Uganda yang Anti Rokok dan LGBT

Kompol Ninayani (kanan), Polisi Perdamaian PBB di Uganda dan Sudan Selatan,(Foto istimewa)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Slamet Oerip Prihadi

----------------------------------------

ADA pesan menarik via facebook dari Kompol Ninayani, 40 tahun, dari Kampala, ibukota Uganda di Benua Afrika. Inti ceritanya, perokok akan merasakan berada di neraka bila mereka ke Uganda. Tapi lebih bahaya lagi bagi kaum LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender). 

Kebetulan Kompol Nina adalah tetangga kami di Tropodo Indah, Waru. Hanya selang 3 rumah di sebelah timur rumah kami. Ayahnya, pensiunan Polri, AKBP Bambang Setiawan, adalah sahabat. Tetangga, tapi hubungan kami sangat baik seperti saudara sendiri. Suami Ninayani juga Polri, yaitu Kompol Eddy Hartono, yang dikenal sebagai komandan Bonek Hoofdbureau. 

Kompol Ninayani, dari Polda Jatim, bersama dua Polri lainnya dari Indonesia terpilih sebagai Polisi Perdamaian PBB di Republik Sudan Selatan selama satu tahun. Tapi, sebelum masuk Republik Sudan Selatan, Nina harus menjalani proses introduksi di Kampala, ibukota Uganda. Republik Sudan Selatan adalah negara tetangga persis di sebelah utara Uganda. Setelah menjalani proses introduksi satu bulan di Kampala, barulah masuk Republik Sudan Selatan.

Inilah pesan yang diunggah Kompol Nina Yani di facebook:
Sabtu 27 Mei 2017

Ceritera dari Uganda

Menjadi seorang traveller menurutku cmn satu syaratnya, easy going. Ya, easy going, santai dgn akal sehat.

Ini adalah kali pertama sy menjejakkan kaki di benua Afrika. Uganda, di sini sangat dilarang merokok sembarangan, hampir tidak pernah terlihat orang merokok dari perjalanan saya selana 1,5 jam dr Bandara Entebbe ke Kampala, ibukota Uganda. 

Restoran tdk ada ruang utk merokok, di mall juga tdk ada smoking area, boleh sih tapi di parkiran. Eh tapi diusir juga, ada orang lain di parkiran yg tdk suka dgn bau asap rokok. 

Di hotel pun has no smoking area, merokok di luar pintu hotel pun di usir. Hahaha...

Satu lagi, LGBT dilarang kerass. Pernah nih ada gay yg tertangkap, langsung ditembak mati tanpa proses persidangan. 

uganzpB8q.jpgSalah satu sudut kota Kampala, ibukota Uganda. (foto Wikipedia)

So, hati2 bagi traveller yg agak "melambai", bisa-bisa langsung kena denda besar dan dipulangkan ke negara asal. Kalau LGBT-nya warga Uganda, ya langsung dihukum tembak mati tanpa proses persidangan.

Bandara Internasional Entebbe adalah pintu masuk ke Uganda. Penampakannya memang sangat biasa. Mungkin Indonesia tahun 80-an, sayangnya bagasi screeningnya cuman satu. Bisa dibayangkan kan, kalo satu pesawat 300-an orang dengan bagasi dan bawaan yang ribet antri di satu mesin. 

Ga perlu orang sabar, hanya perlu org yg easy going, santai wae pak bro. 

Every place has its own local wisdom, masing-masing tempat punya ke-khas-an masing-masing. Dan itu semua menarik. 

Buat saya apa yg dilalui perlu diinformasikan, karena itu baik buat traveller lain yg ingin berkunjung ke tempat yg sama. 

Nb: jangan ambil foto sembarangan, bukan apa2, bahaya jambret hape.

  **

Dari cerita ibu seorang puteri ini, kita seharusnya bersyukur hidup dan menjadi warga negara Indonesia. Indonesia adalah produsen rokok kretek (buatan mesin dan tangan) terbesar di dunia. Produsen tembakau dan cengkih terbesar juga di dunia. Memang, di Indonesia ada larangan merokok di tempat-tempat tertentu. Namun, puluhan juta perokok di Indonesia masih merasakan kebebasannya untuk menikmati rokok.

uganda1In2GF.jpgSuburban di Kampala. (Foto Wikipedia)

Mungkin, karena Uganda bukan produsen tembakau, cengkih, dan rokok, maka mayoritas warganya anti rokok. Begitulah Uganda yang berpenduduk 37,8 juta jiwa itu. Siapa tahu ada traveller Indonesia yang perokok ke sana, entah kapan, harus siap mental untuk puasa merokok selama berada di sana.

Tidak merokok di Uganda bagi perokok sejati tentu sangat berat. Tapi seberat-beratnya puasa merokok, kita masih tetap hidup dan bisa berada di Uganda. Yang parah adalah kaum LGBT. Tidak ada ampun lagi. Yang turis asing didenda dan langsung dideportasi. Yang warga asli Uganda langsung ditembak mati. Tidak ada ruang hidup lagi bagi kaum LGBT, baik individu maupun organisasi di Uganda.

Pada 2009 Parlemen Uganda membahas Undang-Undang Anti Homosex dan merumuskan hukuman mati bagi kaum LGBT. Undang-undang tersebut kemudian ditandatangani oleh Presiden Uganda Yoweri Museveni pada 20 Desember 2013.

uganda2xgCp.jpgMurid-murid sekolah di Uganda. (Foto Wikipedia)

Pro-kontra tentu ada. Terutama dari negara-negara Eropa. Pada 28 Februari 2014, Bank Dunia (World Bank) pun menunda bantuannya sebesar USD 90 juta. Tapi Uganda tak goyah dengan kebijaksanaan dalam negerinya. Eropa dan AS (Amerika Serikat) ribut soal LGBT.

Tapi mereka tidak ribut dan boleh dibilang tidak peduli dengan kemiskinan yang merajalela di Uganda. Perlu dicatat, Uganda adalah bangsa termiskin di dunia. Data tahun 2012, tercatat 37,8 persen dari total penduduknya atau sekitar 14 juta warganya hidup dengan uang kurang dari USD 1,25 = Rp 16.750 per orang per hari. Sangat menyedihkan.

Yang lebih menyedihkan lagi, penyakit HIV merajalela di Uganda.

Mungkin itulah sebabnya pemerintah Uganda tak mau dipusingkan lagi dengan problem LGBT. Solusinya: tembak mati. Tidak bisa ditawar lagi! Masalah Uganda harus diselesaikan oleh rakyat Uganda sendiri. Pihak asing boleh saja protes, tapi mereka tak pernah berbuat yang luar biasa untuk mengentas  rakyat Uganda dari kemiskinannya yang luar biasa itu. 

uganda3lyEx3.jpgRakyat Afrika sepakat tidak ada tempat buat LGBT. (Foto Okezone)

Perjuangan untuk memerangi kemiskinan dilakukan sampai sekarang. Perlahan-lahan perbaikan ekonomi dilakukan. Tahun 1992, warga yang sangat miskin mencapai 56 persen dari total jumlah penduduk Uganda. Kini angka kemiskinan telah berkurang. 

Mereka yang miskin hidup di pedesaaan. Kehidupan warga pedesaan Uganda sangat bergantung di sektor pertanian. Uniknya, 90 persen wanita Uganda di pedesaan bekerja sebagai petani. Mereka menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Tiap hari mereka bekerja 12 sampai 18 jam sehari. Bandingkan dengan kaum pria Uganda yang rata-rata per hari hanya bekerja 8 sampai 10 jam.

Jelas, Indonesia jauh berbeda dengan Uganda. LGBT langsung ditembak mati di Uganda. Di Indonesia tidak. Mungkin yang perlu dikaji adalah, apakah tingkat bahaya LGBT di Uganda sama dengan tingkat bahaya korupsi di Indonesia? Kalau ternyata sama tingkat bahayanya buat kehidupan bangsa, beranikah Indonesia menerapkan hukuman mati buat koruptor? Tanda tanya besar. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda