Di Balik Sukses Persebaya v PSIS (2)

Hikmah Berpisah dengan Dahlan Iskan

COWASJP.COM – TELAH kami ceritakan dalam laporan sebelumnya, bahwa kami bersama empat sedulur mantan karyawan Jawa Pos Group (CowasJP) tret tet tet ke Gelora Bung Tomo bersama God Father JP Group,

Dahlan Iskan. Tiket VIP dibelikan oleh beliau, karena beliau memang mengajak kami. Kami naik bus VVIP nomor 1 berangkat dengan 8 bus VVIP lainnya dari depan Graha Pena.

Di depan ada mobil voorijder Polrestabes Surabaya, diperkuat dua sepeda motor pengawal.

Namun, 2,5 KM sebelum sampai Gelora Bung Tomo - tak jauh dari jalan raya Surabaya-Gresik - rombongan bus keluarga besar JP sudah tidak bisa maju lagi. Terbendung puluhan ribu Bonek dan belasan ribu sepeda motornya.

Saat itulah Pak Dahlan spontan turun bus dan ingin mencari tahu apa penyebab kemacetan luar biasa itu.

Karena beliau turun, kami ikut turun. Staf Presiden Persebaya, namanha Kia, juga ikut turun.

Kami pun berjalan setengah berlari mengikuti Pak Dahlan dengan dikawal tiga personel Kepolisian yang mengenakan kaos anyar Persebaya.

DAHLANXw1Vn.jpg

Dahlan Iskan dan anggota Cowas JP, Eko Budiono. (Foto cowas.)

Ternyata sepanjang 2,5 KM itu memang padat mampat Arek- Arek Bonek berdesak-desakan dari tepi jalan ke tepi lainnya.

Dalam sengatan cuaca gerah menyengat kami berjalan cepat. Paling depan petugas Polri dengan megaphone-nya minta diberikan jalan. "Minta jalannya, Dulur! Bapake.Bonek Pak Dahlan mau lewat.

Terima kasih." Begitu diucapkan berulang-ulang.

Hampir semua Bonek kenal Pak Dahlan. Touch tangan dilakukan berkali-kali sambil berjalan. Kadang berhenti untuk dialog sejenak.

"Mestinya ada petugas Polisi yang mengatur sepanjang jalan masuk.ke stadion. Kayaknya 1.500 personel terkonsentrasi semua di stadion," kata Pak Dahlan.

MAHESA-SURYADIuv6c3.jpg

Anggota.Cowas JP, Soerijadi (kanan) dan Boss JTV, Mahesa. Foto.cowasjp

Jalan lanjut lagi. Seorang Bonek usia belasan mengira saya pengawal Pak Dahlan. "He Rek, pengawale koq gepeng tuwek ngono. Hahahahaha."

Saya hanya bisa tersenyum. Anggap saja sosok saya sebagai hiburan bagi mereka yang kepanasan dan kehausan tidak bisa bergerak ke stadion. Mereka tidak tahu bahwa persis di belakang saya ada petugas Polisi yang mengawal.

Untunglah saya kuat jalan cepat sampai stadion mengiringi Pak Dahlan.

Area halaman stadion sudah penuh Bonek. Ada juga seorang Bonek bertubuh gempal mengawal kami.

Tapi kami harus berpisah. Dia ke gate 19 (ekonomi), Pak Dahlan belok kiri menuju gate.VIP.

Di dalam stadion sudah penuh Bonek dan penonton lainnya. Termasuk puluhan suporter PSIS di tribun barat daya. Arloji menunjukkan pukul 14.30.

bonek-bpolisiA7mq6.jpg

Inilah Bonek Hoofdbureau (Polrestabes Surabaya). Kompol Edy Kresno yang tengah. (Foto: istimewa)

Barulah kami tahu persis bahwa kemacetan total itu terjadi sejak 2,5 KM.sebelum stadion sampai masuk stadion. Itu yang dari utara (Romokalisari). Belum lagi yang dari selatan (Benowo).
Kami bisa merasakan derita perjuangan Bonek secara langsung.

**

Kita semua menyaksikan sukses luar biasa pergelaran uji coba Persebaya versus PSIS. Mulai dari rekor penjualan tiketnya, stadion diserbu sekitar 100.000 Bonek, pergelaran ini dihadiri Menpora Imam Nahrowi dan Ketua Umum PSSI yang baru, Letjen Edy Rahmayadi, dan aneka acara lainnya yang menarik. Manusia berjejal seperti itu, tapi semuanya berlangsung aman.

Namun, di balik sukses dahsyat itu terangkut pelajaran yang sangat berharga. Yaitu apa saja yang belum ditangani dengan baik.

Akan tetapi, kami berani menarik kesimpulan bahwa: Gelora Bung Tomo Tidak Layak buat Persebaya!

Stadionnya sih jelas memenuhi syarat karena standar AFC. Tapi jalan masuknya (akses) sangat tidak memenuhi syarat bagi klub Persebaya yang jumlah suporternya sangat besar. Juga bagi klub-klub besar lainnya.

ARIF-AFANDI9ihOm.jpg

Mantan Ketua.Cowas JP, Arif Afandi, juga tret tet tet. (Foto cowasjp)

"Jangankan 100.000 Bonek, dalam pengalaman kami baru 10.000 Bonek saja yang hadir di Gelora Bung Tomo sudah macet jalannya," tutur komandan Bonek Hoofdbureau, Kompol Edy Kresno. Beliau juga hadir di Gelora Bung Tomo saat uji coba Persebaya versus PSIS. Sebagai Bonek Hoofdbureau beliau memang selalu menemani Bonek. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban Bonek. Berbaur dan akrab dengan Bonek.

La wong lokasi stadion di tengah tambak dan dekat pembuangan akhir sampah jutaan warga Surabaya. Jalannya sempit hanya sekitar 6 meter. Tidak ada lahan parkir sama sekali karena tepi jalan langsung tambak.

Mau diatur bagaimana pun kalau aksesnya seperti ini jalan pasti macet berat. Apalagi ketika para penonton pulang dari stadion usai pertandingan. Puluhan ribu Bonek pulang serentak!

**

Nah saat pulang inilah Pak Dahlan berkata kepada saya. "Mas Slamet kita terpaksa pisah ya. Saya naik mobil ini (Alphard warna putih yang menunggu tak jauh dari pintu keluar tribun VIP), sampean balik ikut bus tadi. Sebab saya.harus menghadiri acara pernikahan."

"Ya Pak," jawab saya.

Budal bareng, mulih pisah. Tapi justeru perpisahan inilah yang memberikan hikmah luar biasa kepada saya.

Sejak di stadion saya sudah putus kontak dengan Cowas lainnya. Bukan hanya terpisah, HP pun jadi tidak berfungsi. Tidak ada sinyal sama sekali. Maka semakin kuatlah kesimpulan saya, Gelora Bung Tomo tidak layak jadi home ground klub besar sepakbola.

Keluar stadion pukul 18.15. Langit sudah gelap. Kalau tadi datangnya saya diikawal, sekarang betul-betul sendirian berjalan.sebagai Bonek paling tua.

Mendekati.pintu keluar stadion, kira-kira 500 meter.dari.pintu tribun VIP,  manusia makim berdesak-desakan. Energi panas semakin naik. Gerah sekali. Jangan-jangan bisa pingsan. Saya putuskan saya berhenti dulu saja. Secara perlahan saya.geser ke pinggir jalab. Cari tempat yang agak longgar. Alhamdulillah ada ruang tanah sekitar 4 x 3 meter di tepi tambak.

Ternyata tidak saya saja yang berhenti di situ. Belasan Bonek ABG juga ikut berhenti di situ. Juga ada ibu-ibu yang membawa anak kecil. Sudah ada ibu-ibu yang nyaris pingsan.

Lama kami berhenti di situ. Sampai sekitar pukul 21.30. Jalan agak longgar. Kami berjalan lagi ke.utara menuju posisi bus. Tapi kemudian oleh seorang Polisi Lalu Lintas di tepi jalan, saya disarankan pulang lewat selatan saja ke Benowo. Sebab jalan ke arah utara (Romokalisari) macet total. 

Saya patuhi.saran beliau. Saat itu, saya tidak langsung jalan, tapi berhenti istirahat lagi. Sudahlah saya naik apa saja nanti yang penting sampai di rumah Mas Koesnan Soekandar, Ketua Dewan Pengawas CowasJP. Sebab sepeda motor kami titipkan di situ.

Di saat berhenti di tepi jalan, di dekat saya ada seseorang lelaki setengah baya duduk di tanah dekat.sepeda motornya.

Saya kira beliau juga penonton. Eh ketika kami tegur, ternyata beliau Gojek. "Mari pak saya antarkan saja. Cuma Rp 30.000 sampai Jalan Ronggowarsito," katanya.

Tanpa saya tawar lagi. Oke. "Tapi santai dulu saja. Kita menunggu agak longgar. (Waktu sudah menunjuk pukul 22.00).

Saya tidak ingin buru-buru. Kalau agak longgar kita jalan pelan-pelan sambil cari warkop, pak. Kita ngopi dulu saja," kata saya.

"Ya pak. Cocok itu," jawab Pak Gojek yang baik dan saya lupa menanyakan namanya itu.

Dari situlah saya bisa melaporkan bahwa dua warkop terdekat habis semua persediaan airnya. Oleh pemilik warung diberikan kepada Arek-Arek Bonek karena kasihan melihat mereka kehausan.
Saya pun ingin ngopi dan minum air mineral karena haus sekali. Kopinya ada dan masih cukup banyak, tapi air putihnya yang habis.

Di warkop.kedua, pemilik warung laki-laki baru saja datang kulakan air mineral botol sedang 3 kotak. Tak lama langsung habis dibeli Bonek. Semuanya membayar. Tidak ada yang tidak bayar.

Kami bergerak lagi dengan Pak Gojek ke Warkop ketiga. Sekitar 2 KM dari.stadion. Posisi di kanan jalan. Alhamdulillah masih ada persediaan air putihnya. Kami pun ngopi di situ sambil merokok. Asyiiik tenan.

Hujan turun agak lebat. Kami lama berhenti di warkop ini. Sampai sekitar pukul 23.00 baru jalan lagi. Masih gerimis dan tidak ada jas hujan. Tapi jalan terus saja, sebab hujan seperti ini pasti awet. 
Masuk Benowo masih macet. Tapi sepeda motor masih.bisa gerak.perlahan di tepian. Mulai longgar di Jalan Manukan. 

Tiba di rumah Pak Koesnan, Jalan Ronggowarsito, pukul 23.45. Di Jalan Diponegoro masih banyak Bonek yang pulang ke selatan naik sepeda motor.
Saya mengira datang paling akhir. Ternyata Pak Koesnan dan kawan-kawan belum datang. Bayangkan pertandingan selesai pukul 18.00 sampai pukul 24.00 teman-teman belum datang.

Baru 15 menit kemudian mereka datang. Di situ saya baru tahu Pak Koesnan nggak bisa ke.stadion karena nggak berani jalan kali dari bus melewati lautan Bonek. Beliau memutuskan menunggu di bus saja.

"Wis lek ngene aku kapok. Nggak wani nonton nang GBT maneh. Wani nonton tayangan langsunge JTV ae," katanya. Trauma.

Makin jelas, bahwa GBT tidak layak buat Persebaya. Home ground harus pindah ke.Stadion Bangkalan atau Gelora Delta atau Stadion Petrokimia Gresik. 

Surabaya harus mengakui kenyataan pahit ini. GBT stadion terbesar dan termegah di Jatim, tapi tidak layak untuk kompetisi nasional apalagi kompetisi internasional. Dengan akses seperti itu pasti AFF dan AFC menolak pertandingan di GBT. Semoga.Walikota.Bu Risma segera menyiapkan akses baru, lebar 40 meter dua arah, dari jalan raya Surabaya-Gresik langsung lurus ke GBT. Juga membangun lahan parkir yang luas dekat stadion.

Ini karena Panpel Persebaya sekarang melarang Bonek parkir sepeda motordi areal stadion dekat gedung Surabaya Sport Center. Jangan biarkan GBT yang biaya pembangunannya ratusan miliar rupiah itu mubazir.(*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda