Keikhlasan dan Keteladanan, Roh Pondok Gontor

Bedah Buku Trimurti, Jadi Ajang Nostalgia dan Reuni

Bahtiar Syamsudin, alumni Gontor seangkatan CowasJP Nasmay L Anas. (Foto: Erwan/CoWasJP)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Erwan Widyarto

-----------------------------------

ANDAIKAN muridku tinggal satu akan tetap kuajar. Andai yang satu ini tiada, aku akan tetap mengajar dunia dengan pena.”

VISI pendidikan yang sangat dalam maknanya ini merupakan visi Kiai Santosa, cikal bakal pendiri Pondok Modern Gontor. Visi tersebut diungkap kembali oleh Dr. Andi Majdah M Zain saat menjadi narasumber bedah buku Trimurti: Menelusuri Jejak, Sintesa dan Genealogi Berdirinya Pondok Modern Darussalam, Gontor.

Buku karya Muhammad Husein Sanusi dkk terbitan Etifaq, Jogja inidikupas pada acara Fashion & Food Expo 2017 di Grand Daya Mall, Makassar. Selain Majdah, hadir sebagai pembicara dua penulis buku (Husein dan Imam), Dr. Ir. Abdul Rivai Ras, MM, MS, MSi (pendiri Universitas Pertahanan), Dr. H. Kasjim Salenda, SH, M Th.I (ketua IKPM Gontor cabang Sulselbar). Dan pada satu sesi, salah seorang santri Gontor angkatan awal Ustadz Bahtiar Syamsudin diminta untuk berbagi pengalaman.

Muhammad-Husein-sanusicowastTi3I.jpgMuhammad Husein Sanusi (paling kiri) penulis buku "Trimurti". (Foto: Erwan/CoWasJP)

“Ada semangat, ada keikhlasan untuk berbuat yang terbaik bagi masa depan bangsa Indonesia. Ini sesuatu yang sangat penting bagi dunia pendidikan,” tambah Andi Majdah, isteri Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Nu’many ini.

Andi Majdah yang lahir dan besar di dunia pesantren juga mengungkapkan apa yang diajarkan para perintis Gontor bisa menjadi landasan bagi pengembangan pendidikan dan pengajaran di Indonesia. “Para kiai ini tak akan mengajarkan satu hal sebelum ia mengamalkannya. Ini inspirasi bagi siapapun yang berkhidmat dalam pendidikan,’’ ujarnya.

Abdul Rivai Ras mengaku juga terinspirasi dari sepak terjang para pendidi Gontor, terutama yang disebut Trimurti dalam buku ini. Trimurti itu adalah KH Ahmad Sahal, Zainuddin Fananie dan ImamZarkasyi.

“Saya merasa menjadi bagian dari Gontor. Semua guru saya dari Gontor. Dan kami banyak membawa warna dari Gontor dalam mendirikan UMI,” tegas Abdul Rivai.

Rivai menambahkan para pendiri Gontor ini telah menetapkan dasar-dasar pendidikan yang diterapkan secara moderat. Ketiga pendiri tidak hanya mengembangkan nilai-nilai Islam tetapi juga mengembangkan nilai kebudayaan.

Sedangkan Ustadz Bahtiar Syamsudin bercerita mengenai pengalamannya selama nyantri di Gontor. Ustadz yang satu angkatan dengan Hidayat Nur Wahid (mantan Ketua MPR) dan Nasmay L Anas (mantan wartawan Jawa Pos) ini merupakan orang pertama dari luar Jawa yang dikirim ke Mesir oleh Gontor.

“Berkat doa Pak Kiai Zarkasyi, saya bisa pulang dengan gelar Master dari Mesir,” urainya.

ustad-bachtiar-dan-penulisYLKog.jpgPenulis (kanan) bersama Ustadz Bahtiar Syamsudin pengasuh Pondok Sultan Hasanudin Makassar. (Foto: Erwan/CoWasJP)

Meneruskan semangat “Jangan hanya ada 1 Gontor di Jawa ini tapi harus ada 1.000 Gontor” Bahtiar lantas mendirikan pondok pesantren ketika kembali ke Makassar. Ia mendirikan Pondok Sultan Hasanuddin. Menarik dicontoh, langkah Bahtiar saat menggunakan nama Sultan Hasanuddin untuk pondoknya.

“Saya tidak ingin asal pakai nama besar ini. Saya pun minta izin pihak keluarga untuk menggunakannya. Pihak keluarga pun ikhlas dan mengizinkan saya memakainya. Jadi ada suratnya. Kita harus hati-hati agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,” tandasnya.

Sedangkan Kasjim Salenda menegaskan hal paling menonjol dalam perjalanan Pondok Gontor adalah keikhlasan dan teladan atau contoh. Dua hal yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Di dunia pendidikan tak cukup hanya dengan perintah. Harus dengan contoh perbuatan.

“Ilustrasi yang sering dipakai Kiai Sahal adalah kalau kita ingin meminta kambing terjun ke sungai, ikat kambing dengan badan kita, lalu kita terjun ke sungai. Pasti kambing akan ikut terjun,” ungkap Kasjim.

Kasjim menggambarkan pula keunikan Gontor. Pondok ini tidak bisa dicap radikal, tidak berasosiasi ke mazhab tertentu, tidak bisa ditarik ke partai tertentu. Alumninya menyebar di mana-mana. Di NU, Muhammadiyah,dan di banyak partai.

 “Di NU ada Kiai Hasyim Muzadi, di Muhammadiyah ada Din Samsudin, PPP ada Menag (Lukman Syaifuddin) dan seterusnya. Kendati ada pula teroris yang alumni pondok Gontor,” seloroh Kasjim.

Ajang bedah buku “Trimurti” ini menjadi arena silaturahim para alumni Gontor dari berbagai angkatan. Terutama yang berada di wilayah Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Barat. Nuansa Gontor begitu terasa di Hall Daya Grand Square (DGS) siang itu. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda