“Di Balik Gempa” yang Mengguncang Kepulauan Mentawai (2)

Tidur Berselimut Bintang di Siberut

Penulis Roso Daras (Foto: Dok/CoWasJP.Com)

COWASJP.COM –  

O l e h: Roso Daras

----------------------------

BERSEDIAKAH Anda tidak berponsel selama tiga hari, tetapi saya ganti dengan tidur berselimut bintang di pedalaman Pulau Siberut, Mentawai?”

Siapa tidak tergiur dengan tawaran itu. Apalagi, tawarannya bukan saja tentang tidur berselimut bintang di tengah hutan pedalaman Siberut. Tawaran itu juga dilanjutkan dengan tawaran menarik lainnya, ketika saya menjawab, “Mau banget!”. “Sekalian menulis buku pariwisata Mentawai....” 

Seminggu di Mentawai, nyaris tak terasa. Ketika akhirnya harus berpisah dengan sahabat di Pagai, Siberut atau pun yang berada di Sipora, saya jadi teringat ungkapan puitis Bung Karno.... “Perpisahan, bagiku, bagaikan kematian kecil....”

Maka, saya pun berjanji, jika Tuhan mengizinkan, aku akan menginjakkan kaki lagi di Kepulauan Mentawai. Apalagi, niat membuat tato tradisional di hutan Siberut, yang dilakukan melalui proses ritual oleh masyarakat adat di sana, belum sempat kesampaian. “Lain kali sajaaa... soalnya setelah ditato, badan akan mriang (panas) paling pendek tiga hari....” dalih teman yang mengajakku ke Mentawai.

Kenangan pun terlontar pada lembar agenda, mengunjungi masyarakat adat di pedalaman Pulau Siberut. Dengan boat carteran, kami melompat dari Pulau Sipora ke Pulau Siberut. Ada dua pilihan mencapai Desa Rogdog, wilayah Madobag, Siberut Selatan. Yang pertama naik pompom, sebutan untuk perahu motor tempel. Yang kedua, naik ojek.

Dengan pompom, perjalanan ke pedalaman Siberut bisa memakan waktu enam jam. Sedangkan dengan ojek, cukup tiga jam. Dengan jumlah peserta lima orang, dua di antaranya pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Mentawai, kami pun memutuskan mencarter ojek. “Lepas sepatu, beli sendal jepit minimal tiga pasang,” kata tukang ojek.

Deru knalpot melekat di kuping, sepanjang perjalanan menuju pedalaman Siberut. Awalnya cukup lancar. Jalanan masih beraspal. Rupanya, kenyamanan perjalanan itu hanya berumur lima kilometer saja. Setelah itu, kami harus menyeberangi sungai.

Dari titik penyeberangan, hingga tiba di lokasi... adalah “perjuangan dan doa”. Dari total perjalanan tiga jam lebih, dua jam di antaranya harus kami lalui dengan berjalan kaki. Jalanan setapak, melewati hutan, ladang, yang di sana-sini dijegal jalan berlumpur. Belum sampai jarak satu kilometer dari bibir sungai pertama, satu sendal “tenggelam” di dasar lumpur. 

Benar. Ada kalanya, jegalan lumpur benar-benar tidak memberi kita pilihan. Hanya keberuntungan saja ketika yang kita injak lumpur berdasar batu atau potongan kayu. Sebaliknya, jika salah menjejakkan kaki, maka blusss... kaki bisa terperosok dalam hingga selutut. Ketika kaki ditarik – dengan susah payah —biasanya si sandal memilih tinggal di dasar sana. Beruntung membawa banyak serep sandal jepit.

Anda tentu berpikir, bagaimana dengan ojek-ojek yang kami kendarai? Ah, tukang ojek itu bekerja lebih keras. Menarik motor yang terperosok di lumpur, bukan pekerjaan enteng. Kami pun bahu-membahu membantu tukang ojek melepaskan diri dari kubang jalan lumpur tadi. Percayalah, aroma wangi saat berangkat, sudah berubah menjadi aroma keringat bercampur lumpur beberapa jam kemudian. 

Begitulah... setiap dihadang jalan berlumpur, penumpang berjalan kaki puluhan meter. Di jalan setapak yang keras, kami naik lagi. Rasanya belum pas pantat menempel di jok motor... rem berderit, motor berhenti, dan itu artinya kami harus turun lagi, karena di depan tampak jalan berlumpur. Menyesal saya tidak menghitung berapa kali naik dan turun jok motor. Menyebut ratusan, rasanya berlebihan.... Puluhan? Bisa jadi.

roso-dengan-suku-pedalamaniABSZ.jpg

Penulis (kanan) bersama bocah-bocah Sikerei. (Foto: CoWasJP.Com)

Tiba-tiba, seorang teman di depan sana nyeletuk, “Ini baru yang namanya blusukaaan....” Derai tawa kami pun menghambur. Anda tahu, si empunya celetukan itu, pada salah satu jalan yang menukik tajam, terjerembab ke parit.... Rupanya, rem ojek yang dinaikinya tidak begitu pakem. 

Sungguh, semua keletihan sirna manakala memasuki desa Rogdog di Madobag, Siberut Selatan. Bunyi air di sungai berundak dan berbatu, jika diperhatikan dengan seksama, memang seperti menggemakan efek suara rog-dog-rog-dog…. Kukira, itulah asal-usul penamaan Desa Rogdog.

Sebelum memasuki wilayah dan rumah adat (uma besar) di pedalaman hutan, kami harus menunggu di sebuah rumah singgah di tepi jalan. Selesai “protokol”, kami baru diizinkan menuju rumah adat di pedalaman. Dari batas rumah singgah itulah sepeda motor boleh berada. Itu artinya, menuju ke dalam, kami harus berjalan kaki.

Beberapa kali kami harus menyeberang sungai yang sama (karena bentuknya meliuk-liuk). Si pemandu berjalan paling depan. Kami tidak bisa berjalan berdampingan. Jalan yang benar-benar pas dengan ukuran telapak kaki itu, memang harus dilalui dengan beriring-iringan. Kalau toh kami harus menyeberangi sungai, ya mengikuti yang di depan. Tinggi air sungai hanya sebatas lutut. Jika kemudian saya kisahkan ada satu teman yang terendam sedada... itu karena dia ‘kreatif’, mencoba mencari jalur jalan sungai sendiri.... Ingin tampil beda....

Sekitar 45 menit kemudian, kami pun sampai pada rumah kayu berbentuk panggung. Ukurannya sekitar 15 x 15 meter. Kami pun berkenalan dengan Sikerei, sebutan untuk sang ketua adat. Ia bertelanjang dada, demikian pula istrinya... ehm.... Bisa kuduga, tradisi itu tidak lama lagi tergerus. Mengapa? Anak-anak mereka sudah berpakaian lengkap. 

Rasanya, belum lama kami berbasa-basi sambil menyantap rebusan singkong... senja pun merayap. Kami harus mandi, selagi masih bisa melihat. Kami bergegas menuju sungai, mandi di dinginnya air sungai yang sangat jernih. Ohhh... betapa desir rasa senang bergelegak, demi merasakan sensasi mandi bertelanjang bulat di sungai, yang di kanan kirinya pepohonan hutan yang lebat.

Makan malam kami, adalah makan malam nasi bungkus yang kami beli di perjalanan tadi. Itulah makanan dari peradaban luar terakhir yang kami makan. Sebab untuk besok pagi dan selanjutnya, kami makan dan minum, makanan dan minuman yang dihidangkan keluarga Sikerei. Nasi putih, rebusan mie instan, diaduk-aduk di atas tampah bambu.... Kami duduk melingkar berhimpit-himpitan, menjumput makanan itu sesuap demi sesuap. 

roso-dara-di-reuni-okDIOaP.jpg

Dari kiri: Yok Sudarso, Ny Koesnan, Slamet OP, Koesnan Soekandar, Penulis, Iwan Irawan, dan Lutfi Ibrahim di Reuni Jilid 1 di RM Mahameru, Surabaya. Rabu 19 Agustus 2015.

Ada dua tampah-bambu untuk berdelapan. Saya, tentu saja memilih makan di tampah-bambu bersama Sikerei dan istrinya yang bertelanjang dada itu. 

Usai ngopi, merokok, dan ngobrol dengan bantuan penerjemah lokal, kami pun bersiap tidur. Nyonya Sikerei masuk dan keluar membawa kelambu besar. Kelambu sumbangan pemerintah daerah, untuk melindungi para tamu yang datang menginap, dari serangan nyamuk hutan.

Tempat tidur kami di rumah adat bagian depan.... Terbuka. Maka, dengan kepala menengadah, dari balik kelambu, tampak langit begitu cerah. Bintang-gemintang berkerlip begitu indah. Dihanyutkan nyanyian binatang malam, serta pemandangan langit yang menakjubkan, mimpi pun menjemput. 
Ya, malam itu, kami benar-benar tidur berselimut bintang-gemintang di pedalaman hutan Siberut. ***

Baca Berita Sebelumnya: ''Di Balik Gempa'' yang Mengguncang Kepulauan Mentawai (1)

Baca dan Simak Berita-berita lainnya. Klik DSINI

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda