Bertemu Cucu dan Cicit Sang Legenda

Abdul Muis, penulis, dan Cicit drg Endang Witarsa, Jasmine Joe. (Foto: cowasjp.com)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Slamet Oerip Prihadi

-----------------------------------------------

DI TRIBUN VIP Stadion Manahan Solo, Kamis 4 Februari sore. Dua orang wanita duduk berdampingan di antara ratusan penonton VIP. Kedua wanita ini diundang menyaksikan Charity Game (Laga Amal): Garuda Merah versus Garuda Putih.

Sebelum mengurai siapa kedua wanita tersebut, perlu dijelaskan tujuan Charity Game tersebut. Laga amal yang diprakarsai PT Gilbol Indonesia untuk memberikan bantuan kepada para mantan atlet sepakbola yang dirundung musibah.

Hasil pertandingan dari penjualan tiket Charity Game di Solo (4 Februari) dan di Sleman (6 Februari), disumbangkan untuk mantan pemain nasional legendaris Sofyan Hadi yang terserang kanker tulang, dan tiga pemain nasional saat ini, yaitu Alfin Ismail Tuasalamony,  Abdul Rahman Lestaluhu dan Mohammad Nasuha yang cedera panjang.

Usai Charity Game kedua, Sabtu 6 Februari 2016, di Stadion Meguwoharjo, Sleman, Sofyan Hadi memperoleh sumbangan Rp 50 juta. Sumbangan ini membuat Sofyan Hadi meneteskan air mata karena sangat terharu. Alfin, Abdul Rahman, dan Nasuha memperoleh sumbangan masing-masing Rp 20 juta.

“Laga amal seperti ini harus sering diadakan karena banyak mantan atlet yang mengharumkan nama Bangsa Indonesia kini hidup sengsara. Pemerintah dan masyarakat tak mempedulikan lagi nasib buruk para pahlawan Bangsa Indonesia,” tutur MC top, Ary Sudarsono usai pertandingan.

Disanjung setengah mati ketika para atlet masih berjaya, tapi kemudian diabaikan dan dilupakan ketika mereka sudah gantung sepatu, gantung raket, gantung sarung tinju, gantung sepatu atletik dan sepatu-sepatu cabang olahraga lainnya. Habis manis, sepah dibuang. Terbuang dan terpuruk.

Hal yang tak bakal terjadi di negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) misalnya, dan negara-negara Eropa Barat. Sebab, di negara-negara itu para mantan atlet yang pernah berjasa mengharumkan nama bangsa dan negaranya memperoleh santunan yang lumayan besar di masa tuanya.

sutan-harharaT9od8.jpg

Penulis (kiri), foto bersama dengan mantan pemain nasional Sofyan Hadi (tengah) dan Sutan Harhara (kanan). (foto: cpwasjp.com)

Tidak jarang mantan atlet nasional yang menjadi Presiden Klub, pengurus klub, bahkan melejit jadi pengurus cabang olahraga internasional. Ini karena kehidupan mereka pasca gantung sepatu diarahkan dan direncanakan agar tidak terpuruk di masa tua.

Belum ada survey atau penelitian khusus tentang nasib para mantan atlet dan mantan pelatih pasca gantung sepatu. Namun, hampir pasti hanya sekitar 20 persen yang kondisi perekonomiannya di atas cukup.

Lihatlah Malawing mantan bintang sepakbola yang kini menjadi – mohon maaf – pesuruh. Bila ada tim sepakbola bertandang ke Makassar, Malawing dengan senang hati melayani para pemain dan ofisial tim yang minta tolong untuk dibelikan makanan, oleh-oleh atau lainnya. Malawing dengan senang hati mendapatkan ongkos lelah yang tak seberapa. Bintang pemain belakang yang dulu garang dan disegani, kini demikian terpuruk nasibnya.

Lihatlah nasib juara dunia tinju profesional (IBF) kali pertama Indonesia tahun 1986, Ellyas Pical. Dulu demikian dielu-elukan. Kini terpuruk kelam jadi Satpam klub dunia malam. Dan, masih banyak lagi mantan bintang olahraga yang menyedihkan nasibnya.

Kita belum pernah tahu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini menganut aliran yang mana. Aliran RRT atau Eropa Barat? Tidak jelas.

Jelas tertera di sila ke 5 Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, untuk warga istimewa saja, yaitu para atlet juara nasional dan internasional, tak pernah diurus kesejahteraannya dengan baik. Terutama setelah mereka gantung sepatu

Padahal, tak sembarang warga bisa merebut tahta juara Indonesia, Asia Tenggara, Asia, dan Dunia. Mengapa Pemerintah RI tak pernah peduli? Sampai sekarang! Inilah pertanyaan besar para atlet kita masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Jangankan pemerintah, para wakil rakyat yang hidup sejahtera di DPR RI pun tak pernah peduli. Sibuk dengan kepentingan partai masing-masing. Masih seperti itulah kondisi mental para petinggi (elite politik) kita.

****

Ketidakpedulian Pemerintah dan para wakil rakyat inilah yang sekarang digebrak oleh PT Gilbol Indonesia. Yaitu PT yang didirikan oleh para wartawan senior sepakbola Indonesia. Motornya adalah Erwiyantoro, mantan wartawan Suara Merdeka, yang kini populer dengan nama Mbah Coco(meo Cacamarita) itu. Berduet dengan Yon Muis (wartawan Koran Tempo).

Dalam perhelatan Charity Game di dua kota itu (Solo dan Sleman, Jogja), mereka juga mengajak cucu dan cicit sang legenda sepakbola nasioal drg Endang Witarsa, mantan pelatih Persija dan Tim Nasional.

Sang cucu bernama drg Tessa Witarsa, 38 tahun. Sang cicit bernama Jasmine Joe, 16 tahun. Tessa buka praktek dokter gigi di rumahnya Jalan Bima 20, Kemanggisan, Jakarta Barat. Mandiri. Puteri tunggalnya Jasmine Joe masih duduk di kelas 1 SMA Tarsisius 2.

“Saya sangat berterima kasih diajak nonton Charity Game ini. Saya adalah penggila sepakbola sejak kecil. Kalau terlalu lama tidak menonton pertandingan sepakbola, tiba-tiba saja saya sakit,” kata Tessa.

Dia sangat berharap kepada para jurnalis senior untuk menjaga kesehatannya. Agar umurnya panjang. “Kami masih sangat membutuhkan wartawan-wartawan senior yang idealis. Yang cinta sepakbola karena rasa cinta. Sepakbola kita tertinggal jauh dan makin miskin prestasi,” tuturnya.

Entah mengapa, baru kali itu bertemu, tapi keakraban mengental begitu saja. “Opa (kakek drg Endang Witarsa) mempersembahkan semua kekayaannya untuk pembinaan sepakbola Indonesia. Tidak serupiah pun diwariskan kepada anak, cucu, dan cicitnya ketika beliau meninggal dunia (2 April 2008 di usia 92 tahun). Beliau adalah contoh pembina sepakbola yang tulus. Sungguh kami bangga memiliki Opa sehebat itu.”

Tessa terlihat akrab dengan para wartawan senior Jakarta. Ini karena dia sering bertemu para wartawan senior di stadion jika ada pertandingan.

Ada kejadian kurang baik menjadi sorotan tajamnya di Jogjakarta, 5 Februari 2016 malam. Yaitu ketika Sri Pakualam X mengundang jamuan makan malam kepada seluruh pemain dan ofisial Garuda Merah dan Garuda Putih. Jamuan makan di Keraton Pakualaman. Ternyata banyak yang tidak ikut gara-gara lebih suka belanja atau cuci mata di supermall.

INILAH CURAHAN HATI TESSA yang disajikan dalam bentuk bertutur:

Sangat memalukan. Padahal pemberitahuan undangan jamuan makan malam itu sudah diberikan siang harinya. Masa pemain profesional sepakbola Indonesia seperti itu? Di mana sikap dan perilaku profesionalnya? Padahal di antara mereka juga ada yang pemain nasioal.

Mereka berbuat seenak hatinya sendiri. Tidak menghargai undangan seorang raja. Mental pemain profesional seperti ini harus dikikis habis! Mereka adalah duta-duta pemain Indonesia yang diundang khusus dalam laga amal yang sangat sakral. Tapi sikap dan perilaku mereka sangat mengecewakan.

Di antara para pemain yang hadir pun ada yang tidak sopan. Masa hadir di jamuan seorang raja mengenakan celana pendek dengan topi dibalik. Di mana budaya Timur mereka? Coba lihat pemain profesional Eropa yang mengenakan jas dan dasi jika diundang dalam satu perjamuan.

Dari kejadian ini saja, saya bisa menyimpulkan bahwa sebagian besar pemain sepakbola profesional Indonesia masih di bawah standar. Tidak heran jika belakangan mereka gagal juara di mana-mana ketika harus bertanding di arena internasional.

jasmineMKYLW.jpg

Tessa Witarsa (kiri) dan puteri tanggalnya Jasmine Joe. (foto:cowasjp.com)

Mereka seharusnya menampilkan diri sebagai Satria-Satria Indonesia yang hebat di lapangan, tetapi santun dan rendah hati di luar lapangan. Mereka tidak disiplin, karena mengabaikan undangan seorang raja. Bagaimana mereka bisa mencapai prestasi hebat, jika kepribadian mereka tidak hebat!

****

Kritikan tajam Tessa Witarsa, bisa saja tidak didengar dan diabaikan. Akan tetapi, apa yang dia sampaikan benar dan substansial. Jangankan Tessa, puterinya Jasmine Joe pun juga prihatin melihat tingkah laku pemain-pemain lebai itu.

Jasmine dan Tessa Witarsa berbusana kebaya putih dan datang bersama Panitia Charity Game untuk menghormati jamuan makan malam Sri Paku Alam X. “Kami wajib menjaga nama besar Opa,” kata Tessa.

Mungkin banyak para penggila sepakbola usia muda yang belum mengenal siapa gerangan drg Endang Witarsa. Inilah sepintas jejak perjuangannya untuk sepakbola Merah Putih. Dikutip dari bangunsuporter.blogspot.com.

Jejak Langkah Sang Legenda

Drg. Endang Witarsa dilahirkan di Kebumen 4 Oktober 1916 dengan nama Liem Soen Joe adalah bungsu dari sembilan bersaudara. Setelah menyelesaikan pendidikan MULO dan HBS di Kebumen, Endang muda sempat bimbang dihadapkan pada pilihan antara STOVIA Jakarta atau STOVIA Surabaya untuk kuliah kedokteran gigi.

Akhirnya, beliau memilih yang kedua (STOVIA Surabaya) dengan alasan "podo jawane". Pada tahun 1941, setelah meraih gelar dokter gigi, ia menikahi rekan sekelasnya, Kartika Sulindro, yang berusia dua tahun lebih tua.

Karir sebagai pemain dimulai dengan bergabung dengan klub di Kebumen tempat asalnya. Saat di Malang, Endang Witarsa sempat mencicipi rasanya menjadi pemain Persema Malang. Belum begitu lama di Malang, beliau lalu pindah ke Jakarta karena tugas dan menjadi pemain Klub UMS (Union Makes Strength) pada tahun 1948 sebagai gelandang.

Pada 1951, setelah gantung sepatu, karir gemilangnya sebagai pelatih pun dimulai dengan klub pertamanya yaitu UMS. Sepuluh tahun kemudian (1961) beliau melatih tim Macan Kemayoran, Persija Jakarta, sampai tahun 1966. Bimbingan dan polesannya berbuah prestasi besar yakni membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1964 dengan PSM Makassar sebagai runner-up.

Kiprah panjang nan sukses sebagai pelatih tim nasional berawal dari tim PSSI Junior pada tahun 1965. Selama tiga tahun, dari tahun 1967 sampai tahun 1970, terjadi rangkap tugas yakni melatih tim nasional Junior dan Senior sekaligus. Setelah itu, fokus dan perhatiannya hanya untuk tim nasional Senior saja.

Pengabdiannya di Timnas Senior baru paripurna di tahun 1980. Selama kurang lebih 13 tahun kepemimpinannya, tim nasional menjuarai sejumlah event internasional. Diantaranya yakni juara Aga Khan Cup di Dacca, Pakistan (1967), Merdeka Games di Kuala Lumpur 1969, Kings Cup di Bangkok Thailand 1970, Anniversary Cup III di Jakarta 1972, Pesta Sukan di Singapura (1972), dan President Cup di Korea (1973).

Endang Witarsa tak hanya memproduksi sederet prestasi bagi timnas namun juga telah melahirkan puluhan pemain bagus yang jadi pilar tim nasional dekade 1960-an sampai 1990-an. Berikut adalah beberapa nama besar dalam dunia sepak bola tanah air yang pernah ditanganinya, seperti Anwar Ujang, Djamiat Dalhar, Thio Him Tjiang, Peng Hong, Kwi Kiat Sek, Thio Him Toen, Alai, Soetjipto Soentoro, M Basri, Ronny Paslah, Yakob Sihasale, Abdul Kadir, Risdianto, Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Surya Lesmana, Wahyu Hidayat, Gunawan, Bambang Sunarto, Yuswardi, Yusak Susanto, Sinyo Aliandoe, Yudo Hadianto, Reny Salaki, Arjuna Rinaldi, Warta Kusumah, Widodo C.Putra, termasuk pelatih timnas Senior saat ini Benny Dollo.

suhu-dan-wakil-sultanu56Ht.jpg

Penulis (kanan) menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan Sri Pakualam X (kiri) yang juga WakiL Gubernur DI Jogjakarta. (foto: cowasjp.com)

Selain merasakan kerasnya kompetisi Perserikatan, Opa Endang juga sempat menjajal atmosfer kompetisi semi-profesional Liga Sepak bola Utama (Galatama) melalui klub Warna Agung. Ketika Warna Agung bubar pada 1980-an, beliau pun kembali ke lapangan Petaksinkian untuk melatih tim UMS 80 hingga akhir hayatnya.

Pengabdian panjangnya pada sepak bola berbuah dua penghargaan sekaligus dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pelatih terlama (55 tahun) dan tertua (90 tahun), 21 Januari 2007 silam. Opa Endang juga mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award versi Antv Sport Award (ASA), Fair Play Award dari Jawa Pos Group serta anugerah Lifetime Achievement Award dari Sampoerna di ajang Bintang Emas Copa Dji Sam Soe Indonesia 2007 di hotel Mulia, Jakarta, 19 Februari 2008 lalu.

Endang Witarsa mengembuskan napas terakhir di RS Pluit, Jakarta, pada tanggal 2 April 2008, setelah dirawat sejak 10 Maret 2008, dalam usia 92 tahun, karena gangguan perut dan pencernaan, sehingga tidak bisa mencerna makanan.

Almarhum meninggalkan 4 anak, 12 cucu, dan 9 cicit. Jenazah Endang Witarsa dimakamkan di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat. Sebagian besar dari usianya, dihabiskan untuk sepak bola, baik sebagai pemain maupun pelatih. ***

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda