Mbah Coco Pingin Nasionalisme, Bukan Fulusisme!

Jasmine Joe (kiri), Sofyan Hadi dan Tessa Witarsa Abadi. (Foto: cowasjp.com).

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Cak Amu

--------------------------------

GENERASI gila bola terkini pasti kenal Mbah Coco. Pria tambun berambut ombak sebahu ini, menyimpan nama aslinya dengan memproklamirkan diri sebagai Cocomeo Cacamarica. ,

Perubahan nama itu, saya ketahui saat awal-awal Mark Zuckerberg, mendirikan facebook. Ulasan dan kritikan Mbah Coco sangat tajam. Berani dan kendhel banget! Pas sekali, untuk menulis eksklusif di media sosial yang baru menggebrak dunia maya itu.

Penge-Like Si Mbah Coco juga luar biasa.  Yang komen di statusnya juga begitu banyak. Bahkan, karya tulisnya yang puanjang sekali, juga dibaca semua penge-Like.  Buktinya, ruang komen yang tersedia terisi juga.

Sejak itu, Si Mbah Coco bagai artis yang lagi naik daun. Namanya terus meroket. Kendati kecepatannya tak sesuper karya Mark Elliot Zuckerberg asal New York itu, Mbah Coco tetap punya nilai lebih. Eksis juga sepanjang facebook berkiprah.

Kelebihannya itulah mengail simpati saya untuk mencari tahu, siapa dia sebenarnya. Sempat juga sulit melacaknya! Apalagi dia masih merahasiakan identitas resminya hingga berbulan-bulan.

Saya penasaran. Benar-benar penasaran. Betapa tidak! Di saat beberapa wartawan bersikap oportunis terhadap penguasa bola tanah air, Si Mbah Coco malah sebaliknya. Menyerang, bagai serangan balik Tim Panser Jerman he he!

Anehnya lagi. Siapapun yang dihajar Si Mbah Coco, langsung pingsan. Tiarap! Membisu, diam sejuta kata, seakan membenarkan tulisannya. Juga tidak ada yang komplen. Apalagi menggugat atau ngajak berantem kikik. 

Tentu saja, ini semua tidak lepas dari akurasi ulasannya yang memang pas. Sesuai kaidah jurnalistik. Ada investigasi dan akurat. Cara nyerangnya juga solo run. Tidak butuh dukungan media lain. Tapi hasilnya tuntas dan gol. Mantaplah pokoknya! Semantap bobot tubuhnya.

Karena itulah, penasaran saya kian memuncak. Tapi saya sudah curiga dengan gaya penulisannya. Yang “intonasinya” agak kejawen. Benar juga. Begitu saya japri via inbox,”Toro apa kabar,” Si Mbah langsung menjawab baik Cak Amu.

Nah, ketahuan lo, ternyata benar. Si Mbah Coco itu sosok wartawan Suara Merdeka Semarang, yang dulu saya kenal biasa ngepos di markas PSSI Gelora Bung Karno. Saya tidak seberapa akrab. Tapi saling perhatian, karena saya berjumpa dia kalau Persebaya lolos ke Senayan. 

Saya inga betul nama lengkapnya, Erwiyantoro. Namun foto profil yang dipasang di FB, bukan wajah aslinya. Melainkan mozaik dari lukisan yang sampai sekarang masih dipertahankan. Cukup mesterius memang.

Lama sekali saya mengikuti sepak terjangnya. Hingga baru-baru ini baru bisa bersua dengannya. Yaitu, ketika dia menggagas reformasi PSSI,  agar tidak dihuni orang-orang berambisi. “Cak, aku saiki nang Garden Palace. Kita baru saja bertemu La Nyalla,” panggilnya dari balik hape.

Saya langsung meluncur bereonian dengan Toro, yang malam itu mendampingi Neta Pane dan Data Wardana dari Indonesian Police Watch. Kedua nama yang disebut terakhir itu alumunus Harian Merdeka Jakarta. 

Singkat cerita, Toro dan kawan-kawan ingin sekali mengembalikan sepak bola Indonesia sesuai visi dan misinya Presiden Soekarno. Menjunjung tinggi nasionalisme. Bukan fulusisme! 

“Sepak bola ke depan tidak boleh lagi ada suap menyuap, memotong hak pemain, wasit dan perangkat lainnya. Bila perlu manajernya orang kaya yang harus buang duit,” tegasnya. 

Sikap Toro ini bagai gayung bersambut. Dia ternyata sejalan dengan Presiden Jokowi. Konon, lewat relasinya dari Jawa Tengah, dia bersama rekan-rekan, berhasil menjadi pembisik sekaligus penentu kebijakan Menpora Imam Nahrowi. Membekukan pengurus PSSI sampai disuspend FIFA.

Luar biasa berani! Cuma dia sekarang kecewa dengan Menpora. Setelah membekukan PSSI tidak ada program pembinaan yang jelas. “Kita harus gerak cepat agar tidak terlalu lama masuk angin,” komen rekan sevisi Ari Sudarsono, manajer Tim Garuda Merah yang diamini budayawan jebolan Jerman, Budi Djarot. Saat kongko-kongko satu meja di resto Rich Hotel Sahid Jogjakarta.

Kedua tokoh Nasionalis Marhenis ini, ingin sekali mengubah paradigma sepak bola  nasional yang hanya  begitu begitu saja. “Tidak akan bisa berpestasi tinggi jika kita biarkan. Makanya orang orang yang visioner demi Merah Putih harus bersatu lagi,” tegas Budi yang masih adik kandng Slamet Raharjo dan Eros Djarot ini.

amu-dan-kawan2rEXzj.jpg

Penulis (kiri) bersama Mbah Coco Erwiyantoro dan wartawan GilBol Agus Al Fatih. (Foto: cowasjp.com)

Ia mengakui penyamaan visi itu tidak mudah. Apalagi para pelaku bola kita sudah lama terkontaminasi. “Memeranginya tidak hanya membekukan aktivitas mereka, tapi juga harus segera memupuk kembali dari akar rumput,” imbuh Budi sembari membenarkan pecinya yang kurang miring.

Pernyatan Budi memang tidak bertepuk sebelah tangan. Saat menggelar pertandingan amal Charity Games di Solo dan Jogja, 4-6 Februari, Toro telah mengumpukan tokoh bola, yang peduli nasib sepak bola nasional. 

Ada barisan pelatih Sutan Harhara, Daniel Roekito, Rully Neere, Isman Jasulmey, Freddy Mulli, Ferrel Hattu, Ahmad Muharya,  dan Imran Amrullah.  “Beberapa pelatih lain yang saya undang tapi berhalangan. Tapi mereka sepakat kompetisi bersih harus segera digulir,” aku Toro.

Selain para pelatih itu, juga ada wasit FIFA asal Surabaya Aris Munandar dan Kamdi dari Nganjuk. Juga ada Sofyan Hadi yang dapat santunan dari pertandingan amal karena menderita kanker sumsum tulang belakang dan kelainan hati. Sofyan mendapat santunan Rp 50 juta.

Dua wartawan lawas asal Surabaya Slamet Oerip Prihadi dan saya masuk daftar hadir. Dari Jakarta ada wartawan senior Tabloid Bola Broto Happy, Yon Moeis, Lutfi Sukri, Ferry Kodyat dan Akmal Mahali. 

Juga ada seorang suporter anti sepak bola gajah asal Jakarta. Kemana-mana pria berkacamata minus ino selalu mengenakan kaos hitam bergambar Gajah Duduk memandang bola. Persis di depan dadanya ada tulisan: PSSI JANGAN ADA SEPAK BOLA GAJAH DI ANTARA KITA. “Ini serius, saya datang mewakili komunitas ini,” ujarnya sembari menunjuk T-Shirtnya.

Dua kerabat dekat legenda bola nasional Drg Endang Witarsa juga hadir. Yaitu sang cucu Drg Tessa Witarsa Abadi dan cicit Jasmine Joe. Kedua titisan Endang Witarsa ini sangat berharap para senior bola agar menjaga kesehatannya. Mereka tak segan segan melarang pemain dan pelatih untuk meninggalkan kebiasaan merokok.

Bahkan, Jasmine tidak segan-segan menegur Toro agar berhenti merokok. Dia ingin orang-orang yang berani mengkritisi sepak bola nasional berumur panjang. Bahkan, Suhu, sapaan Slamet Oerip juga diminta mengurangi merokok agar kesehatannya tidak terganggu. “Ayo Opa jangan merokok terus. Matikanlah,” pintanya.

Bukan hanya kepada watawan senior, Jasmine juga paling senang dengan pemain dan pelatih yang bisa menjaga kesehatannya. Terutama yang mau mengharamkan rokok dan narkoba. 
Ia menyebut ada tiga pemain asal Surabaya yang diidolakan karena memanuhi syarat itu. Yaitu Andik Firmansyah, Taufik dan penjaga gawang Fahruddin “Mereka ini good player. Selain aku suka mainnya, mereka juga disiplin dan tidak biasa kluyuran ke klub klub malam,” puji anak Tessa yang hobi menyanyi dan traveling ini.

Harapan JeJe, sapaan remaja SMA ini, juga tidak bertepuk sebelah tangan dengan sang mama. Tessa berharap orang-orang bola yang peduli terhadap masa depan sepak bola nasional, harus  menjaga kesehatannya. 

Hal ini agar mereka tidak mati di usia muda. “Bukan hanya pelatih dan pengurusnya saja, wartawannya juga harus panjang umur deh. Serius nih,” ujarnya kepada cowasjp.com sepulang ngopi bareng di Zoom Café, Solo. 

By Pesantren Jurnalis

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda