lahan tambang maupun perumahan. Karenanya jika berhasil memegang tampuk kekuasaan, semua itu akan diubah. Tapi tanpa sadar sekarang kita melotot melihat data dan informasi yang ada. Bahwa sebagian besar lahan milik bangsa ternyata dikuasai oleh asing dan aseng. 

Kalau kita mau menagih janji, kita ingin tagih janji tentang pembentukan Bank Tani. Bank yang dimaksudkan untuk mengurangi impor bahan pangan. Begitu juga janji untuk mengurangi impor, menciptakan ketahanan pangan dan energi. Sudah terbukti, ternyata ketahanan pangan kita sangat tidak meyakinkan. Semakin nyata bahwa energi bagi pemenuhan kebutuhan rakyat banyak sekarang termasuk yang termahal di dunia. 

*

MEMBACA begitu banyak data tentang dunia kita yang terbolak-balik sekarang ternyata semakin mudah. Semakin gampang karena begitu banyak datanya yang terhampar telanjang. Tanpa dapat ditutupi, sehingga memang tidak perlu lagi ditutupi. Semua rahasia dapur kita terbuka begitu lebar. 
Begitu sesak rasanya dada kita bila melihat penghidupan anak bangsa yang centang prenang secara ekonomi. Padahal di sisi lain, dunia hukum dan kehidupan berbangsa dan bernegara kita juga tidak kurang menyesakkan dada. 

Betapa tidak, ketika berharap para pemimpin memberikan teladan yang baik, ternyata hari demi hari semakin banyak dari mereka yang menjadi pasien KPK. Berharap penegakan hukum kita semakin tegas, tapi yang kita saksikan hari demi hari adalah drama-drama di balik kasus hukum. Yang kita tonton adalah pameo lama bahwa “semua bisa diatur”. Ya, selamanya akan selalu ada: “Semua bisa diatur!” Karenanya palu hukum itu tetap saja hanyalah palu karet. Ibarat parang yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. 

Semua terbalik dari apa yang diharap. Semua terbalik dari apa yang dipinta. 

Saking terbolak-baliknya dunia kita, hari-hari ini rasanya kita tidak boleh lagi berharap. Satu-satunya harapan yang dapat kita gantungkan adalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karenanya janganlah pernah berhenti kita berdo’a: Ya, Rab! Tunjukilah para pemimpin kami, sehingga mereka mampu mengarahkan kapal raksasa yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini ke arah jalan yang benar. Jalan yang akan menjadikan bangsa ini bangsa yang besar dan sejahtera. Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur! (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda