Kejarlah Mafia Kau Kutangkap

Foto dan ilustrasi CoWasJP.com

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Dhimam Abror Djuraid

---------------------------------------------

RASANYA  baru kemarin Menpora Imam Nahrawi berteriak lantang akan memberantas mafia sepakbola di Indonesia. Sekarang, teriakan itu hilang nyaris tak terdengar. Apa kabar mafia sepakbola Indonesia? Kabar baik. Soalnya sudah tidak ada lagi gembar-gembor untuk mengejar mereka.

Sebentar para mafia itu tiarap. Sebentar saja. Sekarang mereka sudah tertawa-tawa, berkacak pinggang, nampang di layar televisi nasional.

Salah satu yang, katanya, waktu itu mau diperangi adalah mafia yang menjadi dalang pengaturan skor alias match fixing. Berbagai tuduhan pun dilontarkan. Caci maki, sumpah serapah bertebaran. Saling tuding saling tunjuk hidung berseliweran. Beberapa oknum pun dimunculkan.

Ada yang mengaku sebagai pelaku sogok terhadap wasit. Ada yang mengaku sebagai tukang suap pemain. Ada pula yang mengaku pekerjaannya mengatur skor. Siapa mau menang dalam sebuah pertandingan bisa diatur. Bahkan berapa skornya pun bisa diatur. Lebih dari itu, kompetisi belum dimulai pun siapa yang akan jadi juara sudah ketahuan.

Ini bukan hanya terjadi di level kompetisi atau turnamen profesional tingkat nasional. Bahkan, turnamen sepakbola usia dini pun diatur dan diperjualbelikan. Tanyakanlah kepada para pengelola sekolah sepakbola usia dini di Jawa Timur mengenai Piala Danone. Turnamen usia dini (yang seharusnya) paling bergengsi karena disponsori perusahaan multinasional Prancis itu menjadi ajang jual beli mencari untung.

danoneiHk8w.jpg

Ilustrasi  logo Piala Danone. (Foto: republika)

Hitunglah berapa banyak SSB yang ikut dan berapa rupiah mereka dikutip untuk biaya pendaftaran. Kalikan sendiri jumlah SSB seluruh Jawa Timur yang ikut turnamen dengan biaya pungutan liar itu, Anda akan menganga! Belum lagi atur-mengatur soal siapa yang jadi juara, semua memakai uang.

Praktik jahiliah berlangsung bertahun-tahun tak tersentuh oleh siapapun. Sungguh kasihan. Danone yang ingin menyisihkan anggaran CSR (corporate social responsibility) untuk pembinaan sepakbola usia dini malah dicoreng-moreng mukanya.

Pelakunya bebas tak tersentuh sampai sekarang. Dia muncul di layar televisi setiap akhir pekan ketika kompetisi sepakbola nasional disiarkan.

Ini salah satu contoh kecil saja, betapa mudahnya mencokok para mafia sepakbola itu. Mereka tidak sembunyi. Mereka jual tampang tiap hari di televisi. Persoalannya cuma satu, berani atau tidak memberantas mereka. Kalau melihat perkembangan dalam dua tahun terakhir ini jawabannya jelas dan tegas; tidak ada niat sama sekali untuk melakukannya!

Ketika beberapa waktu yang lalu seseorang yang mengaku sebagai mafia bola dimunculkan di televisi, dunia sepakbola Indonesia gempar seperti disambar halilintar. Si mafia mengungkap jaringan pengaturan skor dan bagaimana seluk-beluknya. Si mafia itu mengaku secara terbuka di televisi nasional bahwa dia pelakunya.

epatumlYG.jpg

Ilustrasi: Mafia sepak bola. (Foto:skanaa)

Tapi, tidak ada tindaklanjut. Geger hanya sekejap saja. Pemerintah, polisi, aparat hukum tidak melakukan apapun. Sang mafia bebas berkeliaran. Sampai sekarang dia tetap lenggang kangkung muncul dimana-mana tanpa rasa sungkan dan malu, malah bangga pernah masuk televisi nasional.

Dia bukanlah mafia. Kelasnya baru teri, jauh dari kakap. Dia hanya operator lapangan yang kerjanya menyerahkan uang dari bandar ke pemain, wasit, perangkat pertandingan, pelatih, atau siapapun yang perlu disogok supaya hasil pertandingan bisa diatur.

Puluhan operator seperti dia beroperasi di Indonesia. Di Jawa Timur pun operator "non-teknis" seperti ini banyak berkeliaran. Sudah menjadi rahasia umum setiap tim di kompetisi nasional pasti punya operator spesialis non-teknis.

Praktik ini sudah berlangsung sejak zaman jahiliah dan sekarang tetap berlangsung. Kompetisi yang sekarang sedang bergulir ini pun gampang diduga siapa yang akan jadi juaranya. Tiga tim yang disebut-sebut sudah pesan tempat untuk jadi juara, yaitu tim M, B, atau A. Silakan dibuktikan nanti kalau turnamen berakhir.

Perburuan mafia sepakbola seperti berburu Pokemon yang hanya sekadar virtual reality yang tidak riil.

Seperti judul film yang bikin ketawa "Kejarlah Daku Kau Kutangkap". Kalau Anda bertekad mengejar mafia bola, maka Anda yang akan kutangkap.

Ketua PSSI non-aktif La Nyalla Mattalitti sekarang meringkuk di tahanan. Proses perlucutan pun dilakukan dengan lebih leluasa. Nyalla yang seolah tidak berdaya membiarkan saja Kongres Luar Biasa awal Agustus lalu memutuskan pembongkaran seluruh anggota Exco dalam Kongres November nanti. Para anggota Exco itu dianggap sebagai kroni Nyalla yang harus diganti dengan orang-orang baru.

la-nyallaoKR6d.jpg

Ketua PSSI non-aktif La Nyalla Mattalitti. (Foto: suarasurabaya)

Kita lihat saja nanti siapa orang-orang baru itu. Pasti, pasti wajah-wajah lama yang itu itu juga yang bakal muncul.

Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan upaya memberantas mafia. Ini tak ada korelasinya dengan prestasi sepakbola Indonesia di level internasional. Kita bisa lihat nanti seperti apa prestasi

Indonesia di turnamen AFF atau Sea Games. Ini semua hanya soal nafsu berkuasa. Tidak lebih. Para mafia sepakbola bersatulah. Berpestalah. Kondisi kita bisa digambarkan seperti pantun yang poluler di kalangan elite Surabaya: "Tali rafia tali sepatu, sesama mafia harus bersatu..." (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda