Bolehkah Wong Cilik Protes pada Traffic Light?

ILUSTRASI: Foto-foto: istimewa

COWASJP.COM – ockquote>

pengantar-benar-OK5cVG.jpg

TRAFFIC LIGHT bukan mahluk hidup. Benda itu hanyalah buatan manusia yang makin cerdik. Tepat atau tidak tepat fungsinya bergantung dari manusia yang memrogramnya.

Sabtu dinihari 24 Juni 2017 lalu, kami mudik dari Sidoarjo ke Sragen. Dalam perjalanan itulah kami masih menemukan cukup banyak traffic light (lampu lalu lintas di persimpangan jalan) yang tidak proporsional. Dari tahun ke tahun masih saja seperti itu.

Arus lalu lintas yang padat dari arah Surabaya ke Solo dan sebaliknya harus "kalah" oleh arus lalu lintas dari arah selatan dan dari arah utara yang lebih sepi kendaraan. Baik di siang hari maupun malam hari.

Koq bisa?

Bisa! Sebab, durasi lampu merah untuk arus kendaraan Surabaya - Solo yang padat lebih lama dari durasi lampu merah untuk jalur sepi yang dari selatan dan utara. Akibatnya, kendaraan yang dari Surabaya atau dari Solo harus berjejal menunggu lampu hijau. 

Mengapa instansi yang berwenang memasang dan memrogram durasi traffic light, dalam hal ini Departemen Perhubungan, tak segera melakukan koreksi? Apakah menunggu terjadinya "Tragedi Brexit" dulu baru kemudian tergopoh-gopoh mencari kesalahan dan mengoreksinya?

Kita patut berbangga dengan sederet prestasi fenomenal Dephub. Antara lain semakin banyaknya Bandara yang nyaman dan canggihnya . Namun, masih ada yang perlu dibenahi. Antara lain membuat traffic light menjadi lebih adil dan proporsional. Jalan raya dan jalan utama angkutan manusia dan barang harus lebih diprioritaskan dari jalan yang bukan utama.

bangjo1fDzGJ.jpg

Di satu perempatan jalan di Nganjuk misalnya, kendaraan dari Surabaya harus berhenti 30 detik, sedangkan yang dari selatan hanya berhenti 20 detik. Padahal yang dari selatan tidak ada satu pun kendaraan yang terlihat. 

Masalah ini mungkin dikatakan sepele, akan tetapi dari sini bisa terukur rasa keadilan yang membuat dan memrogramnya.

Dan, hal ini dibiarkan seperti itu bertahun-tahun. Orang awam atau wong cilik bisa menyimpulkan, bahwa Dephub tak pernah check and recheck fungsi traffic light. Tak pernah blusukan melihat hal nyata yang menyesakkan para pengguna jalan.

Di dalam suasana yang Fitri ini perkenankan wong cilik menyuarakan isi hatinya. Isi hati wong embongan, seperti pengemudi bus, pengendara sepeda motor dan lain-lain. Kenyamanan perjalanan ternyata bisa juga didapatkan dari traffic light yang proporsional.

Kadang kita berangan-angan, andai yang mengatur lalu lintas di persimpangan jalan adalah Bapak Polisi atau traffic light-nya diatur manual oleh Bapak Polisi, pasti pengaturannya lebih adil. Harus berapa detik lampu merahnya pun disesuaikan dengan fakta di lapangan. 

Semoga suara hati wong cilik ini diperhatikan oleh Dephub. Mohon maaf lahir dan batin. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda